‘Puncak Cina’: Mampukah Raksasa Asia Ini Salip AS?
11 Juli 2024Gagasan Cina akan melampaui Amerika Serikat (AS) menjadi ekonomi terbesar di dunia, telah menjadi isu para pembuat kebijakan dan ekonom dalam beberapa dekade belakangan. Mereka mendiskusikan, apa yang akan terjadi jika AS, sebuah negara dengan perekonomian paling dinamis dan produktif, dikalahkan oleh rezim otoriter dengan lebih 750 juta tenaga kerja?
Prediksi kapan tepatnya saat Cina akan mencuri mahkota AS, muncul dengan cepat sejak krisis keuangan 2008/09 yang menghambat pertumbuhan di AS dan Eropa selama bertahun-tahun. Sebelum insiden Resesi Besar, Cina mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan sebesar dua digit dalam lima tahun berturut-turut. Dalam satu dekade pascakrisis, ekonomi Cina masih berkembang antara 6% hingga 9% per tahun, sampai Covid-19 melanda.
Seolah cobaan belum usai, dari karantina super ketat saat pandemi yang membuat ekonomi anjlok, negara adidaya Asia ini juga ambruk akibat masalah real estat. Pada saat pertumbuhan puncak, pasar properti berkontribusi pada sepertiga ekonomi Cina. Namun, peraturan yang ditetapkan Beijing pada tahun 2020 silam, membatasi jumlah pinjaman yang dapat diambil oleh pengembang properti. Dampaknya, banyak perusahaan bangkrut, meninggalkan sekitar 20 juta rumah yang gagal dibangun atau tidak terjual.
Pada saat yang bersamaan, menurunnya hubungan perdagangan dengan Barat juga melemahkan pertumbuhan di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini. Setelah mendorong pertumbuhan Cina selama beberapa dekade, pada akhir 2010an, AS mengambil tindakan untuk menahan ambisi ekonomi dan militer Cina.
Apakah Cina sudah di puncak perekonomian?
Perubahan dalam ekonomi Cina terlihat jelas dan sangat mencolok, hingga memunculkan istilah baru sekitar tahun 2023lalu: ”Puncak Cina”. Teorinya, ekonomi Cina sekarang dibebani banyak masalah struktural, misalnya beban utang yang berat, produktivitas yang melambat, konsumsi rendah dan populasi yang menua. Kelemahan tersebut, bersamaan pula dengan ketegangan geopolitik terkait Taiwan dan pembatasan perdagangan yang ditetapkan Barat, memicu spekulasi bahwa supremasi ekonomi Cina yang akan datang mungkin tertunda, atau tidak akan pernah terjadi sama sekali.
Wang Wen seorang profesor di Chongyang Institute for Financial Studies di Renmin University of China, kepada DW mengatakan, wacana soal Puncak Cina adalah "mitos”, dan dia menambahkan bahwa total pengeluaran ekonomi Cina mencapai 80% dari pengeluaran AS pada tahun 2021.
Wang mengatakan lebih lanjut, selama Beijing mempertahankan ”stabilitas internal dan perdamaian eksternal”, ekonomi Cina akan segera melampaui ekonomi AS. Dia menyebut adanya keinginan jutaan penduduk pedesaan di Cina untuk pindah ke daerah perkotaan, di mana pendapatan dan kualitas hidup dilaporkan jauh lebih tinggi.
”Tingkat urbanisasi di Cina saat ini hanya 65%. Jika diperkirakan di masa depan encapi 80%, artinya lebih dari 200 hingga 300 juta orang akan memasuki wilayah perkotaan, yang akan menghasilkan peningkatan besar dalam ekonomi riil,” ujar Wang Wen.
Pertumbuhan produktivitas yang 'menghilang'
Namun, seorang ekonom lain meyakini, isu yang memicu narasi Puncak Cina kemungkinan besar telah berkembang selama beberapa tahun.
”Ekonomi Cina tumbuh sangat cepat pada awal tahun 2000-an karena produktivitas yang tinggi,” kata Loren Brandt profesor ekonomi di University of Toronto kepada DW, dan menambahkan bahwa produktivitas bertanggung jawab terhadap sekitar 70% pertumbuhan PDB Cina selama tiga dekade pertama reformasinya, yang dimulai pada tahun 1978.
”Setelah krisis keuangan, pertumbuhan produktivitas menghilang begitu saja. Mungkin sekarang seperempat dari apa yang terjadi sebelum tahun 2008,” tambah pakar ekonomi Cina itu.
Di saat Partai Komunis Cina bersiap untuk mengadakan pertemuan terpentingnya tahun ini, negara tersebut tengah menghadapi banyak tantangan ekonomi jangka pendek.
Kini, utang Cina telah menumpuk menjadi lebih dari 300% dari PDB. Sebagian besar utang berasal dari pemerintah daerah. Investasi asing langsung telah turun dalam 12 bulan berturut-turut. Dalam lima bulan pertama 2024, turun 28,2%. Meskipun ada investasi besar untuk meningkatkan produksi teknologi baru, beberapa mitra dagang Beijing membatasi impor dari negara tersebut.
"Ini adalah ekonomi yang telah berinvestasi sangat besar dalam (penelitian dan pengembangan), manusia, dan infrastruktur kelas satu. Namun, hal ini tidak dimanfaatkan dengan cara yang membantu menopang pertumbuhan ekonomi," ujar Brandt.
Konsekuensi tak diinginkan dari perebutan kekuasaan yang dilakukan Xi Jinping
Beijing, di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping, juga telah bergerak ke arah sentralisasi ekonomi yang lebih besar lewat kepemilikan industri oleh negara. Para pemimpin Cina memutuskan, gelombang pertumbuhan berikutnya akan dibangun di atas konsumsi domestik, sehingga negara ini tidak terlalu bergantung pada ekspor luar negeri.
Namun, banyak program sosial yang belum bisa mengimbangi keajaiban ekonomi Cina. Konsumen yang tidak bisa lagi mengandalkan layanan kesehatan berbiaya rendah, pendidikan, dan lebih dari sekadar pensiun dasar negara, khawatir akan menghabiskan lebih banyak tabungan mereka. "Kekayaan rumah tangga warga telah turun hingga 30% sebagai akibat dari kejatuhan pasar properti," papar Brandt.
"(Desentralisasi) selama dua atau tiga dekade pertama memberikan ruang bagi pemerintah lokal untuk membuat keputusan," tambahnya. "Cina mendapat banyak manfaat dari otonomi, kebebasan dan insentif yang mereka miliki, dan dinamisme yang sangat besar dari sektor swasta. Isu-isu ini akan jauh lebih sulit untuk dibalikkan, terutama di bawah kepemimpinan saat ini."
Pada akhir tahun 2000-an, sektor swasta menyumbang hampir dua pertiga dari perekonomian Cina, tetapi pada paruh pertama tahun lalu, pangsa tersebut turun menjadi 40%. Sektor yang dikelola negara dan sektor yang dimiliki secara gabungan telah tumbuh jauh lebih besar. Meskipun Cina sekarang memiliki perusahaan-perusahaan yang paling banyak terdaftar di peringkat perusahaan global terkemuka versi majalah Fortune, perusahaan-perusahaan tersebut dengan rata-rata margin keuntungan 4,4%, jauh lebih tidak menguntungkan dibandingkan perusahaan-perusahaan perusahaan-perusahaan multinasional AS, dengan margin laba rata-rata 11,3%.
Cina adalah Jepang yang baru?
Ketakutan terbesarnya, semua faktor ini dapat membuat ekonomi Cina mengikuti jejak Jepang. Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami keajaiban ekonomi, ditandai dengan pertumbuhan tinggi selama beberapa dekade, yang menyebabkan gelembung pasar saham dan properti.
Pada puncaknya, Jepang diprediksi oleh beberapa ekonom untuk menyalip AS sebagai ekonomi terbesar di dunia. Kemudian pada tahun 1992, gelembung tersebut meledak, kekayaan hilang, dan ekonomi mengalami kemunduran. Jepang telah gagal mengejar ketertinggalan pertumbuhan selama beberapa dekade.
Sementara itu, para ekonom Cina menunjukkan bahwa PDB industri negara ini sudah dua kali lebih besar dari AS. Pertumbuhan PDB tahun lalu sebesar 5,2% lebih dari dua kali lipat tingkat pertumbuhan AS. Perekonomian negara Asia ini telah melampaui AS pada tahun 2016 jika diukur dalam paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP).
"Dalam 45 tahun terakhir, pembangunan Cina menghadapi banyak masalah ekonomi," kata Wang. "Namun dibandingkan dengan depresi 30 tahun yang lalu, utang yang tinggi 20 tahun yang lalu, dan krisis perumahan 10 tahun yang lalu, masalah yang terjadi saat ini bukanlah masalah yang paling serius, pungkas profesor ekonomi Cina itu."
(mh/as)