Rintangan Balkan Barat dalam Rencana Keanggotaan Uni Eropa
9 Januari 2010Perdamaian, stabilitas politik dan kesejahteraan, itulah yang diinginkan warga di negara-negara bekas Yugoslavia, 15 tahun setelah berakhirnya perang Balkan.
"Kesehatan dan lapangan kerja sangat penting. Kami tidak ingin hanya jadi penonton bagaimana makmurnya warga Eropa lainnya. Kami juga ingin mulai hidup makmur," kata seorang supir taksi yang namanya tidak ingin diketahui.
Keinginan pengendara taksi di Sarajevo ini, sama seperti banyak warga negara Balkan barat lainnya. Harapan mereka atas pemerintahnya sangat kecil. Pemerintah tidak berhasil menyelesaikan warisan berdarah masa lalu, itulah kritik yang dilontarkan pakar ilmu politik Vlado Arzinovitch.
"Kami memiliki dinamika konflik ini selama 15 tahun. Jadi kami menjalankan kebijakan sama, namun dengan orang yang berbeda. Tapi agendanya tetap sama. Menurut saya, keengganan atau sikap menahan diri yang ditunjukkan masyarakat internasional masih tetap sama. Ini malah lebih membingungkan daripada yang terjadi pada tahun 1992, atau 1991. Anda dapat melihat, tidak adanya kesepahaman penuh mengenai apa yang terjadi di negara bekas Yugoslavia, dan negara Barat lebih sibuk dengan bubarnya blok Uni Soviet. Sekarang, 15 tahun kemudian, Anda tidak bisa mengatakan masih belum tahu apa potensi konflik di negara balkan dan ledakan apa yang dapat terjadi," ujar Arzinovitch.
Sejumlah negara republik di wilayah bekas Yugoslavia itu kini masih terjerat tuntutan Mahkamah Internasional. Mereka juga terjerat konflik perbatasan dan masalah kedaulatan. Namun mereka semua ingin menjadi anggota Uni Eropa. Pertempuran-pertempuran kecil di kancah politik dan kelicikan hukum mengancam tujuan besar bersama.
Perang balkan masih berdampak hingga kini. Karena nasionalisme, kecurigaan, dan ketakutan terhadap tuntutan perbaikan dari kedua pihak yang bertentangan menghalangi rekonsiliasi. Puncaknya adalah tuntutan Serbia terhadap Kroasia di Mahkamah Internasional mengenai kejahatan perang.
"Ini merupakan salah satu kasus terbesar. Perhatian dunia internasional sangat besar," kata Menteri Luar Negeri Serbia Vuc Jeremic.
Serbia menjadi tersudut. Seluruh tindakan dilakukan untuk memaksa Kroasia menggagalkan tuntutan perbaikannya terhadap Serbia. Politik nasionalnya adalah lebih baik menyerang daripada mengakomodasi, menghalangi upaya pendekatan antara pihak yang bertikai yang sudah lama lewat waktunya. Akhirnya proses rekonsiliasi sejati harus dipertimbangkan, daripada menuding kesalahan satu sama lain.
Ini juga merupakan desakan diplomat dan pakar wilayah Balkan dari Austria, Erhard Busek, menyinggung keinginan negara Balkan barat menjadi anggota Uni Eropa.
"Harus ditegaskan, jika negara Balkan barat tidak menjalankan kewajiban tertentu, maka mereka tidak akan mendapatkan peluang. Ini merupakan konsep yang relatif sukses. Serbia baru-baru ini menyatakan sikap berkaitan dengan keanggotaan dalam Uni Eropa, bahwa mereka sudah setengah jalan menuju pemerintahan yang handal," tutur Busek.
Tidak hanya tuntutan di Mahkamah Internasional yang menghalangi kemajuan perekonomian dan hubungan baik dengan negara tetangga. Seperti sebelumnya, Serbia menentang kedaulatan provinsi Kosovo, yang mayoritas warganya Albania, sebagai negara. Sengketa mengenai pengakuan Kosovo juga membebani hubungan Serbia dengan Montenegro. Makedonia juga tidak ingin meremehkan apa yang disebut Serbia hegemoni negaranya atas Balkan. Belum lagi, sengketa perbatasan antara Kroasia dan Slovenia sejak 20 tahun lalu hingga kini masih belum diselesaikan dan menghalangi integrasi Uni Eropa. Presiden Serbia Boris Tadic memberikan hanya satu saran, yaitu meluaskan cakrawala.
"Satu generasi yang hidup terisolasi, tanpa adanya kesempatan melihat ke luar, juga tidak punya motif untuk melakukan hal lain dari yang biasanya. Perubahan terkadang menyakitkan. Tapi hanya perubahanlah yang dapat membawa perbaikan hidup bagi semua generasi, juga bagi generasi yang akan datang," tegas Tadic.
Andreas Meyer-Feist/Luky Setyarini
Editor: Marjory Linardy