Perlu WC Khusus agar Polwan Tidak Diperkosa
25 April 2013Menjawab kecemasan para polisi wanita adalah isu penting untuk menjawab kekerasan yang merajalela atas para perempuan di masyarakat Afghanistan, kata Human Rights Watch (HRW).
“Pelecehan dan kekerasan adalah pengalaman sehari-hari bagi banyak perempuan Afghanistan,“ kata direktur HRW Asia Brad Adams.
“Tanpa kehadiran konsisten dari para polisi wanita di seluruh negeri, maka perlindungan hukum bagi para perempuan hanya akan tetap menjadi janji yang tidak akan terpenuhi.“
Pemerkosaan di kantor polisi
Dalam sebuah pernyataan kelompok itu mengutip “sejumlah” laporan media mengenai pemerkosaan yang menimpa para petugas polisi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki rekan kerja mereka, dan mengatakan bahwa kurangnya toilet yang terpisah atau tempat untuk mengganti pakaian membuat mereka menjadi sangat rentan.
Banyak diantara 1500 polisi wanita yang tidak bisa mengenakan seragam saat menuju ke tempat kerja karena adanya ancaman dari kelompok pemberontak Taliban atau juga berbagai kelompok konservatif lain yang menentang konsep polisi perempuan.
“Seiring jumlah polisi perempuan di kepolisian yang meningkat, demikian pula tuduhan pemerkosaan atas para petugas polisi perempuan, penyerangan atau pelecehan oleh laki-laki rekan kerja mereka,” kata HRW.
Dan penyerangan seksual itu sering terjadi di tempat-tempat tertutup seperti toilet yang tidak aman dan ruang ganti pakaian.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa polisi perempuan tidak punya akses terpisah atas ruang ganti yang “aman dan nyaman”. Permintaan untuk menyediakan fasilitas itu sebelumnya ditolak.
“Pemerintah Afghanistan harus mengambil tindakan segera untuk memastikan bahwa para petugas kepolisian perempuan punya akses terpisah, yang aman dan fasilitas ruang ganti pakaian yang bisa dikunci di kantor polisi,” demikian pernyataan kelompok HAM tersebut.
Masyarakat patriarkal
Perempuan hanya mengisi satu persen dari total jumlah polisi di Afghanistan yang bertahun-tahun dilanda perang. Pemerintah berencana menaikkan jumlah itu hingga sekitar lima kali lipat.
Perempuan dalam masyarakat Afghanistan yang didominasi laki-laki masih menderita akibat kekerasan domestik dan berbagai penyiksaan lainnya, bahkan 12 tahun setelah Taliban yang berkuasa pada 1996 menetapkan larangan bagi perempuan untuk pergi sekolah atau ke tempat-tempat aktivitas publik lainnya. Taliban kemudian jatuh pada tahun 2001.
Taliban dijatuhkan oleh invasi Amerika, namun kini mereka mengobarkan pemberontakan untuk merebut kembali kekuasaan.
Presiden Hamid Karzai yang didukung barat telah meloloskan undang-undang untuk “menghapuskan kekerasan atas perempuan”, dalam rangka memberikan perlindungan yang lebih besar.
Tapi aturan itu belum cukup ditegakkan, antara lain karena terlalu sedikitnya jumlah polisi perempuan yang ada untuk membantu perempuan korban kejahatan, demikian isi pernyataan HRW.
ab/hp (afp/dpa/ap)