"Tumbuhkan Kesadaran Beragama Dengan Akal Sehat Sejak Kecil"
20 November 2019Siapa yang tidak tergiur dengan paket perjalanan religi yang ditawarkan dengan harga murah, fasilitasnya juga wah. Atau tertarik dengan usaha yang kelihatannya berprinsip syariah yang menjanjikan hasil melimpah. Risiko pun sering tidak terpikir karena terlanjur tergiur dengan iming-iming keuntungan.
Padahal, tidak sedikit pihak yang mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kegairahan masyarakat ini. Otoritas Jasa Kuangan (OJK) pun sampai-sampai menjalin kerja sama dengan Kementerian Agama guna memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai masalah ini.
Pada Selasa (19/11) DW Indonesia mewawancarai cendekiawan muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang semangat hidup beragama, penggunaan logika dan kepercayaan terhadap diri sendiri agar tidak mudah terpesona dan mengikuti arus.
Deutsche Welle: Kembali terjadi kasus penipuan dengan kedok investasi sesuai syariah, kali ini kasus Kampung Kurma di Bogor, Jawa Barat. Mengapa kasus semacam ini muncul kembali?
Prof. Dr. Azyumardi Azra: Mentalitas sebagian orang muslim di Indonesia itu pokoknya segala sesuatu yang berbau Arab, seperti kurma, bekam, siwak, mereka anggap itu sakral dan akan menyelamatkan mereka di dunia maupun di akhirat. Jadi mentalitas yang menganggap segala sesuatu yang berbau Arab itu yang paling afdal, termasuk perkebunan kurma itu. Padahal ya gak begitu.
Ini adalah salah kaprah dalam berpikir. Jadi kalau ada orang mengiming-imingi keuntungan, baik dengan keuntungan material seperti ikut (investasi) dalam perkebunan kurma dan ada untungnya, ditambah lagi nanti cepat masuk surga karena ini Arab, itu membuat kemudian orang tanpa berpikir panjang, tanpa logika berpikir yang benar jadi mudah percaya. Padahal kalau gak pakai logika susah, kalau kurma itu mau dibuat tumbuh di indonesia maka tanahnya harus disesuaikan komposisinya dengan yang ada di Arab baru dia bisa tumbuh.
Sebenarnya ini logika sederhana, tetapi kenapa bagi sejumlah orang sering kali tidak terpikir?
Logikanya sederhana, tapi tidak dipakai karena tertutup atau terkesima dan terpesona dengan logika tadi itu, yaitu logika segala sesuatu yang berbau Arab itu yang paling afdal. Itu lah yang dikira menyelamatkan di dunia maupun di akhirat.
Seperti apa kecenderungan masyarakat untuk berpikir secara kritis memakai logika?
Memang ada gejala-gejala misalnya memakai cadar. Itu tumbuh dari budaya Arab. Cadar ada di kalangan Kristiani, Yahudi juga pakai cadar. Lalu Islam datang dan sebagian perempuan muslim pakai itu juga di dunia Arab. Karena lingkungannya panas. Karena itu mereka harus menutup mukanya. Itu yang ditiru oleh sebagian orang. Segala sesuatu yang berbau Arab diterima saja padahal itu adalah budaya yang tumbuh dari lingkungan alam yang keras dan panas yang memerlukan orang, baik perempuan maupun laki-laki, untuk menutup mukanya apalagi kalau sedang ada angin gurun.
Mereka yang dengan mudah ikut-ikutan seperti itu tidak menggunakan logikanya dan melihat secara sesuatu dengan cermat. Meski jumlahnya tidak banyak tapi selalu ada saja yang seperti itu. Selalu ada hal-hal baru seperti perkebunan kurma dan cadar.
Baca juga: Jilbab, Kewajiban atau Bukan?
Bagaimana cara untuk bisa bentengi diri dari sikap ikut-ikutan seperti ini?
Pertama harus dari diri sendiri, orang tua muslim harus memberikan pengertian kepada anak-anak mereka bahwa Islam itu tidak identik dengan Arab. Jadi segala sesuatu yang berbau Arab tidak harus secara otomatis berarti itu ajaran Islam. Misalnya jangan berpikir kalau kita menanam kurma di Indonesia pahalanya lebih besar. Padahal tanam buah-buahan, tumbuh-tumbuhan lain selama itu bermanfaat, itu mendatangkan pahala juga. Apakah mangga atau jambu, apa saja. Tidak berarti pahala menanam kurma lebih banyak daripada menanam mangga. Nah (kesadaran) itu yang harus ditumbuhkan.
Setelah pengertian dari rumah, apa langkah selanjutnya?
Mulai dari sekolah. Guru kita harus berikan pengertian. Guru secara keseluruhan, bukan hanya guru agama, karena sering kali guru yang tidak paham menganggap segala sesuatu yang berbau Arab itu Islam. Jadi mereka juga harus diberikan pemahaman yang benar. Ini 'kan ada ustaz-ustaz yang mengajarkan kalau tanam kurma itu lebih afdal daripada misalnya jambu atau mangga. Juga kalau menjadi penceramah, maka diberi pengertian bahwa cara berpikir seperti itu tidak tepat.
Orang biasanya cenderung sungkan, bagaimana tetap memelihara sikap kritis bila berhadapan dengan orang-orang yang terlihat memakai atribut agama tertentu?
Ya seperti yang saya bilang tadi, ini berkaitan dengan mentalitas yang tidak tepat, yang menganggap pemahaman dan praktik Islam Indonesia itu sebagai lebih rendah daripada Arab. Itu paham yang keliru. Masih banyak orang Indonesia yang menganggap pemahaman dan praktik keislamannya itu belum sebaik pemahaman orang Arab. Bahwa yang paling baik Islamnya itu orang Arab. Pandangan seperti itu yang merajalela. Oleh karena itu, saya kira perlu pemahaman bahwa Islam itu tidak identik dengan Arab. Perlu percaya diri, jangan melihat pakaian orang hebat langsung berpikir ini lah yang akan membawa kita ke surga. Belum tentu. Yang membawa ke surga itu amal ibadah kita sendiri tidak tergantung kepada orang lain. Kepercayaan ini yang harus ditumbuhkan.
Keuntungan berpikir kritis bagi diri sendiri?
Banyak, antara lain tidak mudah ditipu orang. Ambil contoh kasus travel haji atau umroh First Travel. Kalau umat Islam ini diarahkan untuk berpikir kritis maka tidak mudah cepat percaya kepada yang too good to be true. Misalnya pergi umroh dengan biaya Rp 15 juta, mana mungkin bisa Rp 15 juta? Ongkos pesawatnya saja tidak bisa (tidak terjangkau). Tapi ada yang percaya begitu saja. Jadi harus diberi pemahaman supaya jangan terjerumus kepada tindakan atau kegiatan yang merupakan jalan pintas yang too good to be true.
Kesadaran untuk belajar dan hidup mengikuti prinsip agama sedang meningkat di masyarakat, apa yang perlu diperhatikan?
Kita harus memberikan pemahaman kepada orang yang belajar agama bahwa dalam Islam itu, agama harus selalu masuk akal. Jadi agama itu harus menggunakan akal. Orang yang tidak berakal maka tidak relevan bagi dia agama. Kita harus berikan penyadaran melalui itu. Jangan ikut-ikutan saja. Orang lain kerjakan sesuatu, ikut juga, orang pergi ke ISIS ikut juga, orang pakai cadar ikut juga. Padahal tidak tahu alasannya apa. Oleh karena itu harus ditumbuhkan kesadaran beragama yang menggunakan akal pikiran, akal sehat. Sejak dari kecil. Ini harus ditekankan kepada setiap muslim dan muslimat.
Wawancara oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.