Rusia Siap Bercerai dari Uni Eropa Jika Dijatuhi Sanksi
12 Februari 2021Kisruh diplomasi teranyar antara Uni Eropa dan Rusia berawal dari potongan wawancara Sergey Lavrov dan jurnalis kawakan Rusia, Vladimir Solovyov, yang diunggah Kementerian Luar Negeri lewat kanal media sosialnya.
Dalam wawancara tersebut, Lavrov ditanya "apakah kita sedang mengarah ke perpecahan dengan Uni Eropa?”, dia menjawab Rusia siap menerima kenyataan itu jika Brussels menjatuhkan sanksi terhadap area yang mengancam perekonomian negeri.
"Kita berangkat dari fakta bahwa kita siap,” kata dia, "dalam kasus di mana sanksi dijatuhkan terhadap sejumlah sektor yang lalu menciptakan risiko bagi perekonomian kita, termasuk bagian-bagian yang paling sensitif.”
"Kami tidak ingin mengisolasi diri dari kehidupan global, tapi kami harus siap untuk itu. Jika Anda menginginkan damai, maka bersiaplah untuk perang,” imbuhnya.
Wawancara itu diunggah seutuhnya pada Jumat (12/2) melalui kanal Youtube milik Solovyov.
Kremlin membantah
Juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa pernyataan Lavrov disalahartikan. Menurutnya Rusia tetap berkomitmen membangun relasi yang baik dengan Uni Eropa. Tapi pada saat yang sama dia menegaskan Moskow harus bersiap menyambut skenario paling buruk.
Peskov menuduh media massa memublikasikan "berita yang sensasional” tanpa disertai konteks. Ironisnya hal serupa dilakukan Kementerian Luar Negeri saat mengunggah potongan wawancara Lavrov di Telegram tanpa disertai keterangan lengkap.
Ketika ditanya apakah pemutusan hubungan dengan Uni Eropa merupakan opsi politik di masa depan, dia merespon bahwa Rusia "tentu saja” harus siap mengambil langkah tersebut, jika dikenakan sanksi "yang sangat destruktif.”
Peskov mengatakan pihaknya harus siap memproduksi sendiri komponen utama bagi infrastrukturnya jika mendapat embargo Uni Eropa.
Dalam sebuah wawancara terpisah yang dimuat di harian Izvesta, edisi Jumat (12/2), Utusan Rusia untuk Uni Eropa, Vladimir Chizhov, memastikan perundingan Rusia-EU akan terus berlanjut. Menurutnya kunjungan Perwakilan Tinggi UE, Josep Borell, ke Moskow membiaskan sinyal positif.
Borell: Kremlin melihat demokrasi sebagai ancaman
Selasa (9/2) lalu Borell mengatakan dirinya meyakini Rusia ingin memecah-belahUni Eropa dan mengadu domba Eropa barat. Menurutnya pemerintahan Vladimir Putin sedang "mengambil jalur otoritarianisme.”
"Sepertinya tidak ada ruang bagi pengembangan alternatif-alternatif demokratis. Mereka (pemerintah Rusia) sangat tegas meredam segala bentuk upaya,” kata dia di hadapan Parlemen Eropa. Menurutnya Kremlin melihat demokrasi sebagai "ancaman eskistensial.”
Ancaman sanksi dari Uni Eropa muncul menyusul penahanan tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny, setelah sebelumnya mengalami percobaan pembunuhan lewat racun. Dia sempat dirawat di Jerman sebelum bersikeras kembali ke Rusia untuk memimpin aksi protes melawan pemerintah.
Menurut sejumlah laporan, Uni Eropa antara lain berniat membekukan aset, dan memberlakukan larangan masuk bagi sekutu-sekutu Presiden Vladimir Putin. Reaksi dramatis dari Moskow disampaikan setelah Jerman dan Prancis menyetujui rencana sanksi tersebut.
rzn/hp (rtr, interfax, ap)