Rohingya, Masalah Khusus bagi Myanmar
4 September 2012Minggu (02/09/12), ribuan biksu berpakaian oranye dan merah tua berpawai menyusuri jalanan di Mandalay. Warga yang ingin tahu dan para pendukung demonstrasi berderet di sepanjang jalan. Salah satu banner yang diusung para demonstran bertuliskan: “Lindungi ibu pertiwi Mynamar dengan mendukung presiden kalian!“ Mereka yang berdemosntrasi adalah para biksu yang turun ke jalan menentang pemerintah militer di tahun 2007. Kala itu, protes mereka dihancurkan dengan kekerasan brutal.
Pendapat Berubah
Bagaimana bisa terjadi pergeseran pendapat? “Umat Muslim terutama Rohingya dari dulu selalu menjadi kambing hitam,“ dikatakan pakar Myanmar Hans-Bernd Zöllner. Ini berawal dari tradisi menyedihkan pada jaman kolonial. Warga etnis Rohingya terutama tinggal di wilayah barat di Provinsi Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh. Mereka tidak dianggap sebagai warga negara dan tidak termasuk dari salah satu etnis minoritas yang diakui pemerintah. Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan bahwa Rohingya merupakan etnis yang paling terancam di dunia.
Dalam beberapa bulan terakhir terjadi bentorkan berdarah antara warga Budha yang minoritas dan warga Rohingya di Rakhine. Kerusuhan ini sedikitnya menelan 90 korban tewas.
Permainan Ganda Presiden
Presiden Myanmar Thein Sein, di satu pihak, menyalahkan biksu Budha dan politisi sebagai pemicu kerusuhan. Namun dalam waktu bersamaan, pada bulan Juli lalu, ia juga mengkritik badan pengungsi PBB, yang menurutnya mengakui imigran iligal Rohingya, yang bukan merupakan etnis di Myanmar.
Pernyataannya terhadap badan pengungsi PBB inilah yang memberi motivasi para biksu Budha pada akhir pekan lalu untuk turun berdemonstrasi menentang warga Rohingya dan PBB. Demikian menurut Phil Robertson, wakil kepala organisasi Human Rights Watch di Asia. “Para pengunjuk rasa memanfaatkan PBB sebagai sasaran kemarahan mereka. PBB disebut hanya berpihak pada Rohingya dan tidak mendukung warga Rakhine,” dikatakan Phil Robertson.
Tuduhan tersebut tidak bisa dipahami Phil Robertson, karena PBB terbukti juga mendukung warga Budha di Rakhine. “Yang menjadi masalah mendasar adalah bahwa para biksu dan pendukung mereka memiliki pandangan yang menyimpang dari realitas.“
Kebencian Mencuat
Realitas terdistorsi, di mana rasisme dan diskriminasi memainkan peran sentral, bukanlah masalah baru. Marco Bunte, peneliti Myanmar dari Hamburg, memperkirakan, apa yang sekarang muncul di permukaan adalah sesuatu yang sudah ada di masyarakat. “Dengan bertambahnya kebebasan, tercipta juga ruang bagi munculnya kebencian yang sebagian sudah terpendam lama.”
Masalah konflik etnis di Myanmar memiliki akar yang lebih dalam, dikatakan pakar Myanmar Hans-Bernd Zöllner, “Menurt perkiraan saya, dengan beragam etnis beserta ketagangan yang ada, Myanmar merupakan tong mesiu, yang tanpa tangan yang kuat dapat meledak.” Pandangan Barat terhadap situasi yang berbahaya ini tertutup dalam beberapa tahun terakhir, karena terlalu berfokus pada Aung San Suu Kyi dan proses demokrasi di Myanmar.
Walau demikian, Hans-Bernd Zöllner tidak menyangkal bahwa reformasi yang berlangsung memang sudah benar dan sangat diperlukan. Tetapi menurut Zöllner, reformasi yang dijalankan belum cukup. Terutama masih dibutuhkan lebih banyak waktu untuk proses ini. “Reformasi merupakan persyaratan yang diperlukan bagi rekonsiliasi dan perdamaian di dalam negeri. Dalam jangka panjang, perbedaan ekonomi, etnis dan budaya harus dihapuskan. Ini akan memakan waktu 20 sampai 40 tahun.“
Masa Depan Suram bagi Minoritas
Nasib etnis Rohingya digambarkan Phil Robertson dari HRW sebagai tonggak yang menentukan bagi demokrasi di Myanmar, “Rohingya merupakan ujian penting bagi Myanmar yang multi ernis. Sayangnya, pemerintah sejauh ini telah gagal, karena militer diterjunkan di pihak mayoritas Budha.“
Digambarkan Hans-Bernd Zöllner, nasib suram akan dihadapi minoritas Muslim Rohingya di masa depan, “Masalah Rohingya merupakan masalah khusus.“ Rohingya diangap bukan merupakan bagian utama bagi kelangsungan negara Myanmar. Tidak ada satu partai di Myanmar, dan baik pemerintah maupun pihak oposisi atau Aung San Suu Kyi dapat berada di sisi Rohingya, tanpa kehilangan pengaruh di kalangan mayoritas penduduk. Selama masalah struktural bagi mayoritas Budha belum diselesaikan, tidak mungkin bahwa situasi bagi Rohingya akan membaik.