1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Produsen Mobil Eropa Bidik RI sebagai Alternatif dari Cina

2 Mei 2023

Indonesia mencoba memposisikan diri sebagai pusat baru produksi kendaraan elektronik. Perusahaan raksasa pembuat mobil Eropa seperti Volkswagen niat berbisnis di Indonesia.

https://p.dw.com/p/4QmIF
Seorang pekerja memeriksa sasis mobil di pabrik Mercedes, Bogor
Mercedes dan BMW mengoperasikan pabrik di IndonesiaFoto: Azqa Harun/AA/picture alliance

Uni Eropa dan Indonesia berupaya menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas pada akhir tahun 2023, di tengah persiapan negara Asia Selatan untuk meningkatkan industri kendaraan listrik (EV).

Negara Asia Selatan, yang berpenduduk lebih dari 280 juta jiwa, unggul dalam kekayaan nikel dan bahan mentah lainnya yang sangat penting untuk memproduksi mobil modern. Sementara Indonesia telah memberlakukan larangan ekspor nikel dan sedang menyiapkan larangan bauksit, bijih yang digunakan untuk memproduksi aluminium.

Alih-alih mengirimkan kekayaan mineralnya ke Cina dan negara asing lainnya, Indonesia saat ini bermaksud untuk membangun rantai pasokan kendaraan listrik dalam negeri. Dengan demikian, negara tersebut juga memposisikan dirinya sebagai alternatif merek internasional melawan Cina.

Strategi tersebut tampaknya sudah membuahkan hasil. Bulan lalu, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa produsen mobil Jerman, Volkswagen, berniat membangun ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Pengumuman tersebut disampaikan di pameran perdagangan Hannover Messe, tempat Kanselir Jerman Olaf Scholz bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo. Pada saat itu, Scholz mengatakan kepada Widodo bahwa dia "sedang bekerja untuk mencapai kesepakatan ini (antara UE dan Indonesia) sampai ke garis akhir."

"Saat ini kita banyak impor (mineral penting) dari Cina,” kata Scholz usai bertemu Widodo.

Ford dan Tesla "mencari pijakan" di Indonesia

Meskipun menjadi negara terpadat dan ekonomi terbesar di kawasan di Asia Tenggara, hubungan perdagangan UE dengan Indonesia relatif kecil. Perdagangan barang bilateral hanya bernilai €24,8 miliar pada tahun 2021, kurang dari setengah volume perdagangan antara UE dan Vietnam, yang berpenduduk kurang dari 100 juta.

Saat Jerman berusaha untuk memperdalam hubungan dengan Indonesia, Amerika Serikat sudah bergerak mendekati. Ford, perusahaan raksasa pembuat mobil yang berbasis di AS, telah bermitra dengan beberapa perusahaan di Indonesia, sedangkan Tesla, pelopor kendaraan listrik dunia, saat ini juga telah melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia.

BASF SE yang berkantor pusat di Jerman, salah satu produsen bahan kimia terbesar di dunia, juga dilaporkan ingin berinvestasi di kilang nikel-kobalt dengan Eramet SA multinasional Prancis.

"Saya menduga kita akan melihat lebih banyak pengumuman investasi seperti itu ke depan," kata Chris Humphrey, Direktur Eksekutif Dewan Bisnis UE-ASEAN, yang mewakili bisnis Eropa di Asia Tenggara.

Kesepakatan bernilai miliaran masih belum jelas

Salah satu produk utama yang digunakan untuk produksi baterai kendaraan listrik adalah mixed hydroxide precipitate (MHP), bahan nikel perantara. Bagi Kevin O'Rourke, seorang analis dan prinsipal di konsultan Reformasi Information Services yang berbasis di Jakarta, MHP adalah "minyak mentah masa depan".

"Ada keinginan dari kedua belah pihak agar Jerman mendapatkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) dari Indonesia. Bagi kedua negara, hal itu akan mengurangi ketergantungan masing-masing pada Cina, yang perusahaannya saat ini bertanggung jawab atas keseluruhan produksi PLTMH Indonesia,” tambah O'Rourke.

Awal tahun ini, pejabat Indonesia mengatakan BASF dan Eramet sedang merencanakan kesepakatan kemitraan senilai $2,6 miliar untuk memproduksi PLTMH, meskipun kesepakatan tersebut belum dikonfirmasi secara resmi oleh perusahaan. Eramet mengatakan pabrik itu, jika disetujui, kemungkinan akan mulai beroperasi pada 2026.

Produksi PLTMH Indonesia saat ini, yang dikendalikan oleh perusahaan milik Cina, menggunakan proses High Pressure Acid Leach (HPAL) yang digunakan untuk mengekstraksi nikel dan kobalt dari badan bijih laterit. Namun, perusahaan tidak mengungkapkan seberapa besar potensi aliran limbah beracun yang berakhir di lingkungan Indonesia.

"Uni Eropa telah menyuarakan keberatan tentang pasokan kendaraan listrik dengan bahan baterai yang tidak ramah lingkungan, dalam hal limbah beracun serta emisi gas rumah kaca yang tinggi," kata O'Rourke, tetapi pabrik BASF dan Eramet juga akan menggunakan proses HPAL, menurut kantor berita Reuters.

(ha/pkp)