Perusahaan Pembakar Hutan Masih Menunggak Denda
15 Februari 2019Perusahaan sawit dan kertas di Indonesia berhutang senilai USD 220 juta atau sekitar Rp. 3,1 trilyun kepada pemerintah. Jumlah tersebut membengkak menjadi USD 1,3 milyar atau setara dengan Rp. 18 trilyun jika ditambahkan dengan vonis denda dalam kasus pembalakan liar.
Musim kemarau pada 2015 ditandai dengan kebakaran hutan hebat di lahan seluas 2,6 juta hektar yang ikut mengirimkan kabut asap ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Bank Dunia memperkirakan kebakaran hutan menimbulkan kerugian senilai USD 16 miliar atau sekitar Rp. 226 trilyun. Sementara studi Universitas Harvard dan Columbia meyakini kabut asap memicu kematian dini pada 100.000 penduduk.
Baca juga: Rekam Jejak Komitmen Sinarmas Terhadap Isu Lingkungan
Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat pemerintah mengaku berkomitmen mengakhiri praktik pembakaran hutan di Indonesia. Namun kenyataannya gugatan berulang yang dilayangkan 10 perusahaan terbesar terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat implementasi eksekusi hukuman tertunda selama bertahun-tahun.
KLHK sendiri mengklaim telah mencatat kemajuan dalam menjalankan putusan pengadilan dan mendenda perusahaan yang terlibat pembakaran. Namun dua perusahaan yang menurut laporan KLHK telah membayar denda senilai USD 2 juta atau Rp. 28 trilyun dihukum lantaran aktivitas tambang terbuka, bukan kebakaran hutan.
Uang denda untuk restorasi hutan skala besar
Greenpeace Indonesia menegaskan denda yang belum dibayar adalah utang kepada masyarakat dan bisa digunakan untuk membiayai restorasi hutan dalam skala besar atau memperbaiki layanan kesehatan. "Dengan tidak menegakkan hukum, pemerintah mengirimkan pesan yang berbahaya: bahwa keuntungan perusahaan lebih penting ketimbang hukum, udara yang bersih, dan perlindungan kesehatan serta hutan," kata Juru Kampanye Kehutanan Greenpeace, Arie Rompas.
Dalam berbagai kasus dugaan pembakaran hutan antara tahun 2009 hingga 2012, perusahaan sawit Kallista Alam mengajukan banding terhadap hukuman denda senilai Rp. 336 milyar hingga ke Mahkamah Agung. Perusahaan itu sebelumnya terbukti membakar dan mengeringkan ladang gambut di Kuala Tripa dan membunuh satwa liar, antara lain orangutan, lewat kabut asap yang tercipta.
Baca juga: Cegah Karhutla, Ilmuwan 'Dengarkan' Suara Hutan
Kawasan yang dibakar PT. Kallista Alam termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, habitat terakhir di Bumi yang dihuni oleh harimau, gajah dan badak sumatera yang kian langka. Ketika MA menolak pengkajian ulang, perusahaan beralih ke Pengadilan Negeri Meulaboh yang membebaskan Kallista Alam dari semua tuduhan.
Putusan PN Meulaboh lalu dibatalkan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Oktober 2018 silam. Namun hingga kini belum ada kejelasan mengenai pembayaran denda. PT. Kallista Alam sendiri tidak bisa dihubungi lantaran nomer telepon yang ditampilkan perusahaan dalam profilnya tidak lagi aktif.
Menang kasus tapi gagal eksekusi denda
Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, mengatakan dalam tujuh kasus eksekusi vonis tertunda lantaran pengadilan negeri yang bertugas mengumpulkan uang denda belum mendapat salinan putusan. "KLHK secara konsisten mengupayakan penegakan hukum, termasuk dalam kasus pembakaran lahan dan hutan, dengan mengajukan gugatan di pengadilan."
Lembaga pimpinan Siti Nurbaya Bakar itu mengklaim telah memenangkan kasus senilai Rp. 7,8 trilyun sejak 2014, seputar dugaan pembakaran atas 20.000 hektar lahan yang dikuasai Bumi Mekar Hijau, perusahaan kayu yang menginduk pada Sinarmas. Meski uang denda sudah dikurangi menjadi Rp. 78 milyar pada 2016 lalu, hingga kini perusahaan belum melunasi denda.
Baca juga: WHO: Produsen Sawit Contek Industri Alkohol Pengaruhi Riset Ilmiah
Ketika dimintai keterangan, seorang jurubcara Asia Pulp & Paper, anak perusahaan Sinarmas, yang juga berhubungan dengan Bumi Mekar Hijau, mengaku direktur yang mengurus kasus hukum tersebut sedang cuti sakit.
"Sebagai warga negara biasa kita dipenjara kalau tidak bayar pajak," kata Arie Rompas, Juru Kampanye Greenpeace. "Jadi kenapa pemilik perusahaan besar ini tidak dipaksa membayar utang mereka atau dijebloskan ke penjara?", imbuhnya.
rzn/hp (Associated Press)