Polisi Jerman Didesak Tembak Pengungsi
1 Februari 2016Celotehan dua petinggi partai ultra konservatif "Alternatif untuk Jerman", AfD, ihwal pengungsi akan membuat bangga Donald Trump jika ia mendengarnya. Sabtu silam Ketua Umum AfD, Frauke Petry, mendesak penggunaan senjata api untuk menghalau pengungsi "ilegal" di perbatasan.
"Kita harus mencegah pelanggaran perbatasan secara ilegal, bahkan dengan senjata api sekalipun. Itu sudah diatur oleh Undang-undang, "ujarnya. Pernyataan tersebut lalu diperkuat oleh rekan separtainya, Beatrix von Storch. Lewat Facebook, ia membenarkan penggunaan senjata api terhadap pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak.
Von Storch lalu meralat ucapannya tersebut setelah menerima hujan kecaman di akun pribadinya. "Kami tidak membuat tuntutan politik, melainkan cuma menjabarkan dasar hukum yang ada," tulisnya.
Nyatanya retorika ala Trump yang digunakan AfD dalam isu pengungsi membuahkan simpatisan baru. Dalam sebuah jajak pendapat, partai yang sering dituding berafiliasi dengan kelompok Neo Nazi itu tercatat sebagai kekuatan politik terbesar ketiga dengan perolehan 10%.
Laporan palsu pelecehan seksual
Geliat anti pengungsi yang ditunjukkan kelompok ekstrim kanan di Jerman juga muncul dalam bentuk lain. Berbagai laporan ihwal dugaan pelecehan seksual di malam tahun baru misalnya terbukti palsu.
Serikat kepolisian menduga kelompok anti pengungsi berada di baliknya. "Setelah insiden pelecehan seksual massal dan perampasan barang berharga pada malam taghun baru di Köln, tidak heran jika ada yang berusaha memboncengi," kata jurubicara Serikat Kepolisian Jerman, GdP.
*Serangan kaum ekstrim kanan di Jerman terhadap pusat penampungan pengungsi.
Kasus semacam itu belakangan semakin marak terjadi. Seorang perempuan di Schweinfurt misalnya mengklaim lima hingga tujuh pengungsi Suriah memerkosa remaja berusia 17 tahun secara bergantian.
Lewat Facebook perempuan tersebut menulis betapa tim dokter berupaya menyelamatkan nyawa korban dengan menanamkan usus buatan. Ia lalu meminta pengguna yang lain untuk mengikuti aksi demonstrasi anti pengungsi yang digalang Pegida. Kepolisian membantah adanya kasus tersebut.
Kasus lain bahkan memicu ketegangan diplomatik antara Rusia dan Jerman, ketika seorang remaja perempuan 13 tahun berdarah Rusia mengklaim dirinya diculik dan diperkosa oleh sekelompok pria berparas Arab.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov sampai-sampai melontarkan kritik pedas terhadap pemerintah Jerman. Kasus tersebut juga digunakan kelompok Pegida buat menggalang aksi demonstrasi anti pengungsi. Belakangan ketahuan remaja tersebut berbohong gara-gara prestasi sekolahnya buruk dan bersembunyi di rumah pacarnya selama 30 jam. Remaja perempuan pembohong itu kini dirawat di sebuah klinik gangguan mental.
rzn/as (rtr,dpa,huffingtonpost)