Perjalanan Menjadi Koki Internasional di Jerman
1 November 2020Di sebuah dapur restoran di hotel internasional di Kota Bonn, Jerman, seorang gadis tampak sibuk memotong-motong sayur-sayuran segar. Sambil bercerita, senyum tersungging di bibirnya mengenang komentar atasannya, saat ia masih dalam masa percobaan kerja, bahwa ia sangat gesit dan rajin.
"Saya cermati kolega-kolega saya yang sudah lebih lama bekerja, bagaimana cara mereka mengerjakan sesuatu, lalu saya tanya apakah mereka butuh bantuan. Lalu jika ada tugas baru yang saya tidak paham caranya, saya tanya dan mereka ajari. Saya benar-benar perhatikan agar tak perlu ganggu mereka dengan bertanya lagi,“ ujar Ester Sianturi, yang berasal dari Sumatera Utara dan kini bekerja sambil belajar di sektor gastronomi di Jerman lewat sistem Ausbildung atau pendidikan kejuruan vokasi.
Prinsip pendidikannya adalah, para pelajar langsung belajar di sekolah kejuruan dan melakukan praktik kerja di perusahaan sesuai studinya. Dalam sepekan, beberapa hari (rata-rata dua hari), mereka mendapat pelajaran di sekolah kejuruan. Sisa hari lainnya dipakai untuk bekerja. Mereka mendapat gaji dari tempat bekerja tersebut.
Awalnya, Ester Sianturi berangkat dari Medan untuk mengikuti program au pair atau program tukar budaya, yang memberikan kesempatan kepada muda-mudi dari seluruh dunia untuk tinggal dalam kurun waktu tertentu di keluarga asing agar bisa mempelajari budaya dari masing-masing pihak. Selama setahun saat menjalani program ini, Ester tinggal di sebuah keluarga Jerman dan disekolahkan kursus bahasa Jerman sambil mengasuh anak dari keluarga tersebut selama setahun. Ia mendapatkan uang saku dari hasil kerjanya mengasuh anak di keluarga itu.
Kesempatan itu ada
Di masa mengikuti program au pair itulah Ester membulatkan niat untuk menggapai cita-citanya sebgai koki internasional, dengan cara meneruskan studi di sektor gastronomi lewat program Ausbildung atau vokasi ini - belajar sambil bekerja.
“Di program au pair ini, pertukaran budaya saya mengenal kultur baru bahasa dan saya juga merasa saya mengenal dunia baru saya berniat: Kenapa saya tetap di sini saja dan saya cari informasi bagaimana saya supaya bisa tinggal di sini. Kebetulan saya juga suka makan, selain suka masak, suka makan juga, jadi kenapa saya tidak coba sekolah masak, kebetulan peluangnya di Jerman itu sangat bagus ya, untuk kita pendatang atau pun yang ingin mau tetap di Jerman.“
Namun sebagai peserta program au pair, ia harus melewati dulu masa kerja sosial atau Bundesfreiwilligendienst selama setahun sebelum bisa mendaftar Ausbildung. “Ya karena program au pair itu, pertukaran budaya itu cuma satu tahun. Biasanya harus pulang dulu setelah program usai, ke tanah air. Tapi kami beruntung, bisa terus lanjut ke program lain. Nah, semasa program au pair satu tahun itu kan saya belum bisa 100% memahami bahasa Jerman yang bisa dibilang orang juga sangat sulit ya, jadi saya memanfaatkan satu tahun lagi kemudian dengan bekerja di bagian sosial di bidang anak-anak di gereja dan di situ saya juga semakin banyak belajar bahasa dan memanfaatkan waktu selama setahun, sebelum masuk ke sekolah kejuruan masak,“ papar Ester.
Setahun selesai kerja sosial, Ester pun melamar Ausbildung di sektor gastronomi lewat online. Karena mendaftarnya lewat online, maka jika ada yang medaftar Ausbildung dari Indonesia, itu pun tidak tertutup kemungkinan, “ Saya juga ada beberapa teman, kenalan mereka juga mendaftar dari Indonesia. Jadi melakukan interview lewat Skype itu mungkin, tentu bisa,“ ujar Ester menyemangati rekan-rekan yang bermaksud melamar program yang sama, namun dari tanah air.
Dari sambal terasi dan gado-gado, kini kenal antipasti
Lamaran Ester diterima. Ia sekolah sambil bekerja di sebuah restoran hotel internasional di Kota Bonn, Jerman. Ia mencurahkan perasaannya saat menjalani studi sambil bekerja itu. “Ya kesulitannya yang paling utama itu buat saya soal bahasa ya. Kuliner yang dipelajari tak terbatas masakan Jerman, tapi juga Eropa. Jadi banyak istilahnya juga mengambil beberapa bahasa, kata-kata dari bahasa Prancis, misalnya. Jadi saya harus banyak belajar bahasa.”
Sambil terkekeh geli, ia mengingat kebingungan-kebingungannya saat baru belajat istilah-istilah asing dalam kuliner. “Pernah ya ada acara, jadi kita buat makanan yang banyak ya, jadi saya menghidangkan beberapa makanan. Ada salah satu menu yang saya tidak kenal. Saya kan dulu masih baru di situ ya, jadi banyak makanan yang baru saya kenal. Tadinya saya cuma kenal sambal, nasi panas ya, sambal terasi pakai segala macamlah itu, begitu enaknya, lalu di depan saya kini ada makanan yang yang aneh-anehlah. Saya bilang aneh buat saya, tapi di Jerman sini tidak, di sini itu wajar. Ada atasan bicara ke saya, Ester kamu tolong hilangkan makanan ini dan saya bertanya: Apa nama makanan ini? Dia jawab, namanya antipasti, jadi saya berpikir, antipasti bagaimana? Kalau dalam bahasa Indonesia antipasti itu saya rasa artinya menolak kepastian. Aneh sekali ya, namanya begitu. Lalu saya lihat ternyata antipasti itu sayur yang tumbuhnya di musim panas. Contohnya paprika, terong ungu. Nah antipasti itu seperti salad sayur campur begitu. Saya kenalnya selama ini di kampung kan gado-gado. Di sini ketemunya antipasti.”
Tak perlu dibiayai orang tua maupun mengejar beasiswa
Sebagaimana Ester, Ivanny Anastasia Silitonga juga memulai kariernya di sektor gastronomi lewat program au pair. “Dari Au pair saya lanjut ke BFD (Bundesfreiwiligdienst) atau kerja sosial terlebih dahulu karena itu seperti batu loncatan, di mana kita bisa belajar bahasa lebih dalam dan mendapatkan pengalaman dalam dunia kerja yang ingin kita jalani selama satu tahun sampai ke jenjang Ausbildung (sekolah sambil bekerja),” jelasnya.
Kesulitan yang Ivanny hadapi pun serupa dengan Ester, masalah bahasa, “Karena di sekolah koki di Jerman ini pada umumnya memakai bahasa Jerman,” ujarnya sambil menyarankan bagi yang ingin mengambil program serupa, lebih rajin dalam belajar bahasa Jerman. "Tapi asyiknya, ada banyak kesempatan ke luar negeri," tandas Ivanny.
Dalam program sekolah koki yang Ivanny geluti, ada pula kegiatan pertukaran pelajar ke luar negeri. Namun sayangnya untuk tahun ini ditiadakan karena pandemi corona. “Seharusnya di bulan Maret lalu kami diberikan kesempatan dari sekolah untuk mengikuti program Schulaustausch (di mana pelajar diperbolehkan mengikuti program pertukaran pelajar ke Prancis), tapi karena wabah COVID-19 kegiatannya jadi diundur,” tutur Ivanny.
“Sejak masih au pair kita sudah mendapat gaji, demikian pula ketika setahun kerja sosial. Nah, dengan program Ausbildung, sekolah sambil bekerja ini, kami pun tidak perlu lagi menyusahkan orang tua untuk membiayai studi kami, karena di sekolah sambil bekerja ini kami menerima gaji,” papar Ivanny yang juga tidak memerlukan beasiswa karena mendapat gaji selama kuliah sambil bekerja di program Ausbildung, ”Uangnya cukup untuk sehari-hari selama kami studi.”
Baik Ester maupun Ivanny berharap dapat segera menjadi koki profesional di tatanan internasional. Keduanya kini sudah masuk tahun ketiga studi ynag merupakan tahun terakhir program studi sambil bekerja.
“Target saya menjadi koki profesional yang bisa keliling dunia dan mengenal berbagai macam masakan dan makanan yang ada di seluruh dunia,” tegas Ivanny.
Sementara Ester berujar: “Koki internasional itu pada umumnya laki-laki. Saya ingin jadi koki perempuan terkenal di dunia. Kenapa tidak, kalau kalau kita punya niat, laki-laki perempuan sama saja, yang penting kita mau, semuanya bisa. Meskipun saya kecil tapi impianku besar, cita-citaku besar supaya menjadi koki perempuan di tingkat internasional,” pungkas Ester.