Perempuan Bisa Jadi Pemimpin di Bidang Teknologi Masa Depan
29 Oktober 2024Di suatu pagi pada akhir pekan, puluhan perempuan muda berkumpul di satu kelas. Mereka berumur rata-rata 15 sampai 25 tahun. Kebanyakan dari mereka tidak saling mengenal, tapi punya satu ketertarikan yang sama.
Tepat jam 10 pagi, kelas dimulai. Dengan kompak mereka membuka laptop masing-masing. Sang mentor pun mulai menjelaskan pelajaran di hari itu, web development.
Salah satu peserta, Maria Fransiska, baru pertama kali mengikuti kegiatan ini. Dia rela menginvestasikan waktu akhir pekannya untuk mempelajari keterampilan baru. Latar belakang pendidikan psikologi tidak menyurutkan niatnya mempelajari teknologi.
"Motivasi aku mengikuti kelas ini adalah untuk belajar skill digital terutama web development. Yang aku dapatkan adalah bagaimana caranya kita bisa membuat website meskipun sederhana, tapi dari awal sampai akhir bisa jadi," ujar Maria.
Kelas ini merupakan salah satu program dari Generation Girl, sebuah yayasan dan komunitas yang membantu membekali para perempuan muda mempelajari hard skill dan soft skill untuk menjadi pemimpin perempuan di masa depan melalui program-program berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
"Aku melihat dunia teknologi prospeknya luas sekali, dan meskipun aku belajar psikologi, psikologi itu juga mempelajari digital, di mana kita bisa mempengaruhi orang lain. Jadi ada pentingnya di segala ilmu itu harus mengerti juga tentang digital," tambah Maria.
Perempuan pemimpin masa depan di bidang STEM
Perempuan muda dan teknologi bukan lagi menjadi hal yang baru. Meski bidang ini masih didominasi laki-laki, Founder Generation Girl, Anbita Nadine Siregar, percaya bahwa ketika perempuan diberi kesempatan belajar secara praktis, kemampuan pun akan meningkat dan perempuan siap untuk bersaing.
"Kalau mereka sudah bikin proyek dan mereka sudah membuktikan ke diri sendiri, mereka sudah langsung percaya diri, dan bisa ‘play with the boys’. Intinya mereka sudah bisa langsung sukses di dalam bidang ini," ujar Nadine.
Generation Girl memiliki program edukasi yang praktis agar para peserta bisa melakukan praktik langsung, dan bukan hanya mempelajari teori.
"Cuma 30 persen partisipasi perempuan di dalam industri STEM, bukan cuma di Indonesia tapi secara global," tambah Nadine.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Pada tahun 2018, Nadine bersama Tania Soerianto, mendirikan Generation Girl. Mereka bertekad untuk mendukung dan menginspirasi para remaja dan pemuda perempuan agar bisa meraih karier impian di industri teknologi.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang kini menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital, sempat menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar sembilan juta orang sebagai talenta digital pada tahun 2030 untuk bisa mendongkrak ekonomi digital.
"Harapan kami di Generation Girl itu tentu bakal ada equal representation, antara perempuan dan laki-laki. Enggak cuma STEM industri saja, tapi posisi yang lebih tinggi lagi di industri STEM. Jadi, kalau bisa VP level, C-suite level, leadership level. Kami mau ada rasio yang 50%-50% antara perempuan dan laki-laki," jelas Nadine.
Membekali diri dengan kemampuan di bidang STEM
Peserta lain yang mengikuti program ini adalah Cherlita Christanti, seorang art director di salah satu creative agency di Jakarta. Meski tidak bersinggungan langsung, Cherlita merasa pengetahuan di bidang teknologi digital sangat dibutuhkan.
"Setelah pandemi, produk digital semakin banyak dan semakin banyak orang mengakses banyak hal yang berkaitan dengan produk digital itu termasuk website. Jadi buat aku pasti butuh banget mempelajari STEM supaya tidak ketinggalan teknologi dan bisa beradaptasi dengan lingkungan serta teknologi terbaru," jelas Cherlita.
Ia berharap dengan mempelajari ilmu di bidang STEM, bisa menjadi jalan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak di industri kreatif.
Berawal dari 10 peserta, Generation Girl terus berkembang, dan kini beranggotakan 50.000 peserta di seluruh Indonesia. Tujuan pertama mereka adalah membuka pintu kesempatan. Nadine bersama tim Generation Girl ingin memastikan para perempuan muda yang mau terjun ke industri teknologi memiliki semua sumber daya, dan panduan yang diperlukan.
"Kami mulai dengan anak-anak SMP-SMA. Soalnya kami berpikir, kalau kita mau mengajarkan keterampilan dasar, keterampilan yang dibutuhkan untuk mereka berkarier (di STEM) ya kita harus mulai sedini mungkin. Itu soalnya keterampilan dasar yang kita ajarkan yaitu membangun rasa percaya diri, berkomunikasi, mengatasi masalah, berpikir kritis, berbelas kasih. Itu ‘kan transferable skills, foundational skills yang sebenarnya bakal makan waktu untuk (bisa) mereka kuasai," kata Nadine.
Lewat komunitas ini, Nadine ingin menciptakan sistem pendukung dan wadah aman bagi para peserta. Berbagai info workshop dan kelas mereka bisa ditemukan di website Generation Girl. Ada yang gratis, ada pula yang tarifnya maksimal 100 ribu rupiah. Para praktisi di bidang STEM biasanya akan menjadi pembicara dan kakak senior atau mentor.
"Kalau misalnya kita lihat datanya, kebanyakan perempuan yang masuk ke dalam STEM industri ini, mereka masih dalam entry level di posisi ini. Kalau misalnya artificial intelligence (AI) bakal menggantikan, itu berarti akan semakin sedikit perempuan yang tergabung di industri STEM juga," ujar Nadine.
Bagi Nadine, beradaptasi adalah kunci menghadapi industri teknologi yang selalu berubah-ubah.
"Kenapa itu sangat amat penting untuk perempuan belajar kecerdasan buatan (AI), robotik dan semua ketrampilan yang bakal tren banget di masa depan? Itu supaya mereka jadi adaptif, mereka bisa bermanuver antara keterampilan atau pekerjaan yang mungkin perlu diadakan di masa depan," tambah Nadine.
Editor: Arti Ekawati