Politik dalam Secarik Busana Muslim
14 November 2012Awal November, terpidana kasus terorisme Roki Aprisdianto, 29 tahun, melarikan diri dari penjara dengan menyamar sebagai perempuan bercadar.
Saat kejadian, ada puluhan perempuan bercadar yang sedang membesuk para tahanan teroris. Juru bicara Kepolisian Indonesia Suhardi Alius mengaku meski harus menunjukkan KTP ”Tapi kami memang tidak pernah meminta pengunjung membuka cadar”.
Kejadian itu mendorong pemerintah Indonesia membuat pembatasan dalam penggunaan Burqa bagi para pengunjung tahanan. Untuk pertama kalinya, ada aturan terkait pembatasan penggunaan busana muslim di ruang publik.
Tak hanya disalahgunakan teroris untuk melarikan diri, beberapa waktu terakhir busana muslim juga dibajak koruptor. Paling tidak empat perempuan yang terlibat kasus korupsi besar dan mendapat sorotan luas, mendadak berjilbab.
Banyak kalangan menilai itu sebagai langkah untuk mencari simpati. Bahkan dalam kasus dua koruptor yang mengenakan cadar, itu dianggap sebagai taktik agar wajah mereka tidak “muncul” di media massa.
Identitas Ideologi
Agama adalah isu sensitif di Indonesia, negara yang dianggap dunia sebagai contoh Islam moderat. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa muslim Indonesia semakin Islami dan pada saat bersamaan semakin tidak toleran.
Orang lebih suka diam atau tidak mempersoalkan, jika sudah masuk ke dalam isu pakaian muslim. Kritik atau mempersoalkan sesuatu yang dianggap sebagai identitas “Islam” bisa mengundang kemarahan.
Ada beragam jenis pakaian yang diinterpretasikan sebagai busana muslim: cadar atau burqa yang biasa dipakai kelompok Salafi dan hanya memperlihatkan mata, yang juga kadang bahkan diberi jaring.
Ada pula jilbab panjang dan longgar yang hanya memperlihatkan wajah ala kelompok Ikhwanul Muslimin. Khusus di Indonesia, ada banyak perempuan muslim yang hanya menyampirkan kerudung di kepala dan masih memperlihatkan bagian rambut: sesuatu yang dianggap aurat dan tidak boleh diperlihatkan di muka umum bagi kelompok fanatik.
“Semakin konservatif pandangan keagamaan (Islam-red), maka semakin tertutup pula pakaian yang mereka kenakan,” kata Neng Dara Afifah, aktivis perempuan muslim, yang juga anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia kepada Deutsche Welle DW.
“Jilbab panjang atau cadar adalah doktrin awal sekaligus penanda seseorang telah menjadi bagian dari kelompok (Islamis-red) tertentu.“
Pakaian Sebagai Politik
“Pakaian muslim mulai menjadi trend di Indonesia pasca Revolusi Iran,” kata Neng Dara Afifah sambil menambahkan “Saat itu jilbab atau cadar dipakai sebagai simbol perlawanan terhadap rezim orde baru yang otoriter.
Rezim diktator militer Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, berkuasa di Indonesia sejak 1966 hingga 1998. Terutama setelah revolusi Iran pada tahun 1979, kelompok militer yang berkuasa di Indonesia melihat Islam sebagai sebuah ancaman politik. Hasilnya: larangan atas penggunaan jilbab di sekolah atau kantor pemerintah. Secara umum, ekspresi politik kelompok Islamis ditindas selama orde baru.
Pakar Islam Timur Tengah dan Indonesia Azyumardi Azra kepada DW mengatakan bahwa setelah Revolusi Iran, kelompok Syiah yang dimotori Iran dan kelompok Sunni dari Timur Tengah, bersaing memperebutkan pengaruh, antara lain dengan mengekspor gagasan termasuk menerbitkan buku. Sejak itu, secara diam-diam karena dibatasi pemerintah orde baru, kelompok Islamis semakin terekspos gagasan dari Timur Tengah.
Menurut Neng Dara Afifah, cadar dan jilbab panjang dibawa masuk ke Indonesia oleh kelompok pengajian yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam konservatif yang kini berkuasa di Mesir, dan sejak lama dikenal mempunyai pengaruh luas dalam kebangkitan gerakan politik Islam di dunia.
Neng Dara Afifah menambahkan “Era 80-an, sejumlah buku dari kelompok Islam puritan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, termasuk karya terkenal Abul A'la Maududi yang berjudul Hijab”. Abdul A'la Maududi adalah ulama konservatif asal Pakistan yang juga dikenal sebagai pendiri Jamaat-e-Islami.
Buku Maududi itu berisi panduan untuk kembali ke dasar-dasar Islam, termasuk kewajiban mengenakan pakaian muslim, yang oleh kelompok Islamis dipakai sebagai rujukan teologis tentang tata cara berpakaian perempuan.
Dulu Dilarang, Kini Kewajiban
The Wall Street Journal mencatat paling tidak ada 350 pemerintahan lokal di Indonesia, yang kini memberlakukan Peraturan Daerah atau Perda Syariat Islam. Sebagian besar mengatur tata cara berpakaian yang mewajibkan perempuan mengenakan busana yang dianggap “Islami”.
Pertengahan 2012, pemerintah provinsi Aceh yang memberlakukan Syariat Islam menggelar razia ke toko-toko di ibukota Provinsi itu, untuk menyita pakaian yang dianggap terlalu “ketat” bagi perempuan. Tak hanya itu, pemerintah Aceh juga mengeluarkan surat larangan untuk menjual baju ketat.
Selama bulan Mei dan Juni tahun ini saja, sekitar 300 perempuan telah ditangkap karena dianggap memakai pakaian yang tidak “Islami“, di provinsi pertama Indonesia yang memberlakukan Syariat Islam itu.
Kepada DW, anggota Komnas Perempuan lainnya Andy Yentriyani mengaku bahwa lembaganya menerima laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam penegakkan Perda Syariat Islam Aceh, khususnya terkait pasal mengenai busana muslim.
Dalam aturan itu, perempuan muslim diwajibkan menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan, kaki dan wajah. Peraturan itu juga melarang pakaian transparan atau yang memperlihatkan lekuk tubuh perempuan.
“Dalam menegakkan hukum Syariat Islam di Aceh, Komnas Perempuan Indonesia mencatat bahwa razia pakaian dilakukan dengan kasar dan merendahkan martabat perempuan,” kata Andy Yentriyani.
"Perempuan yang tidak berjilbab dipotong rambutnya, disiram cat, atau dijambak rambutnya di jalan, saat razia."
Hal lain misalnya pengguntingan celana panjang, karena ada dua kota di Aceh yang melarang perempuan memakai celana panjang. "Dalam razia, perempuan yang memakai celana panjang digunting celana panjangnya, atau dipermalukan dengan diteriaki sebagai pekerja seks," pungkas Andy Yentriyani.
Kebebasan Berekspresi vs. Pembatasan Perempuan
Indonesia bergerak ekstrim dalam soal pakaian perempuan. “Jika dulu pemerintah orde baru melarang jilbab, maka sekarang banyak pemerintah daerah yang justru mewajibkan perempuan menggunakan pakaian yang dianggap Islami,“ kata Neng Dara Afifah.
Meski tidak setuju adanya larangan atau pembatasan atas pakaian muslim, namun dia menilai bahwa di kalangan kelompok Islamis “Kewajiban cadar atau jilbab sumbernya adalah doktrin keagamaan misoginis: yang menganggap tubuh perempuan sebagai sumber dosa dan karenanya harus ditutup rapat.“
Karena itu menurut Neng yang sehari-hari mengenakan jilbab, dalam banyak kasus, perempuan yang mengenakan cadar tidak memilih untuk menggunakan itu, tapi “dipaksa” tunduk pada tafsir Islam yang misoginis.
Dalam konteks itu menurut Neng Dara Afifah: cadar, jilbab atau berbagai jenis pakaian lain yang dianggap “Islami” bukanlah bagian dari kebebasan berekspresi, tapi justru penundukkan terhadap perempuan.”
Andy Budiman
Editor: Hendra Pasuhuk