Pers di era Inflasi Kebebasan
1 Mei 2015Reporters Without Borders RSF tahun 2013 menempatkan Indonesia di urutan 139 dalam ranking kebebasan pers dunia. Naik tujuh peringkat dibanding tahun sebelumnya. Tapi angka itu dianggap tidak merefleksikan yang sesungguhnya. Kebebasan Pers Indonesia dianggap jauh lebih baik dari yang digambarkan RSF.
“Indonesia sedang mengalami surplus kebebasan,” kata Agus Sudibyo, seorang pakar media kepada Deutsche Welle.
Agus sempat menjabat Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika di Dewan Pers periode lalu. Dia mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilaporkan ke Dewan Pers, terjadi akibat sikap tidak profesional wartawan saat meliput.
DW: Menurut anda, apakah ranking RSF mencerminkan posisi Indonesia dalam peta kebebasan pers dunia?
Agus Sudibyo: Saya sudah lama tidak begitu setuju dengan metode RSF yang terlalu menggunakan pendekatan kuantitatif, yakni hanya dengan melihat jumlah kekerasan terhadap wartawan. RSF misalnya, tidak mempertimbangkan faktor geografis dan demografis: Indonesia yang luas dengan penduduk sangat banyak tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia misalnya. Belum lagi kalau kita mempelajari kompleksitas masalah kasus per kasus (kekerasan terhadap waratwan-red).
DW: Kalau menimbang yang anda sebut tadi kita ada di posisi mana menurut anda?
Agus Sudibyo: Saya merasa Indonesia seharusnya sama dengan level Afrika Selatan (peringkat 52 RSF). Kemerdekaan pers Indonesia diakui yang terbaik di Asia Pasifik. Misalnya Dewan Pers Indonesia dianggap yang terbaik di dunia setelah Afrika Selatan, karena kami bisa menyelesaikan berbagai sengketa pers tanpa harus dibawa ke polisi atau pengadilan, yang artinya bisa mengurangi pemidanaan atas wartawan. Dewan Pers juga membuat berbagai regulasi sehingga pemerintah tak perlu turun tangan mengatur pers. Meskipun, harus diakui bahwa kekerasan terhadap wartawan masih tinggi.
DW: Tapi bukankah kekerasan terhadap wartawan bisa menjadi indikator bebas tidaknya pers di suatu negara?
Agus Sudibyo: Angka kekerasan kita memang tinggi. Tapi kita harus melihat dinamika politik. Bandingkan dengan Malaysia di mana tingkat kekerasan terhadap wartawan rendah, tapi harus diingat bahwa tidak ada demokrasi di sana. Sementara Indonesia bergerak dinamis: pemilihan kepala daerah dll. di mana potensi kekerasan tinggi, tidak hanya kepada wartawan tapi juga pemantau pemilu dan LSM. Memang kekerasan terhadap wartawan tidak bisa dianggap remah, tapi itu konsekuensi demokrasi, yang tidak terjadi di negara seperti Malaysia. Kita harus ingat bahwa pers di Malaysia itu dibungkam: tidak boleh mengkritik. Sementara di Indonesia bebas sekali. Nah, RSF tidak melihat sejauh itu.
DW: Apakah menurut anda wartawan Indonesia sekarang memang sudah merdeka?
Agus Sudibyo: Banyak pengamat asing yang datang dan terheran-heran. Mereka berasal dari negara yang sangat demokratis tapi kaget melihat pers Indonesia. Oh begini ya media di tempat anda, karena dari pagi, siang, hingga malam mengkritik pemerintah, bahkan menuduh korupsi dan macam-macam, dan itu sering dengan mengabaikan kode etik. Saya termasuk orang yang percaya bahwa Indonesia sedang mengalami surplus kebebasan.
DW: Bagaimana wartawan Indonesia di tengah surplus kebebasan ini?
Agus Sudibyo: Dalam catatan Dewan Pers tiga tahun terakhir, kekerasan terhadap wartawan dipicu tindakan tidak profesional dari wartawan. Yang muncul di media hanya wartawan dipukul, diusir, dirampas kameranya dll. Tapi setelah kami selidiki, itu terjadi karena aksi reaksi. Wartawan dirampas kameranya karena mengumpat narasumber. Misalnya di Pematang Siantar Sumatera Utara, ada Camat yang merampas kamera wartawan, kami ramai-ramai mengadvokasi. Tapi setelah diselidiki kami menemukan bahwa Camat itu marah karena wartawan itu bilang: Elu Camat, tapi otak lu di dengkul ya? Ada pula kasus pemukulan terhadap wartawan yang dilakukan pelajar SMA 6. Yang dibicarakaan hanya bahwa anak-anak SMA gemar berkelahi, ribut dan memukuli wartawan, memang itu fakta. Tapi yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa wartawan itu bukan murni korban, tapi juga pelaku. Karena yang terjadi sebenarnya adalah adu pukul antara kelompok wartawan dengan sekelompok pelajar SMA 6.
DW: Apakah anda kini melihat bahaya lain: kesewenangan media atau wartawan?
Agus Sudibyo: Tendensi itu ada, misalnya catatan Dewan Pers tahun 2012 di mana kami menerima 485 pengaduan. Setelah kami teliti, 74 persen pengaduan itu berakhir dengan kesimpulan bahwa wartawan memang melanggar kode etik. Pelanggaran itu akibat menulis secara tidak seimbang, tidak konfirmasi, tidak akurat dan menghakimi. Itulah tanda bahwa surplus kebebasan belum diikuti komitmen dan dedikasi terhadap kode etik jurnalistik. Belum ada keseimbangan antara sikap etis dengan kebebasan.
DW: Seharusnya bagaimana wartawan Indonesia merespon situasi ini?
Agus Sudibyo: Gampangnya begini: mengkritik pemerintah dari pagi hingga malam itu bukan sesuatu yang membanggakan lagi saat ini. Tantangannya adalah: bagaimana kita bisa mengkritik secara substansial, bertanggungjawab dan tanpa menghakimi. Kebebasan itu bukan tujuan akhir. Kebebasan pers hanyalah sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi yakni ruang publik yang berkualitas dan etis. Wartawan tak hanya bisa mengkritik, tapi juga harus bisa menganalisis, dan merefleksikan gagasan.
DW: Di luar sikap tidak etis dan profesional wartawan, menurut anda apa tantangan terberat kebebasan pers Indonesia?
Agus Sudibyo: Pendulum kebebasan pers kini bukan lagi pada negara, karena negara tak berani lagi melakukan represi, tidak juga di publik karena masyarakat semakin dewasa. Kini yang paling berbahya adalah pemilik media. Ini bahaya laten, karena banyak pemilik media yang bermain politik, baik di tingkat nasional mapun lokal. Ini patut diwaspadai, terutama menjelang pemilu 2014.
Agus Sudibyo, pengamat media, sempat menjadi Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika di Dewan Pers.