Retorika Anti-Muslim, Menolong atau Melukai Narendra Modi?
2 Mei 2024Perdana Menteri (PM) Narendra Modi belakangan ini menuai kritik lantaran menggunakan retorika atau bertutur soal anti-Muslim guna memobilisasi para pemilih Hindu di tengah gejolak pemilu India.
Dalam sebuah rapat pemilu pada akhir April di Banswara, salah satu kota di negara bagian barat Rajasthan, Modi menyampaikan pidato politik yang memolarisasi atau memecah dengan banyak cara, menargetkan partai oposisi utama, yakni Partai Kongres.
Modi mengklaim, jika oposisi utama itu berkuasa, partai tersebut akan membagikan kekayaan India kepada para "penyusup”. Pernyataan provokatif ini secara luas dimaknai sebagai niat untuk menopang dukungan dari para pemilih yang mayoritas beragama Hindu.
Ketegangan Hindu-Muslim jadi alat kampanye
"Saat mereka (partai Kongres) berkuasa, mereka mengatakan kalau Muslim memiliki hak pertama atas kekayaan negara," kata Modi dalam pidatonya.
"Mereka bakal mengambil semua kekayaan Anda dan membagikannya kepada mereka yang memiliki lebih banyak anak... di antara para penyusup."
"Apakah Anda pikir uang hasil jerih payah Anda harus diberikan kepada para penyusup? Apakah Anda akan menerimanya?" tuntut Modi.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Terlepas dari kemarahan yang ditimbulkan akibat ucapannya, Modi kembali menambah pernyataannya beberapa hari kemudian dalam rapat umum kampanye di Malda, Benggala Barat dan Araria di Bihar. Dia membahas soal wacana politik ke garis perpecahan Hindu-Muslim.
Partai Bharatiya Janata (Bharatiya Janata Party/BJP) yang dipimpin Modi diperkirakan akan menang pemilu dan tetap berkuasa. Namun, banyak pihak terkejut dengan retorika Modi soal partai Kongres akan mendistribusikan kembali barang-barang sosial kepada umat Islam.
Para analis politik percaya bahwa retorika terhadap umat Islam adalah bagian dari strategi untuk memobilisasi para pemilih Hindu. Alasannya, kepemimpinan BJP mengalami gangguan yang ditandai dengan jumlah pemilih rendah hingga moderat pada dua tahap awal pemungutan suara, hingga soal sentimen anti-petahana.
Pemilu yang dimulai sejak tanggal 19 April, diselenggarakan di seluruh India dalam tujuh tahap, dan akan berlangsung hingga tanggal 1 Juni. Hasilnya kemudian akan diumumkan tiga hari kemudian. Saat ini, Modi masih mengincar masa jabatan ketiga berturut-turut sebagai perdana menteri.
Kepada DW, komentator politik veteran, Neerja Chowdhury mengatakan bahwa dia yakin pidato Modi merupakan bentuk kekhawatiran dari BJP atas kehilangan pemilih.
"Berdasarkan perjalanan saya, saya menemukan bahwa ini bukanlah pemilihan Hindu-Muslim. Namun, mengingat persentase jajak pendapat, BJP telah menambah usahanya. Untuk menarik minat para pemilih, mereka berpikir bahwa ada yang perlu dilakukan supaya wacana utamanya menjadi seperti ini,” ujar dia.
Pidato Modi melanggar aturan pemilu?
Respons yang muncul dari para pemimpin oposisi dan Masyarakat soal pidato-pidato Modi telah menarik perhatian pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum India (Election Commission of India/ECI). Namun, sejauh ini lembaga pengawas pemilu masih menolak untuk berkomentar atau bertindak.
Kode etik ECI menetapkan bahwa para politisi tidak boleh menarik perhatian para pemilih berdasarkan "kasta" dan "perasaan komunal", dan mereka juga tidak dapat melakukan kampanye yang "mempertajam perbedaan atau menciptakan rasa saling benci atau menyebabkan ketegangan" antar masyarakat.
Presiden Kongres Mallikarjun Kharge menggambarkan komentar Modi sebagai "ujaran kebencian" dan "taktik yang dipikirkan dengan matang untuk mengalihkan perhatian."
"Saya mendesak ECI untuk memperhatikan keluhan terbaru ini dan segera menjalankan proses hukum terhadap Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata."
Sekretaris Jenderal Partai Komunis India, Sitaram Yechury, menyerukan untuk diajukannya sebuah pengaduan resmi soal Modi dengan alasan "menghasut hasrat dan kebencian komunal."
Lebih dari 90 eks birokrat juga telah mengirimkan pengaduan kepada ECI agar dapat mengambil tindakan soal Modi atas pidato komunalnya yang dianggap memprovokasi permusuhan terhadap kaum minoritas, dan memperingatkan bahwa retorika lebih lanjut akan mempengaruhi lingkungan untuk jajak pendapat yang bebas dan adil.
Agenda nasionalis Hindu BJP
Sejak BJP berkuasa pada tahun 2014 silam, mereka mengejar agenda nasionalis Hindu sehingga mengasingkan agama minoritas, bersamaan dengan meningkatnya ujaran kebencian dan kekerasan dengan target 210 juta Muslim di India.
Kredo atau ideologi utama BJP sejak tahun 1989 adalah "Hindutva", sebuah ideologi politik yang mempromosikan "nilai-nilai" agama Hindu sebagai landasan budaya dan masyarakat India. Namun, para kritikus menyebut bahwa kebijakan Hindutva yang agresif dari BJP telah memperlakukan kelompok minoritas agama lain sebagai "warga negara kelas dua".
"Retorika anti-Muslim merupakan bagian dari perjalanan BJP, tetapi selama kampanye pemilihan umum saat ini (semuanya) mencapai titik terendah," kata jurnalis dan penulis Saba Naqvi kepada DW.
"Begitu kampanye dimulai, Modi beralih ke pidato-pidato Hindu-Muslim yang paling sarat dalam karier perdana menterinya."
"Pada tanggal 4 Juni, ketika penghitungan suara, kita akan mengetahui apakah eskalasi retorika komunal ini akan membantu atau merugikan BJP," ujar Naqvi.
Pihak lain seperti Salil Tripathi, seorang komentator politik dan penulis yang berbasis di New York, telah mengikuti pemilu ini dengan seksama. Dia mengatakan bahwa "keputusasaan" BJP telah mendorong mereka untuk mencoba formula lama polarisasi Hindu dengan membangkitkan rasa takut akan pengambilalihan India oleh kaum Muslim.
"Ini bukan 'dog-whistle politics' (penggalangan dukungan tanpa memprovokasi opisisi), maknanya dapat didengar oleh semua orang India. Hal ini memicu ketakutan dan dimaksudkan untuk membangkitkan umat Hindu. Ini berbahaya dan terang-terangan memecah belah," kata Tripathi kepada DW.
Masih ada lima tahap pemungutan suara lagi dalam pemilihan maraton ini, dan masih belum jelas pengaruh emosional terhadap retorika ini kepada para pemilih.
Di masa lalu, upaya-upaya polarisasi tidak memberikan keuntungan elektoral bagi BJP.
"Kekerasan dari pidato Modi menunjukkan bahwa setelah 10 tahun berkuasa, pemerintahannya kehabisan akal dan ingin memastikan bahwa para pemilih inti BJP, yakni para pemeluk agama Hindu yang marah dan fundamentalis, tidak akan meninggalkannya," pungkas Tripathi.
(mh/hp)