Resep Harumkan Kuliner Indonesia di Jerman: Terus Berjuang
23 Maret 2023Dwina Fernanda Simatupang lahir di Banda Aceh. Dia punya seorang kakak dan dua orang adik. Dia masih jadi murid sekolah ketika gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan kotanya di hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 dan menghantam hidup ratusan ribu orang. Kehilangan sanak keluarga dan teman bukan pukulan satu-satunya. Yang berhasil selamat juga harus memikul beban fisik dan psikologis, juga ekonomi, karena kehilangan mata pencaharian.
Dia bercerita, pagi hari itu dia dan keluarganya pergi secara terpisah ke gereja. Ketika dia sedang dalam angkutan umum, dia merasakan gempa besar itu. Ketika keluar dari kendaraan dia melihat bagaimana jalanan terbelah dan rumah-rumah ambruk. Kebetulan dia bertemu dengan seorang pamannya yang membawa dia ke gereja tempat keluarganya sudah berada.
Sampai di sana dia melihat bagaimana pohon-pohon tumbang dan kendaraan mengambang dibawa air yang tinggi. Mereka lari secepat mungkin di dalam air, sampai kakaknya terpisah.
Selamat dari lahapan tsunami
Walaupun akhirnya dia dan keluarganya selamat, mereka kehilangan segalanya seperti sebagian besar korban bencana lainnya. Rumah mereka yang dulu berjarak sekitar 100 meter dari garis pantai, sekarang sudah jadi bagian dari lautan. Mereka tidak tahu harus ke mana, sementara pemerintah mengimbau korban bencana untuk pindah ke daerah lain.
Akhirnya mereka diangkut dengan pesawat Herkules ke Medan. Di sana mereka menumpang di rumah kakek dan neneknya. Namun, memulai hidup di kota lain yang tidak dikenal dengan empat anak tentu bukan masalah ringan yang bisa dengan mudah diselesaikan oleh orang tua Dwina. Dia juga mengalami perlakukan buruk anak-anak seusia dia di Medan, yang kerap mengejek dan menghinanya. Tapi dia tidak mau bercerita kepada orang tuanya, karena takut menambah beban mereka.
Walaupun ayahnya mendapat pekerjaan di pelabuhan, penghasilannya tidak mencukupi. Akhirnya ibunya, yang memang sejak dulu guru taman kanak-kanak, kembali ke Banda Aceh untuk bekerja lagi, dan membawa salah seorang adiknya. Dwina bercerita, ketika itu orang-orang sampai mengira orang tuanya bercerai.
Selama dua tahun, dia dan saudara-saudaranya juga perlu perawatan psikolog, karena mereka kerap dihantui ingatan dari pengalaman bencana, dan melihat mayat-mayat korban bencana yang tersebar di mana-mana.
Mengambil langkah berani demi bersekolah
Mencari sekolah untuk empat anak tidak mudah. Dwina bercerita, masalah paling besar adalah mencari sekolah bagi dia. Ayahnya sampai harus memohon kepada kepala sekolah untuk menerimanya.
Akhirnya ada jalan keluar. Ketika itu sejumlah organisasi bantuan aktif memberikan pertolongan bagi korban bencana. Salah satunya adalah sebuah organisasi dari Jerman, yang kebetulan masih bisa menerima seorang anak lagi. "Organisasi itu adalah organisasi Kristen, tapi menolong siapa saja tanpa melihat agama,” kata Dwina.
Ibunya mendengar kabar bahwa organisasi itu masih bisa menerima satu anak lagi, tetapi anak itu harus tinggal di panti asuhan. Ibunya berpikir untuk memasukkan kakak Dwina. Tetapi kakak Dwina tidak mau, karena masih trauma setelah terpisah tiga hari dari keluarganya ketika bencana terjadi.
Akhirnya Dwina yang mengatakan kepada orang tuanya, "Udah aku aja yang pergi. Yang penting kita bisa sekolah.” Ketika itu, dia baru saja masuk SMP kelas 1, dan dia tidak tahu bahwa dia harus tinggal di panti asuhan.
Dengan sokongan dari organisasi bantuan dari Jerman itu, Dwina tinggal di panti asuhan yang juga berlokasi di kota Medan. Sejak itu, dia mulai mengenal suami-istri asal Jerman yang mengurus organisasi tersebut di Indonesia. Semakin lama, pasangan yang sudah berumur itu, punya hubungan baik dengan Dwina. Dengan akrab Dwina memanggil ibu itu: Oma.
Walaupun dia jadi tinggal terpisah dari keluarganya, dan hanya bisa bertemu dua kali setahun, bersekolah dan berkuliah sambil tinggal di panti asuhan memungkinkan dia terus menuntut pendidikan sampai berkuliah di bidang keguruan di Universitas Negeri Medan.
Ketika Dwina selesai berkuliah di Indonesia, pasangan suami-istri itu sudah akan kembali ke Jerman. Mereka bertanya apa yang ingin dilakukan Dwina berikutnya, karena mereka tidak ingin putus hubungan begitu saja. Dwina mengungkapkan niatnya untuk terus berkuliah. Kemudian dia sambal bercanda mengusulkan, agar dia dibawa ke Jerman. "Serius, sebenarnya aku bercanda. Bercanda seratus persen. Bawa saja aku ke Jerman.”
Tapi mereka rupaya menanggapi itu dengan serius. Seminggu setelahnya, Dwina sudah didaftarkan untuk mulai belajar bahasa Jerman sampai level A1. Jika sudah lulus, mereka akan mengurus keberangkatan Dwina ke Jerman.
Ke negeri orang untuk terus berjuang
Walaupun kaget, Dwina jadi merasa bersemangat. "Karena mereka bukan orang yang main-main. Mereka serius,” kata Dwina. Jadi dia juga sungguh-sungguh berusaha belajar Bahasa Jerman. "Aku juga bela-belain ke Jakarta untuk ujian.” Setelah lulus, ia berangkat ke Jerman bersama-sama dengan pasangan itu.
Desember 2015 Dwina pindah ke Jerman. Sesampai di Jerman, tepatnya di kawasan Lüneburg di Jerman Utara, dia bersiap untuk melanjutkan belajar bahasa Jerman. Untuk itu dia harus pergi sampai Hamburg, karena di kawasan Lüneburg yang ditawarkan adalah Integrationskurs atau kursus integrasi ke dalam masyarakat Jerman. Rencananya hingga sampai taraf B2. Karena untuk memulai kuliah di Jerman, calon mahasiswa dituntut untuk memiliki sertifikat B2.
Tapi ternyata rencananya terpaksa berubah. Januari 2016, hanya sekitar sebulan setelah tiba di Jerman, Dwina dan Oma mengalami kecelakaan ketika pergi untuk mengambil buku pesanan dan membeli beberapa perlengkapan. Ibu yang dia anggap seperti keluarga sendiri itu meninggal, sedangkan Dwina cedera berat sehingga mengalami koma selama tiga hari.
Setelah sadar dari koma, dia masih mengalami trauma selama dua setengah bulan, karena sedih kehilangan Oma yang dia sudah kenal sejak usia 11 tahun. Selama perawatan, dia tinggal bersama keluarga anak pertama dari pasangan yang menolong dia sejak kecil, karena istrinya perawat.
Mereka sendiri tidak tahu pasti, langkah yang sebaiknya diambil bagi Dwina. "Karena saya diajak ngomong, juga ga ngomong,” kata Dwina mengenang keadaannya saat itu. Tapi keluarga itu tetap memberikan kesempatan, agar dia tetap bisa berkuliah di Jerman, dan mengingatkan, bahwa Oma dulu selalu mengajarkan dia untuk berusaha meraih cita-citanya. "Kalau kamu bilang lanjut, kami siap bantu. Kalau kamu ingin pulang, kami akan biayai untuk pulang,” begitu mereka mengatakan kepada Dwina. Tetapi mereka menekankan bahwa dialah yang harus mengambil keputusan.
Akhirnya dia berdoa dan memutuskan untuk mencoba melanjutkan pendidikan di Jerman. Jadi dia berkuliah dua semester sebagai Gasthörer, atau tamu pengikut kuliah, karena setelah berkuliah S1 di Indonesia, orang harus melalui penyetaraan terlebih dahulu, sebelum bisa mulai berkuliah di Jerman untuk mengambil gelar Master.
"Tapi kan kuliah itu butuh biaya, bukan sekedar kuliahnya saja,” kata Dwina, sementara dia tidak mendapat uang sepeserpun dari orang tuanya di Indonesia. "Waktu sekolah bahasa samapai tes DAF dan C1 aja kan per bulan keluarnya banyak sekali," ungkap Dwina. Tapi di tengah kesulitan dan berbagai pertimbangan itulah, Dwina mulai melihat kesempatan untuk ikut Ausbildung.
Ausbildung adalah pendidikan keterampilan di bidang-bidang tertentu di Jerman, yang diarahkan khusus agar orang bisa segera mempraktekkan apa yang dipelajari. Misalnya di bidang perawatan orang sakit, pendidik anak-anak, tukang kayu, atau seperti yang kemudian ditempuh Dwina, yaitu di bidang gastronomi. Ternyata inilah yang paling cocok dengan Dwina. Dia bercerita, memang dia sejak dulu senang memasak, dan meracik segalanya agar tampak cantik.
Ausbildung: Peluang besar di negeri orang
Setelah membandingkan sendiri keuntungannya antara berkuliah dan ikut Ausbildung, dia tidak melihat banyak perbedaannya, bahkan mengikuti Ausbildung tampaknya lebih menguntungkan. Akhirnya dia memutuskan untuk memulai Ausbildung di bidang Business Gastronomie, atau bisnis tata boga, dengan spesialisasi Küche atau dapur, untuk menjadi Chef atau kepala dapur.
Menurut Dwina ada tiga alasan utama mengapa orang Indonesia datang ke Jerman. Yang pertama adalah untuk menjadi au pair dan mengikuti Ausbildung, sedangkan yang ketiga adalah untuk berkuliah. Tapi itu kemungkinan paling kecil dan biasanya mereka berasal dari latar belakang yang mapan. Tapi sekarang, menurut berita media lokal, di kota tempat dia tinggal, yang paling banyak datang untuk melaksanakan Ausbildung adalah orang Asia, yang salah satu yang paling banyak adalah orang Indonesia.
Menurut Dwina, dari satu agen saja, orang Indonesia yang datang ke Jerman bisa ratusan. Sasaran utamanya adalah mengikuti Ausbildung di bidang gastronomi dan perawat di rumah sakit. Masalahnya, menurut Dwina, kadang orang-orang itu datang karena salah pengertian. Mereka mengira dengan ikut Ausbildung orang dapat gaji. Padahal tidak demikian.
Memang orang mendapat uang, tetapi itu bukan gaji, melainkan Ausbildungsvergütung yang artinya tunjangan pelatihan. Jadi jumlahnya kecil. Dwina menjelaskan, untuk mengikuti Ausbildung orang harus terlebih dahulu menemukan perusahaan, restoran, pengrajin, atau apapun tergantung bidangnya, yang bersedia menerima orang untuk Ausbildung selama tiga tahun.
Kemudian, Dwina memberikan contoh, selama tahun pertama, orang itu dua hari bersekolah dan tiga hari bekerja. Di tahun kedua, orang bersekolah sehari, dan seterusnya. Jadi uang yang dia peroleh sebenarnya hanya seperti uang saku.
Dwina juga mengemukakan masalah lain yang sering dihadapi orang Indonesia yang datang ke Jerman untuk mengikuti Ausbildung. Yaitu, kurangnya pengetahuan bahasa Jerman. "Hampir semua sampai di sini dengan sertifikat bahasa cuma A1, atau maksimal A2. Jadi di sekolah mereka ga ngerti apa kata gurunya," ungkap Dwina. Jadi yang masuk bisa 300 orang, tetapi yang bertahan sampai selesai hanya sedikit. "Padahal Jerman ini adalah wahana kita untuk berkembang." Ditambah lagi, Jerman memang membutuhkan pekerja yang disebut Fachkraft, yaitu pekerja terampil di bidang-bidang tertentu.
Jadi Dwina berpendapat, orang-orang yang datang ke Jerman harus punya persiapan. "Bukan sekedar punya visa dan punya paspor saja," kata Dwina. Mereka harus siap mental, punya sedikit simpanan uang, dan yang paling penting adalah kemampuan bahasa.
Mengharumkan nama Indonesia di negeri orang
Walaupun Ausbildung jadi jalan yang lebih cocok bagi Dwina, bukan berarti dia tidak perlu kerja keras, selain itu ada jenjang-jenjangnya. Awalnya, setelah selesai pendidikan, dia menjadi Jungkoch, atau koki muda terlebih dahulu. "Dari Jungkoch kemudian dilihat dulu. OK, orangnya rajin, kerjanya bagus, baru naik jabatan." Sehingga Dwina baru jadi kepala dapur tahun 2022 lalu.
Dulu, dia mengira bahwa Ausbildung menjadi Küchenchef artinya dia hanya belajar masak dan meracik makanan agar tampak cantik. "Ternyata belajar kalkulasinya, manajemennya, teori dasarnya, HACCP-nya [Hazard Analysis and Critical Control Poin]. Tapi saya kämpfen [berjuang]. Sampai jam dua pagi masih belajar," tutur Dwina, dan menambahkan, "Puji Tuhan setiap kali ujian tidak pernah gagal."
Sejak itu, Dwina bertekad untuk bangkit, dan melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang Jerman. "Kalau kita punya nilai bagus, kita dilirik guru. Kalau dilirik guru, dia akan melihat bahwa kita punya kelebihan." Jadi sejak tahun kedua ketika melaksanakan pendidikan, dia sudah berencana, setelah selesai, dia akan bekerja satu-dua tahun untuk mengumpulkan pengalaman, kemudian dia akan berusaha meraih sesuatu yang lebih tinggi, dan pada saat bersamaan membawa nama Indonesia untuk menjadi lebih harum di Jerman.
"Tuhan itu memang adil," kata Dwina, walaupun jalannya panjang dan dia jatuh-bangun, setelah tamat dia langsung mendapat tawaran pekerjaan dari beberapa hotel dan restoran. Dia kemudian bekerja di beberapa hotel dan restoran. Di hotel tempat dia terakhir bekerja, dia ditawarkan posisi untuk jadi kepala dapur, walaupun dia hanya punya pengalaman dua tahun, dan ada kepala dapur yang lebih berpengalaman.
Namun, dia sebelumnya juga sudah melihat bahwa di daerah tempat dia tinggal ada restoran Asia, tetapi tidak ada restoran Indonesia. Selain itu, cara memasak dan penyajiannya seperti ala kadarnya. "Mengapa tidak dengan cara yang fein [mewah]," kata Dwina.
Maka akhirnya Dwina menerima tawaran, dan dia sudah sukses melaksanakan dua kali acara spesial Malam Indonesia. Yang pertama di bulan November tahun lalu, dan yang kedua di awal Maret lalu. Kedua acara juga dihadiri tamu dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hamburg. Dalam kedua acara, tamu yang datang sangat banyak, dan restoran penuh.
Saran Dwina bagi orang-orang yang baru mulai bekerja di Jerman adalah, bersabar terlebih dahulu. Awalnya dia ibaratnya juga merangkak terlebih dahulu. "Orang Jerman baru melihat kita, kalau kita sudah mulai sedikit bersinar," kata Dwina, dan menambahkan, "itu tidak bisa dipungkiri." Ia menegaskan lagi, "Orang Jerman tidak akan melihat kita, jika kita tidak bisa ngomong. Tidak bisa ngomong bahasa Jerman, yang seharusnya memang kita bisa."
Tantangan dalam hidup di Jerman pasti ada. Pasti jatuh-bangun, kata Dwina, dan bagi orang asing yang sendirian di Jerman, tentu itu berat. Sepenuhnya tergantung pada diri sendiri, apakah bisa mengatasi masalah atau tidak, kata Dwina. "Dan iklim di Jerman juga! Berat itu!" katanya sambil tertawa lebar.
(ml/hp)