PKI di Mata Wartawan Pertama Penulis Buku G30S
19 September 2020Wartawan asal Sri Lanka, Tarzie Vittachi menulis buku yang cukup penting sebagai rujukan sejarah karena ditulis tahun 1967, selisih satu tahun lebih dari peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pada masa Orde Baru, publik mengenalnya sebagai G30S/PKI. Pasca Reformasi 1998, penulisan sejarah terkait malam kelam itu mulai meniadakan kata PKI atau Partai Komunis Indonesia dengan alasan kata PKI baru dilekatkan sejak tahun 1966 ketika PKI dicap sebagai dalang kudeta, tragedi berdarah itu.
Berbagai Versi G30S Tanpa “The Fall of Sukarno”
Tarzie Vittachi, seorang wartawan asing untuk sejumlah media seperti BBC dan Newsweek menulis tentang G30S dengan rentang waktu sebelum September 1965 hingga Supersemar Maret 1966.
Tarzie menulis kata pengantar bukunya pada Agustus 1966, tetapi “The Fall of Sukarno” atau “Kejatuhan Sukarno” baru terbit tahun 1967 di London, Inggris. Tarzie menulis nama Sukarno dengan huruf u bukan oe. Namun buku pertama tentang G30S yang ditulis oleh orang asing ini justru tidak disebutkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam tulisannya yang berjudul, “Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965” yang dipublikasikan tahun 2018.
Asvi Warman Adam menyebut buku yang dipublikasi pertama kali terkait 30 September 1965 adalah “40 Hari Kegagalan G30S, 1 Oktober-10 November 1965” yang terbit menggunakan nama Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan atas inisiatif Jenderal Nasution yang kehilangan puterinya akibat G30S. Cetakan pertama 27 Desember 1965.
Asvi menyatakan buku itu sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta. Publikasi kedua adalah “Cornell Paper”, yang dimuat dalam koran The Washington Post pada 5 Maret 1966. “Cornell Paper” ditulis oleh Ben Anderson, Ruth McVey dan FP. Bunnell yang resmi terbit tahun 1971 dengan kesimpulan kudeta sebagai persoalan internal Angkatan Darat.
Publikasi ketiga menurut Asvi muncul tahun 1968 berjudul “The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia” dengan tujuan menolak “Cornell Paper”. Buku inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1989 dengan judul “Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia.” Mengapa ada demikian banyak rujukan buku G30S namun seorang sejarawan sekelas Asvi Warman Adam tidak menyebut “The Fall of Sukarno”? Entahlah.
Kredibilitas “The Fall of Sukarno”
Mungkin Anda bertanya, jika sudah ada ratusan buku tentang G30S tapi tidak mampu menguak misteri dan belum bisa mengurai kontroversi Peristiwa 1965 meski para petinggi PKI sudah dihukum, untuk apa menambah referensi dari satu buku lagi?
Buku “The Fall of Sukarno” pantas menjadi rujukan sejarah karena penulisnya bukan wartawan biasa. Varindra Tarzie Vittachi lahir di Sri Lanka, kuliah di Universitas Kolombo dan menjadi wartawan di London, Inggris.
Saat G30S terjadi, Tarzie menjabat sebagai Direktur Asia Institut Pers Internasional yang berpusat di Malaysia dari tahun 1960 hingga 1965. Ia mendapat penghargaan Ramon Mangsaysay tahu 1959 untuk kategori Jurnalisme dan Literatur atas bukunya yang berjudul “Emergency 58” tentang keterlibatan pemerintah dalam kerusuhan anti-Tamil di Sri Lanka saat masih bernama Ceylon. Akibatnya Tarzie di-“persona nongrata” oleh Sri Lanka.
Usai menjadi wartawan, Tarzie menempati berbagai posisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama hampir dua puluh tahun sebelum pensiun dari posisi Deputi Direktur Eksekutif di Unicef pada tahun 1988. Sebuah obituari ditulis oleh media Inggris “Independent” saat Tarzie meninggal dunia pada September 1993 dalam usia 69 tahun. Dalam obituari Tarzie dikenang mendukung wartawan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis di Indonesia yang ditekan Soekarno.
Rosihan Anwar menulis sekilas tentang Tarzie dalam buku “Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965”. Tarzie menulis buku berjudul, “Jika Mereka Menangkap Saya, Apa Boleh Buat?” untuk Mochtar Lubis.
Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis adalah wartawan idealis terkemuka di Indonesia sehingga perkenalan Tarzie dengan kedua nama besar ini, paling tidak menjamin kredibilitas tulisan Tarzie. Apalagi sebagai orang asing, Tarzie tentu tidak punya beban dalam mengulas peristiwa G30S. Sebagai seorang wartawan peraih penghargaan, idealisme Tarzie tentu bisa menjadi pegangan.
Tulisan ini fokus pada informasi tentang PKI, bukan membahas malam kelam 30 September 1965, meski Tarzie menyebut Soeharto pun termasuk nama yang bakal diculik, namun Soeharto lolos karena tidak ada di rumah. Sejauh ini cuma Tarzie yang memasukkan nama Soeharto, sebuah informasi yang menambah spekulasi G30S.
Agama PKI
Tarzie menilai komunis dan tentara adalah dua kekuatan terorganisir yang paling aktif dan kuat di Indonesia kala itu. Tarzie menyatakan, “Sukarno dengan sengaja memenuhi kabinet dengan orang-orang, yang lewat keyakinan atau lewat perhitungannya, sangat bersandar pada kebijakan-kebijakan PKI—Partai Komunis Indonesia. Ini dibaca oleh seluruh dunia sebagai bukti bahwa Sukarno sendiri adalah seorang komunis, atau pion PKI. Tetapi walaupun ada lebih banyak unsur komunisme dalam kabinet daripada unsur agama atau nasionalisme, ia bukan seorang komunis.”
Tarzie mengutip Sukarno dengan menulis pada halaman 6 di bukunya, “Satu-satunya cara untuk memenangkan komunis adalah dengan memimpin mereka. Saya telah membawa mereka lebih dekat kepada saya supaya saya dapat memimpin mereka dengan cara yang saya inginkan.”
Bagi Anda yang merasa heran mengapa Sukarno begitu ramah pada komunis, Tarzie memberikan alasan yang sangat masuk akal. Tarzie menulis dalam halaman 7 bukunya, “Sukarno meyakinkan banyak orang bahwa komunis Indonesia berbeda dari yang lainnya. Pemimpin mereka DN. Aidit, Njoto dan M.H Lukman telah bersumpah setia kepada lima prinsip dasar Republik dan salah satunya adalah mempercayai Tuhan yang Maha Esa. Bila komunis Indonesia memperkatakan syahadat, bagaimana mungkin mereka adalah orang kafir seperti yang tampak pada komunis di tempat lain? Namun karena Sukarno membawa PKI masuk dalam kabinet membuat mayoritas orang berpikir Pemimpin Besar (Soekarno) telah mentransformasikan kaum komunis menjadi kaum nasionalis Islam.”
Jelas di mata Soekarno, komunis bukanlah kelompok tak beragama atau ateis. Sebaliknya, anggota PKI adalah orang yang setia pada Pancasila dan percaya pada Tuhan dan agama Islam.
PKI dan Soekarno
Tarzie menulis kelakuan PKI yang cukup kurang ajar terhadap rakyat yakni, “Sepanjang tahun 1965, dari Madiun, Solo dan kubu komunis lain makin banyak laporan perampasan ladang dan tanah sayuran dan singkong.”
Kedekatan PKI dan Soekarno digambarkan Tarzie ketika “PKI digunakan oleh Sukarno dalam demonstrasi, kapan saja ia membutuhkan massa maka Sukarno akan mengontak Aidit yang akan menurunkan massa dalam jumlah besar dua sampai tiga ribu pasukan dengan riang melempar batu pada orang-orang asing" (halaman 8). Tarzie menulis, “Namun PKI setuju untuk tidak demonstrasi menuntut penurunan harga kebutuhan hidup. Sukarno merupakan benteng terbaik yang dimiliki PKI terhadap tentara yang permusuhannya semakin hari semakin kentara.”
Pengaruh PKI terhadap Soekarno menimbulkan tanda tanya sehingga Tarzie menulis, “PKI memberikan Sukarno dukungan yang gencar dan terus menerus dalam kampanyenya melawan Malaysia, begitu besar hingga sulit untuk mengatakan apakah gagasan konfrontasi tersebut merupakan gagasan Sukarno sendiri atau datang dari PKI. Yang jelas adalah hal itu sesuai dengan keinginan PKI, karena menghancurkan Malaysia merupakan bagian penting dari incaran Peking atas wilayah Asia (halaman 12).”
Tampaknya PKI memang menghendaki Soekarno menjauh dari pergaulan internasional sehingga pada halaman 14 Tarzie menulis, “PKI bergembira sekali” pada konsep antikolonial PBB saat Indonesia keluar dari PBB. Pada halaman 30, kita bisa membaca pengaruh PKI yang makin besar pada Soekarno. “Pengaruh PKI cukup kelihatan ketika PKI berhasil meminta presiden membubarkan 21 surat kabar non komunis pada Februari 1965. Tekanan yang sama berhasil mengeluarkan 60 orang jurnalis non-komunis dari keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (halaman 30).“
PKI Makin Berulah
“Pada bulan Juli 1965, penyerangan PKI terhadap Angkatan Darat dan kelompok-kelompok agama menjadi terang-terangan. Untuk pertama kalinya PKI memanggil pasukan jalanannya untuk memprotes biaya hidup yang tinggi yang sekarang mulai tidak dapat ditoleransi bagi penduduk perkotaan. Di Jawa Timur para komunis melancarkan serangan terbuka melawan para ulama Islam, yang dituduh mencampuradukkan teori-teori politik reaksioner ke dalam pengajaran agama mereka.”
Seluruh paragraf itu ditulis Tarzie pada halaman 31 bukunya. Tarzie mencatat pada halaman 33, “Ini adalah target PKI: untuk menciptakan kekacauan yang meluas di antara mereka yang tinggal di daerah pedesaan."
Kita bisa membayangkan situasi politik masa itu ketika Soekarno sebagai presiden berada dalam kondisi sakit-sakitan sehingga komunis dan tentara berada dalam posisi siap siaga menghadapi kabar buruk kematian presiden. Tarzie menilai komunis lebih aktif melakukan serangan kepada tentara dan ulama guna mendapat pengaruh rakyat.
PKI juga aktif membawa isu luar negeri ke dalam negeri guna membangkitkan sentimen antiasing. “Demonstrasi besar PKI menuntut pengusiran nekolim (neokolonialisme) dari Vietnam dan poster-poster KIAPMA mengembar-gemborkan Konferensi Pada Pangkalan-Pangkalan Asing yang akan datang disponsori oleh Dr. Subandrio, menggambarkan rakyat Indonesia membantai nekolim dengan keris, golok panjang dan sabit” (halaman 36). Dengan bantuan PKI, Subandrio memberikan pertunjukan anti-India yang berani di pulau Jawa dan Sumatera segera setelah peperangan dimulai di perbatasan Kashmir. Kantor penerbangan Air India di Jakarta dijarah dan dibakar“(halaman 38).
Jika Soekarno dan komunis menimpakan kenaikan harga kebutuhan kota pada orang asing sebagai bagian dari nekolim, rakyat menyasar orang keturunan Cina.
Situasi yang pelik pada masa-masa itu karena pemerintah antinekolim, komunis antiasing, bukan hanya Barat tetapi juga menyasar India, sementara rakyat anti-Cina karena dianggap mendukung PKI.
“Orang-orang di jalanan dan petani biasa tidak suka menyalahkan pemerintahan Sang Pemimpin Agung atas keadaan sulit mereka, secara terbuka menuduh para pedagang retail yang mengambil keuntungan dari barang-barang pokok. Sejumlah besar pedagang ini ada di tangan orang-orang Cina yang berjumlah 3.000.000 orang di Indonesia. Ketika pemerintah semakin mengayun ke kiri dan semakin berada di bawah pengaruh Beijing-PKI, populasi orang-orang Cina yang selalu rentan terhadap serangan sebagai kelompok minoritas, mereka dianggap memberikan dukungan keuangan yang cukup banyak kepada PKI. Beparki, partai politik masyarakat Cina, memberikan sumbangan tahunan yang besar kepada PKI. Ini adalah uang perlindungan, tetapi mereka membayarnya selama tidak ada pertanyaan-pertanyaan janggal mengenai sumber keuangan mereka dan harga yang dikenakan kepada mereka. Oleh karena itu Sukarno dan Subandrio cemas dan berusaha untuk memindahkan tuduhan atas kemiskinan rakyat Indonesia pada nekolim di luar negeri” (halaman 41).
Dalang G30S
Tarzie mempunyai kesimpulan sendiri terkait G30S, kesimpulan yang ia dalami selama sepuluh bulan yakni sejak September 1965 hingga Juli 1966, sebulan sebelum Tarzie menulis kata pengantar bukunya.
Pada halaman 66-67, Tarzie menulis: Sebuah kisah yang logis dan jelas mungkin tidak pernah akan muncul dari kemungkinan-kemungkinan yang kacau dan bertolak belakang.
Akan tetapi, setelah menyaring fakta-fakta, kemungkinan-kemungkinan dan probabilitas-probabilitas yang ada selama sepuluh bulan, sepertinya bagi saya penjelasan yang sesungguhnya mungkin melibatkan unsur-unsur menonjol dari semua versi ini. Singkatnya, mungkin ada tiga rencana atau “tindakan” yang siap dilaksanakan pada waktu itu:
1. Persiapan Angkatan Darat menghadapi upaya apapun dari Subandrio dan PKI untuk mengambil alih kekuasaan dengan dukungan militer Angkatan Udara apabila presiden meninggal dunia.
2. Persiapan Letnan Kolonel Untung mungkin dimulai sebagai respons atas peringatan presiden, terhadap sebuah kemungkinan Angkatan Darat akan menurunkan pemerintahan NASAKOM selama atau setelah masa hidup Sukarno.
3. Rencana PKI untuk mengambil alih kekuasaan saat presiden meninggal dunia, dengan bantuan militer Angkatan Udara dan untuk mendirikan sebuah pemerintahan mungkin dengan Dr. Subandrio sebagai ketua sipil.
Dengan demikian Tarzie tidak menyebut dalang G30S secara spesifik melainkan menyodorkan tiga rencana tindakan yang dilakukan tiga aktor terpisah berdasarkan sejumlah fakta investigasi jurnalistik seorang wartawan. Tarzie menyakini ketiga aktor tersebut masing-masing mempunyai peran yang berkontribusi pada tragedi kemanusiaan 1965.
Tarzie mencatat data dari wartawan The Washington Post, Stan Karnow yang berkeliling sejumlah lokasi di Indonesia dan menyebut angka korban tewas pembersihan komunis pasca G30S mencapai 500 ribu orang selama lima bulan.
Tarzie menegaskan, “Lebih banyak manusia mati di Indonesia dalam waktu lima bulan daripada yang telah mati selama lima tahun perang Vietnam” Tetapi pembasmian komunis luput dari dunia internasional karena koresponden asing dilarang atau tidak disambut" (halaman 97). PKI berakhir di tangan Soeharto karena Soekarno menolak membubarkan meski Angkatan Darat mendesak Soekarno.
Lembar demi lembar “The Fall of Sukarno” sepanjang 128 halaman tentu bisa menambah khazanah informasi G30S. Mengungkap kembali fakta dari catatan wartawan boleh jadi membantu pelurusan atau penguatan sejarah.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.