1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perubahan Iklim dan Takdir Komoditas

8 November 2017

Perubahan iklim dipastikan akan mempengaruhi produksi pangan dunia, Indonesia termasuk yang terkena dampak. Seperti apa kesiapan Indonesia menghadapi tantangan ini? Simak opini Fitrian Ardiansyah.

https://p.dw.com/p/2mwn6
IDH-Sustainable Trade Initiative
Foto: IDH-Sustainable Trade Initiative

Bukti ilmiah dari seluruh dunia menyepakati bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi produksi komoditas pertanian dalam beberapa dekade mendatang. Publikasi yang dirilis Universitas Wageningen tahun 2016 menunjukkan bahwa petani terbatas secara waktu dan cakupan dalam mengatasi konsekuensi perubahan iklim, dan karenanya upaya pendampingan pekebun sangat dibutuhkan.

Fitrian Ardiansyah
Fitrian Ardiansyah, direktur IDH -Sustainable Trade InitiativeFoto: Privat

Diperkirakan, seperti yang terangkum dalam makalah kerja yang disusun pemerintah Indonesia dan JICA (Badan Kerjasama Internasional Jepang) tahun 2013, konsumsi beras di Indonesia lebih tinggi daripada produksi beras pada tahun 2010 dan seterusnya. Penyebab utama kondisi ini adalah ketersediaan lahan dan jika dampak perubahan iklim sepenuhnya dipertimbangkan, maka angka produksi pangan bisa jadi justru di bawah angka yang diprediksi tersebut.

Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan jumlah hasil produksi pertanian berkurang namun juga mempengaruhi kondisi lainnya. Oleh karena itu, tiap pelaku yang terlibat dalam rantai suplai komoditas perlu menyadari kesiapan sektor pertanian menghadapi tantangan perubahan iklim.

Perlu merumuskan kebijakan dan program

Pemerintah sebagai pelaku utama, misalnya, perlu merumuskan kebijakan dan program, diantaranya yang dapat mendorong pengembangan varietas tanaman pangan yang mampu menghadapi tantangan iklim (yaitu ketahanan terhadap kekeringan, banjir dan penyakit) dan meningkatkan pengetahuan praktikal pekebun dalam menghadapi perubahan iklim dan variabilitas, perlu didukung lebih lanjut, terutama di tataran lokal (misalnya memastikan pekebun mendapatkan dukungan sehingga mereka dapat meningkatkan kapasitas yang adaptif).

IDH- Inisitatif Dagang Hijau menjalin kerja sama dengan ICCRI atau Puslitkoka (Institut Penelitian Coklat dan Kopi Indonesia), lembaga penelitian milik pemerintah, untuk memperkenalkan kepada pekebun dan mitra swasta di wilayah proyek IDH akan memilihkan varietas yang lebih tahan terhadap penyakit dan kekeringan. Program ini bertujuan untuk memberi pemahaman yang lebih baik bagi para petani dan mendukung peningkatkan produktivitas akibat perubahan iklim.

IDH-Sustainable Trade Initiative
Petani dilatih menggunakan kurikulum nasional untuk mengetahui kopi sesuai standar. Diperkirakan 80.000 petani akan dilatih hingga 2020Foto: IDH-Sustainable Trade Initiative

Bersama SCOPI (Platform Kopi Berkelanjutan di Indonesia) dan Kementerian Pertanian, IDH juga terlibat dalam merancang dua dokumen kurikulum nasional terkait penerapan perkebunan yang baik dan pasca-panen, baik untuk petani robusta dan arabica. Hadirnya kedua kurikulum ini juga diikuti dengan skema pelatihan bagi para penyuluh utama hingga nantinya diharapkan pada tahun 2020 akan ada sekitar 80.000 pekebun terlatih. Sebagian pekebun dan penyuluh yang dilatih dengan menggunakan perangkat ini telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas mereka di atas standar nasional.

Sektor swasta juga perlu aktif berperan. Apalagi setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan selama musim kemarau kerap mengancam warga, satwa dan lingkungan, berbagai perusahan membentuk koalisi yang mencegah kebakaran terjadi di tingkat desa, yaitu Aliansi Bebas Api (FFA). FFA, lembaga dimana IDH juga aktif terlibat, membuktikan bahwa sektor swasta yang didukung oleh organisasi lainnya dapat berkontribusi untuk mengatasi masalah kebakaran dan kabut asap yang kerap terjadi akibat pembakaran lahan.

Dengan menggunakan wadah kolaboratif seperti FFA, berbagai perusahan dapat berbagi informasi, pengetahuan dan sumber daya dalam menerapkan solusi yang paling efisien dan ekonomis yang dapat digunakan untuk mengklaim suatu daerah dan desa, dimana mereka melakukan produksi di seluruh Indonesia, adalah daerah yang bebas api dan kabut asap. Program ini terdiri dari penghargaan bebas api, pemimpin kru, pendampingan pekebun, program kesadaran dan pemantauan kebakaran dan kabut asap.

Mengatasi perubahan iklim di sektor perkebunan juga membutuhkan perubahan dalam praktik bisnis, model dan instrastruktur. Semua ini tidak murah. Peremajaan atau penanaman kembali tanaman baru dengan produktivitas yang lebih tinggi dan lebih tahan terhadap perubahan iklim memerlukan investasi yang signifikan. Untuk melakukan penanaman kembali kelapa sawit, dibutuhkan sedikitnya 5.000 Dolar AS/hektar dan banyak pekebun yang tidak memiliki modal besar untuk melakukan hal itu.

Lembaga keuangan nampaknya masih memandang sektor perkebunan sebagai salah satu sektor yang paling beresiko untuk berinvestasi. Penyaluran dana yang inovatif dan inklusif sangat dibutuhkan. Penyediaan fasilitas kredit dengan suku bunga yang rendah, jangka panjang serta dengan masa tenggang yang fleksibel bagi pekebun merupakan kunci peningkatan produktivitas dalam memberi dukungan finansial untuk penanaman kembali dan/atau peremajaan tanaman tua. Desain seperti itu sekarang merupaan bagian dari portofolio andgreen.fund –yang dikembangkan oleh IDH dan mitranya untuk menghubungkan secara atraktif lembaga keuangan dan pelaku usaha dan petani dengan skema permodalan yang rendah risiko, yang juga mencakup perjanjian perlindungan hutan, gambut dan lingkungan – sehingga diharapkan dapat menjawab permintaan pasar dan tantangan tata kelola lahan.

Kombinasi antara intervensi dan perangkat insentif yang dapat meningkatkan produktivitas, membantu organisasi pekebun., mengembangkan model usaha di tataran petkebun dan desa merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi tantangan untuk mengembangkan komoditas yang produktif sekaligus tantangan akibat perubahan iklim.

Pembahasan tentang perubahan iklim dapat dilakukan di tataran global namun intervensi secara terstruktur perlu diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia Sudah saatnya inovasi seperti ini diimplementasikan dan ditingkatkan sehingga kita bisa "memproduksi secara lebih banyak dengan upaya minim" dan "dengan cara bijak".

Penulis: Fitrian Ardiansyah

Penulis adalah direktur IDH-Sustainable Trade Initiative Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui [email protected]