5 Larangan Penggunaan Plastik Terbaik
13 Juli 2019Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah polusi plastik, banyak negara di dunia mulai menerapkan larangan akan produk-produk tertentu. Larangan tersebut tidak hanya dapat membantu mencegah masuknya plastik ke ekosistem laut, namun juga menjadi jawaban atas mitos bahwa kita bisa lari dari masalah tersebut.
Dari 8,3 miliar ton plastik yang di produksi antara tahun 1950 dan 2015, hanya sembilan persen dari jumlah tersebut yang berhasil didaur ulang. Kebanyakan produk plastik yang diproduksi sebenarnya tidak bisa didaur ulang.
DW mengkaji beberapa larangan-larangan baru yang bisa menanggulangi masalah polusi plastik.
Uni Eropa: Plastik sekali pakai
Merujuk kepada hasil suara di parlemen Eropa bulan Maret lalu, peralatan makan, gelas, piring plastik dan korek kuping masuk ke dalam kategori produk-produk plastik sekali pakai yang dilarang. Larangan tersebut dilandasi oleh peraturan Uni Eropa mengenai plastik sekali pakai dan memiliki tujuan untuk mengatasi masalah limbah laut yang disebabkan oleh sepuluh produk plastik yang sering ditemukan di pantai-pantai Eropa. Implementasi larangan ini akan dimulai pada tahun 2021.
Berdasarkan data World Wide Fund for Nature (WWF) ada 570,000 ton sampah plastik yang mendarat di Laut Tengah setiap tahun. Hal tersebut juga setara dengan membuang 33.800 botol plastik ke dalam laut setiap menitnya.
Larangan akan plastik sekali pakai adalah bagian dari strategi Uni Eropa perihal plastik yang akan mematikan bahwa semua kemasan plastik dapat digunakan kembali atau didaur ulang pada tahun 2030. Meski larangan tersebut tidak mencakup kantong dan botol plastik, Uni Eropa mengatakan bahwa mereka akan mengatasi isu seputar botol plastik secara terpisah dan bemaksud untuk mengumpulkan dan mendaur ulang 90% botol plastik selama sepuluh tahun kedepan.
Vanatu: Larangan popok pertama di dunia
Vanuatu, sebuah negara pulau Pasifik sudah mulai merasakan dampak dari krisis iklim yang disebabkan oleh naiknya air laut. Selain itu, mereka juga merasa terbebani dengan masalah limbah plastik. Pada bulan Juli 2018 Vanuatu telah menerapkan larangan keras terhadap kantong plastik, sedotan, dan kemasan polyestrene. Tahun ini mereka memperluas cakupan larangan tersebut, yakni termasuk piring plastik, gelas, stirrer dan kemasan makanan. Negara kepulauan ini juga sekarang menerapkan larangan atas popok, yang boleh jadi belum pernah diterapkan dimana-mana.
Popok sekali pakai terbuat dari kombinasi plastik dan bubur kayu yang kemudian dapat bertahan di tempat pembuangan akhir selama beberapa ratus tahun. "Vanuatu menjaga masa depannya. Cepat atau lambat plastik akan berujung di perairan dan berakhir juga di rantai makanan," ujar Mike Mauvakalo, anggota Departemen Luar Negeri setelah pengumuman mengenai larangan tersebut dikemukakan di bulan Juni. Mengingat bahwa lahan pembuangan sampah berkurang, orang tua dipaksa untuk menggunakan popok kain yang bisa dicuci kembali, sebagaimana halnya di masa lalu.
Kanada: Botol, tas dan lain-lain
Perdana menteri Kanada, Justin Trudeau mengatakan bahwa keputusannya atas larangan penggunaan plastik sekali pakai bulan ini terinspirasi langsung oleh parlemen Uni Eropa. Larangan tersebut akan berlaku mulai tahun 2021 dan memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan larangan Uni Eropa, yaitu termasuk larangan atas kantong belanja dan botol air. Kanada menaksir bahwa konsumsi kantong plastik mereka mencapai 15 miliar per tahun dan 57 juta sedotan plastik setiap harinya, namun kurang dari sepuluh persen konsumsi plastik tersebut telah didaur ulang.
Trudeau menaruh fokus kepada limbah plastik yang terdapat di garis kepantaian Kanada, yang membentang sekitar 202.000 kilometer dan terpanjang di dunia. "Tidak mudah untuk menjelaskan hal ini kepada anak-anak saya. Bagaimana saya bisa menjelaskan tentang ikan paus di berbagai pantai di dunia yang mati karena perutnya dipenuhi oleh kantong plastik?" tutur Trudeau. Ia pun menambahkan bahwa plastik dapat ditemukan di titik terdalam Samudera Pasifik.
Bali: Bye bye plastic bags
Bye Bye Plastic Bags adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh kakak-beradik remaja Melati dan Isabel Wijsen pada tahun 2013 yang membantu dalam melobi pihak berwenang di Bali untuk mengeluarkan larangan terhadap pemakaian plastik sekali pakai bulan ini. Peraturan baru tersebut disambut oleh para pemuda pendukung gerakan bebas plastik lokal yang menyaksikan bagaimana pantai mereka yang indah tercemar oleh sampah plastik. Melati mendeskripsikan situasi tersebut sebagai "Surga yang hilang. Bali: Pulau yang dipenuhi sampah" dalam ceritanya pada acara acara TED Talk.
"Pasar swalayan dan rumah makan di Bali sudah mulai berubah dengan penggunaan kemasan tradisional." tutur Bye Bye Plastic Bags setelah larangan tersebut diimplementasikan. "Apakah kalian sudah melihat bungkus daun pisang yang sekarang digunakan?"
Peraturan tersebut akan diimplementasikan melalui pedesaan lokal dan hukum adat, serta membentuk Rencana Aksi Nasional Indonesia untuk menanggulangi limbah plastik maritim agar mengurangi plastik di lautan sampai 70% di tahun 2025.
Tanzania: Pengguna plastik didenda atau menjalani hukuman
Tanzania menjadi negara berikutnya di antara negara-negara Afrika setelah Kenya, Rwanda, Uganda, Sudan Selatan dan Tunisia, yang mengimplementasikan larangan penggunaan plastik sekali pakai dan menghukum pencemar individual. Larangan baru tersebut tergolong keras, seperti milik negara-negara tetangga lainnya, dimana para penjual dan produsen plastik bisa menghadapi hukuman sampai dua tahun penjara atau denda sebesar €357.000. Sedangkan orang-orang yang menggunakan plastik mendapatkan denda yang lebih ringan.
Upaya pengurangan penggunaan plastik yang tidak bisa diurai tidak hanya berlaku dalam tahap produksi, impor, perdagangan dan penggunaan segala bentuk plastik sekali pakai. Wisatawan juga diminta untuk menyerahkan kantong plastik serupa sebelum mereka memasuki negara yang terkenal dengan obyek wisatanya, gunung Kilimanjaro. "Kami senang," tutur direktur WWF Tanzania setelah larangan tersebut diterapkan. "Butuh waktu lebih dari 100 tahun agar sebuah plastik bisa terurai."