Di tahun ini ini terdapat dua promosi perwira yang menarik untuk diamati. Dua perwira dimaksud adalah Kol. Inf Kunto Arief Wibowo (Akmil 1992) sebagai Komandan Korem Padang, kemudian pelantikan Letjen Doni Monardo (Akmilk 1985) sebagai Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Selain soal kompetensi, keduanya memang figur yang sudah cukup populer sebelumnya.
Promosi bagi keduanya, pada sisi lain juga mengungkap masalah lain di lingkungan TNI, yaitu soal surplus perwira di strata perwira menengah (khususnya kolonel) dan perwira tinggi. Untuk strata pati, nama yang paling terkenal adalah Letjen Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1984), yang sudah hampir lima tahun berstatus tanpa jabatan (non-job).
Bagi rekan segenerasinya, tidak dimanfaatkannya tenaga Ediwan sungguh disayangkan. Itu artinya ada SDM berkualitas yang disia-siakan. Sekadar pengandaian, berdasarkan kompetensi, Ediwan sebenarnya sangat layak masuk pos pimpinan lembaga negara (setingkat BNPB), namun dukungan untuk menyelamatkan karier Ediwan belum juga muncul. Berarti memang ada problem akut dalam pola karier di TNI.
Dukungan kekuasaan
Setelah didahului dua rekan sekelasnya di Akmil 1992, yakni Mayjen Maruli Simanjuntak (Komandan Paspampres) dan Brigjen Richard Tampubolon (Wakil Danjen Kopassus), akhirnya Kol Inf Kunto Arief Wibowo segera menyusul, mengingat Danrem Padang adalah pos brigjen. Surat keputusan (Skep) bagi promosi Kolonel Kunto telah terbit akhir Desember 2018 lalu.
Tampaknya promosi bagi Kolonel Kunto sengaja sedikit ditunda, untuk menghindari kesan nepotisme, terkait posisinya sebagai anak Jenderal Try Sutrisno. Selepas Danrem Palembang (2016), Kolonel Kunto sempat "transit” sebagai Komandan Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) di Baturaja (Sumsel). Peta jalan karier Kolonel Kunto, mirip dengan salah seorang kerabatnya, yakni Ryamizard (Akmil 1974, kini Menhan), yang pada pertengahan dekade 1990-an juga sempat menjadi Danrem Palembang.
Selepas Danrem Palembang, Ryamizard bisa langsung masuk pos brigjen, sebagai Kepala Staf Divisi Infanteri Kostrad. Namun bagi Kolonel Kunto, promosinya terkesan lebih hati-hati.
Dari fenomena promosi Kolonel Kunto ini, publik bisa melihat bahwa persaingan menuju pos brigjen terjadi demikian keras. Mengingat pos pati sangat terbatas, sementara TNI sudah pada taraf surplus kolonel.
Pertengahan tahun lalu terbit Skep (surat keputusan ) KSAD Nomor 326/IV/2018, tentang mutasi bagi 368 perwira menengah di lingkungan Angkatan Darat, yang sebagaian besar (90 persen) berpangkat kolonel, dan tidak satu pun berpangkat mayor. Catatan penting dari Skep ini adalah, meski menyangkut mutasi lebih dari 300 kolonel, namun tidak satu pun yang dipromosikan pada posisi brigjen. Skep tersebut lebih banyak mengatur soal pergeseran, yakni pindah jabatan pada pangkat yang sama, dalam hal ini kolonel.
Membaca Skep tersebut, kita bisa menafsirkan, bahwa catatan prestasi, dan pendidikan yang cukup, belum cukup untuk mendorong promosi bagi seorang kolonel. Perlu satu satu faktor lagi, yaitu nasib baik dan dukungan dari kekuasaan. Sejak dulu juga begitu, bahwa perwira yang memiliki akses pada kekuasaan, lebih berpeluang untuk menjadi jenderal.
Bahkan mungkin kini persoalannya lebih rumit. Karena perwira generasi sekarang dinilai berdasarkan prestasi kerjanya di kantor, bukan di medan tempur. Bagi perwira pertama, terlebih dari kecabangan infanteri, tentu akan lebih antusias bila dikirim ke lapangan, ketimbang sibuk di kantor, yang mungkin justru membosankan. Persoalannya sekarang, operasi tempur sudah sangat jarang.
Penataan kembali pola karier
Bila kita perhatikan setahun terakhir ini, ada tren promosi kolonel terjadi pada masa-masa akhir dinas, maksudnya menjelang yang bersangkutan pensiun. Sekitar tiga atau empat bulan menjelang pensiun, yang bersangkutan dipromosikan pada pos brigjen. Cara seperti ini sangat membantu dalam memenuhi aspirasi para kolonel yang umumnya ingin jadi jenderal.
Agar tidak terlalu membebani lembaga TNI, biasanya mereka ditempatkan di lembaga negara di luar struktur TNI, seperti BIN, Bakorkamla, Wantanas, BNPT, BNPB, dan seterusnya. Kiranya ini adalah skenario yang aman, mengingat pos brigjen dalam struktur TNI juga terbatas, sementara di lembaga lain masih ada peluang.
Promosi model last minute seperti itu, merupakan jalan tengah yang paling mungkin bisa dilakukan. Pangkat brigjen bisa dijadikan bekal bila mereka ingin melanjutkan karier sebagai eselon pimpinan lembaga negara, yang umumnya mensyaratkan ASN (aparat sipil negara) golongan madya, dan itu artinya setara dengan pati. Kompetensi dan latar belakang pendidikan mereka yang mumpuni, tentu masih bisa dimanfaatkan oleh lembaga lain di luar TNI.
Namun promosi last minute sebaiknya hanya untuk sementara, bukan sistem yang dilembagakan. Sebut saja model ini sebagai terobosan untuk mengatasi bottle neck dalam karier sejumlah (besar) kolonel. Idealnya penataan sudah dimulai sejak penerimaan taruna di Akmil, atau akademi matra lainnya.
Untuk Akmil misalnya, komposisi bagi taruna yang ingin mengambil kecabangan tempur (infanteri), sudah harus mulai dikurangi. Taruna lebih diarahkan pada kecabangan atau keahlian khusus, seperti peralatan, elektronika atau zeni. Keahlian ini sangat bermanfaat bila mereka akan berkarya di lembaga lain, atau bila seandainya memilih pensiun dini.
Pensiun dini
Harus diakui, fenomena surplus kolonel di tubuh TNI (termasuk Polri), tidak bisa dipisahkan dengan hadirnya era Reformasi. Reformasi seolah datang secara mendadak, sehingga TNI tidak sempat melakukan antisipasi. Beban pembinaan personel semakin berat, ketika masa dinas aktif perwira diperpanjang, dari pensiun pada usia 55 tahun menjadi 58 tahun.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah, memberi pemahaman pada perwira, bahwa zaman telah berganti, sehingga peluang menjadi jendral tidak seluas dulu lagi (baca: Orde Baru). Dan menyediakan opsi bagi yang ingin mencoba mengembangkan karier atau talenta di luar institusi TNI, ketika karier di militer dirasa buntu. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengajukan pensiun dini.
Anggota TNI yang sudah puluhan tahun berdinas, biasanya sudah bisa memperkirakan sendiri (meski secara samar), kariernya bisa berkembang, atau hanya begitu-begitu saja. Bagi yang memiliki kemampuan khusus, opsi pensiun dini bisa dipertimbangkan.
Setelah semakin minimnya operasi tempur, pengembangan karier di TNI lebih ditekankan pada aspek pendidikan, utamanya adalah Sesko (sekolah staf dan komando) di matra masing-masing. Bagi perwira TNI AD misalnya, yang tidak sempat mengikuti Seskoad, bisa segera mengambil tindakan cepat, misalnya mengikuti program pascasarjana di perguruan tinggi umum, sebagai bekal bila ingin berkarier di luar TNI. Tanpa pendidikan Sesko, karier perwira hanya akan berputar-putar saja, mustahil jadi perwira tinggi.
Dengan gelar master di tangan, bahkan mungkin doktor, merupakan modal berharga bila pensiun dini benar-benar menjadi pilihan. Profesi yang bisa dibidik antara lain dengan menjadi dosen atau konsultan, bisa juga bergabung pada sebuah korporasi besar. Bagi yang berasal dari kecabangan peralatan bisa membuka usaha jasa terkait otomotif, kemudian dari kecabangan CBA (Corps Perbekalan dan Angkutan) bisa mencoba bisnis sektor logistik, begitu seterusnya.
Aris Santoso adalah penulis yang sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.