Politisasi Konflik Australia
22 November 2013Pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjuang di senjakala periode keduanya, dengan pemilihan umum yang semakin dekat tahun depan, perselisihan politik dengan Australia membuka sebuah kesempatan untuk menyalakan sentimen nasionalisme dan membangun kembali dukungan.
Badai kebencian terhadap Australia meledak setelah munculnya laporan media yang mengungkapkan bahwa Canderra memata-matai para pejabat tertinggi, dan yang paling sensitif adalah istri presiden yakni Ani Yudhoyono.
“Ini (konflik dengan Australia) adalah momen yang dikirim oleh Tuhan bagi kami dan kami tidak boleh menyia-nyiakannya,” kata Ruhut Sitompul, seorang anggota senior dari partai Yudhoyono, yakni Partai Demokrat.
“Anda bisa lihat bagaimana rakyat di luar sana mendukung kami di jalan-jalan… Saya pikir peringkat kami dalam jajak pendapat opini publik, jelas akan naik karena semua orang bersatu di belakang presiden dan di belakang Partai Demokrat karena respon kami sangat tegas.“
Yudhono telah dua periode berkuasa dan tidak bisa maju lagi dalam pemilihan. Ia akan fokus membangun warisan, sementara partainya berharap akan membalikkan kontroversi terkait Australia untuk meraih dukungan.
Meskipun ada beberapa demonstrasi anti Australia, mereka relatif sederhana jika dibandingkan dengan protes selama konflik besar kedua negara pada tahun 1999 ketika pasukan Australia dikirim ke Timor Timur setelah jajak pendapat yang diikuti penarikan pasukan Indonesia dari bekas koloninya itu yang diwarnai kekerasan.
Menahan diri
Terlihat, para calon presiden dan politisi senior dari partai-partai besar sebagian besar memilih menahan diri, karena meyakini bahwa dorongan apapun untuk membangun sentimen nasionalistik tidak akan mendapatkan daya tarik yang luas.
“Pemerintah kami sangat keras dengan reaksinya,“ kata Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra.
“Australia adalah negara penting jadi jika mungkin kami harus menemukan cara untuk memelihara hubungan baik.“
Kemarahan Indonesia dipicu oleh laporan yang mengutip bocoran dokumen dari bekas mata-mata Edward Snowden yang kini menjadi buronan Amerika bahwa Australia telah mencoba memonitor aktivitas telepon genggam milik presiden, istri presiden dan sejumlah menteri pada 2009.
Laporan itu direspon Yudhoyono dengan mengumumkan pembekuan kerjasama militer dan intelijen dengan Australia, termasuk penghentian kerjasama dalam bidang penanganan para pencari suaka, yang sejak lama mengganggu hubungan kedua negara.
Sengketa ini muncul di tengah perekonomian Indonesia yang sedang melambat. Defisit kembar dalam neraca dan perdagangan, serta turunnya nilai rupiah, telah memberikan sentiment negative bagi para investor atas negara ekonomi terbesar Asia Tenggara ini.
Upaya menaikkan elektabilitas
Bersamaan dengan itu, partai yang berkuasa kini juga menghadapi penurunan popularitas yang tajam terkait rangkaian tuduhan suap yang menyeret orang-orang dekat presiden di Partai Demokrat.
Ini bukan cuma soal pertaruhan suara di parlemen.
Partai harus memenangkan suara nasional paling sedikit 20 persen, atau 25 persen kursi di parlemen, agar bisa mengajukan seorang kandidat untuk ikut dalam pemilihan presiden pada Juli mendatang. Berdasarkan berbagai jajak pendapat terakhir, partai Yudhoyono kelihatannya tidak akan mencapai ambang batas untuk bisa mengajukan nama calon presiden.
Nurhayati Assegaf, anggota senior Partai Demokrat, mengakui bahwa kasus korupsi telah melukai partai, tapi menurut dia kepemimpinan presiden akan bisa membantu suara partai untuk kembali naik.
“Kami bertekad membuktikan citra kami dengan menunjukkan kepada para pendukung di seluruh Indonesia bahwa kami – Yudhono dan Partai Demokrat – adalah pemimpin yang sukses… dan kami bisa membela negara kami jika dibutuhkan,“ kata Assegaf.
“Apa yang telah dilakukan dan dikatakan presiden dalam responnya atas isu mata-mata menunjukkan upaya dia (presiden) dalam menyelesaikan masalah.“
Pengamat politik Kevin O'Rourke menilai konflik kedua negara hanya bersifat sementara.
”Ketika pemilu tiba, para pemilih akan memikirkan isu yang lebih penting mengenai pengelolaan negara dan manajemen ekonomi, bukan cerita soal spionase dan hubungan bilateral”.
ab/hp (rtr,ap,afp)