Phillis Wheatley Merdeka dari Perbudakan Berkat Puisi
16 Oktober 2020Anak perempuan berkulit hitam itu usianya diperkirakan baru sekitar tujuh atau delapan tahun ketika diambil dari keluarganya di wilayah barat Afrika tahun 1761, untuk dijual sebagai budak ke Boston yang kini termasuk wilayah Amerika Serikat.
Setelah perjalanan panjang yang ditempuh dengan moda transportasi abad ke-18, bocah mungil ini tiba di Boston dan dijual di pasar yang memperdagangkan budak. Pada saat bersamaan, pasangan John dan Susanna (beberapa buku menuliskan namanya sebagai Susannah) Wheatley juga tengah berniat mencari budak. Pilihan mereka pun jatuh ke bocah ini.
Sesuai kebiasaan pada masa itu, bocah perempuan ini kemudian diberi nama belakang Wheatley, sesuai dengan nama keluarga yang membelinya. Bagaimana dengan nama depannya? Keluarga Wheatley tidak mau repot. Nama depan bocah itu dicomot begitu saja dari nama kapal yang membawanya, Phillis. Demikianlah, keberadaan Phillis Wheatley ditahbiskan, seperti digambarkan dalam buku berjudul Phillis Wheatley, a revolutionary poet karya Jacquelin McLendon.
Tidak banyak yang diketahui tentang keluarga Phillis di Afrika. Tidak ada catatan pasti kapan ia lahir, namun kurang lebih di tahun 1753. Konon, ia diculik dari keluarganya untuk diperdagangkan. Praktik perdagangan orang dari benua Afrika untuk kemudian dijual sebagai budak kepada orang Eropa/Amerika terjadi sejak abad 16 hingga abad 19.
Bocah ringkih nan cerdas
Para sejarawan mengungkap bahwa sepanjang perjalanan dari Afrika, para budak masa itu kemungkinan besar berada dalam kondisi yang memprihatinkan, selalu berada dalam ancaman hukuman cambuk, atau bahkan dibunuh jika tidak patuh. Mereka juga sering kelaparan. Karena itu, fakta bahwa Phillis kecil bisa sampai ke Amerika dalam keadaan hidup sungguh luar biasa.
Phillis dibeli oleh keluarga Wheatley karena rasa iba. Saat itu Susanna Wheatley sedang mencari budak yang bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia melihat anak ini dan jatuh kasihan. Susanna pun memilih Phillis di antara para budak lain yang terlihat lebih kuat dan sehat. Harganya tidak terlalu tinggi. Bisa jadi pula, sang pedagang memang ingin lekas-lekas menjual Phillis.
Meski fisiknya lemah, kecerdasan Phillis tampak menonjol. Susanna Wheatley kemudian memutuskan untuk mendidik Phillis karena tidak ingin menyia-nyiakan bakatnya, terutama di bidang bahasa dan penulisan puisi.
Susanna dan keluarganya jugalah yang di kemudian hari memberikan akses ke materi bacaan yang memengaruhi pemikiran-pemikiran Phillis yang tertuang dalam tulisannya. Ia mengusahakan agar karya-karya Phillis bisa dipublikasi, memberikan dukungan keuangan dan kontak yang diperlukan.
Phillis mendapat perlakuan yang istimewa supaya bisa fokus belajar. Tugas-tugas rumah tangga yang dilimpahkan kepadanya bisa dibilang minim. Bahkan, seperti dikutip dari buku The poems of Phillis Wheatley terbitan University of North Carolina Press, sesekali dia juga dibolehkan menolak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga jika sedang merasa enggan. Namun hak istimewa ini bukannya tanpa harga. Phillis dikabarkan sempat mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari rekan-rekannya sesama budak.
Terbitkan buku puisi tentang “berbagai subjek, agama dan moral”
Hari-hari di rumah keluarga Wheatley dihabiskan oleh Phillis dengan menyerap pendidikan dari nyaris seluruh anggota keluarga itu, termasuk juga anak perempuan dan laki-laki Wheatley. Ia ternyata luar biasa cerdas dan menunjukkan minat belajar yang tinggi. Keluarga Wheatley pun begitu kagum dan bangga, hingga mereka sering memamerkan Phillis dan puisi-puisinya kepada keluarga besar dan teman-teman.
Setelah menulis cukup banyak puisi, keluarga Wheatley membawa Phillis ke London, Inggris. Di sana, mereka berpendapat bahwa buku Phillis akan lebih mungkin terbit bila dibandingkan dengan di Amerika. Banyak yang menentang, banyak pula yang tidak percaya bahwa seorang perempuan kulit hitam seperti dirinya mampu melahirkan puisi-puisi itu.
Berkat bantuan sejumlah koneksi keluarga Wheatley di London, buku puisi Phillis akhirnya terbit pada tahun 1773, ketika usianya baru 20 tahun. Buku ini, yang berjudul Poems on Various Subjects, Religious and Moral, adalah pencapaian luar biasa untuk masa itu mengingat latar belakang ras, gender, serta status sosial Phillis Wheatley.
John Wheatley menuliskan kekagumannya bahwa tanpa pendidikan sekolah formal, dan hanya dalam jangka waktu 16 bulan sejak tiba di Boston, Phillis telah menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik dan mampu membaca bagian-bagian sulit dari naskah kitab suci. Ia juga mampu membaca teks klasik Latin dalam bahasa aslinya.
“Dia punya kecenderungan kuat dalam mempelajari bahasa Latin, dan telah membuat kemajuan dalam hal ini,” tulis John Wheatley dalam pengantar di buku puisi Phillis.
Bebas dari perbudakan
Di salah satu puisinya, Phillis menuliskan mengalamannya dijual sebagai budak dari Afrika ke Amerika. Puisi itu menggambarkan keyakinan bahwa Tuhan Maha Ada dan Maha Penyelamat. Dan bahwa kaum berkulit hitam juga bisa bergabung dalam sebuah gerbong kereta yang berisi malaikat.
Phillis juga banyak menulis puisi tentang kematian. Kematian seorang bocah berusia lima tahun, kematian seorang pemuda, dan puisi pemakaman atas matinya seorang bayi berusia 12 bulan, adalah sebagian kecil puisi kematian yang ia tulis. Buku ini ternyata diterima publik dengan baik, bahkan menurut laman internet Britannica, Phillis juga ikut populer di London berkat pembawaan dan kepribadiannya.
Setelah buku ini terbit, Pada 18 Oktober 1775 keluarga Wheatley memutuskan untuk membebaskan Phillis dari perbudakan. Berstatus merdeka, Phillis kemudian menulis lebih banyak lagi puisi, salah satunya tentang George Washington yang kelak menjadi presiden pertama Amerika Serikat. Ia menikah dengan seorang lelaki Afrika-Amerika yang juga orang bebas.
Meski sempat mengenyam kepopuleran, nasib Phillis Wheatley di akhir hidupnya tidak begitu bagus. Setelah pernikahan yang penuh kesulitan, utamanya dalam hal keuangan, Phillis meninggal dunia dalam kemiskinan pada usia terbilang muda, 31 tahun, pada tahun 1784 di Boston. (ea/hp)