070710 YU 20
13 Juli 2010Pada saat Eropa pasca Perang Dunia ke-2 terbagi dalam dua blok, pimpinan Yugoslavia Josip Broz Tito mengambil pilihan lain. Ketika Tahun 1948 terjadi perpecahan antara Presiden Uni Sovyet Josef Stalin dengan Tito, yang kala itu masih menjabat Perdana Menteri Yugoslavia. Setelah terpilih sebagai Presiden Yugoslavia tahun 1953, Josip Broz Tito memunggungi blok Timur yang berhaluan komunis.
Antara Blok Timur-Barat
Walaupun tidak memilih blok Timur, Yugoslavia tidak mungkin memasuki blok Barat. Selanjutnya Tito menjalin hubungan dengan pimpinan negara-negara lainnya, antara lain dengan Perdana Menteri India Nehru dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Ghana Nkrumah dan Presiden Indonesia Soekarno. Atas prakarsa Soekarno, tahun 1955 dilangsungkan KTT Asia Afrika di Bandung, yang menjadi batu fondasi terbentuknya Gerakan Non Blok, yang secara resmi dibentuk di ibukota Yugoslavia Beograd pada tahun 1961.
Bagi Yugoslavia, gerakan non blok adalah pilar penting negara federasi yang terdiri dari berbagai bangsa di Eropa Tenggara tersebut. Identitas berbagai etnik ini sirna, seiring runtuhnya komunisme di Eropa. Hal ini menguntungkan bibit-bibit nasionalisme dari berbagai kelompok etnik yang tergabung di dalam Yugoslavia.
Perang Dingin Berakhir, Non Blok Melemah
Yugoslavia adalah salah satu motor terpenting di antara negara-negara non blok, dan dengan runtuhnya Yugoslavia Gerakan Non Blok menjadi lemah. Demikian pendapat pakar kawasan Balkan Rüdiger Rossig. Namun Rössig juga mengatakan, Gerakan Non Blok sebelumnya sudah melemah atas alasan yang sama, yang menyebabkan melemahnya Yugoslavia. Alasan itu adalah berakhirnya konfrontasi blok Timur dan Barat
"Gerakan Non Blok selalu mendefinisikan dirinya berada di tengah-tengah di antara kedua blok. Dan dalam hal ini hanya dibuat usulan alternatif untuk kedua sistem tersebut. Pada saat kedua sistem melepaskan konfrontasinya, tempat di mana non blok berada juga hilang," papar Rössig.
Munculnya Gerakan Separatis
Runtuhnya Yugoslavia adalah contoh paling buruk dan makanan empuk gerakan-gerakan separatis di Afrika. Demikian pandangan Asfa-Wossen Asserate, pakar politik serta konsultan perusahaan Etiopia-Jerman untuk Afrika dan kawasan Timur Tengah.
Semua negara di Afrika, seperti halnya Yugoslavia dulu, terdiri dari ribuan etnik yang yang menggunakan ratusan bahasa yang berbeda pula. Batas negara-negara di Afrika secara otoriter dibuat oleh penguasa kolonial kala itu, yaitu Inggris dan Perancis, dan sering kali dibuat melewati batas-batas kawasan pemukiman etnik. Demikian dijelaskan Asfa-Wossen Asserate yang juga cucu keponakan raja terakhir Etiopia.
Tidak Mampu Menghadapi Perubahan Cepat
Pecahnya Yugoslavia memiliki konsekuensi bagi politik perdamaian. Sampai dimulainya perang di Kroasia tahun 1991, Yugoslavia masih diupayakan sebagai negara kesatuan guna menjaga stabilitas di kawasan itu. Tapi perubahan cepat politik internasional yang terjadi setelah 1991, membuat para diplomat dan tokoh politik kewalahan.
"Akhir konflik Timur-Barat, runtuhnya Uni Sovyet sebuah kekuatan yang sampai saat itu dipandang sebagai negara adikuasa dan adidaya atom, kemudian kudeta di Moskow, disusul penyatuan Jerman, Perang Teluk tahun 1991. Semua itu mengubah titik-titik koordinat politik internasional secara mendasar. Kala itu hampir tidak ada tokoh politik dan diplomat yang memiliki konsep bagaimana menghadapi situasi tersebut," demikian dijelaskan Holm Sudhaussen, pakar sejarah Eropa Tenggara dari Jerman.
Negara Bekas Yugoslavia Perlu Waktu
Profesor Sundhaussen berpendapat, Yugoslavia sebetulnya dapat berkembang ke arah Uni Eropa kecil. Gagalnya upaya untuk mengkoordinir banyak negara dalam satu atap oleh aktor-aktor politik di kawasan itu, diakui oleh pakar Balkan Rüdiger Rossig, "Yugoslavia pada kenyataannya ambruk, dan kita dalam 50 tahun lagi masih dapat menganggap, seolah-olah Yugoslavia dihancurkan dari luar. Yugoslavia tercerai-berai, hancur dan dirampok oleh kelompok-kelompok politiknya sendiri. Saya pikir kita di kawasan-kawasan bekas Yugoslavia, tidak akan berhasil memperoleh kemajuan , terutama dalam reformasi politik dan ekonomi elitnya, sebelum kami mengakui hal itu."
Selma Filipovic/Dyan Kostermans
Editor: Anggatira Gollmer