Sanksi Baru UE Terhadap Myanmar Munculkan Pertanyaan Baru
11 Juni 2021Pertanyaan muncul mengenai tujuan pasti Uni Eropa (UE) soal Myanmar, setelah kepala urusan luar negeri UE, Josep Borrell, pada Kamis pekan lalu (03/06) mengatakan bahwa sanksi baru akan akan segera dijatuhkan kepada junta militer dan kepentingan ekonominya.
Setelah kudeta pada 1 Februari silam, militer Myanmar diyakini telah menewaskan sedikitnya 845 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil yang berpartisipasi dalam protes pro-demokrasi nasional.
Kudeta juga telah meningkatkan tensi pemberontakan tujuh dekade di negara itu, dengan beberapa kelompok milisi etnis sekarang bekerja sama untuk melawan junta. Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), sebuah pemerintahan bayangan yang terdiri dari penentang junta militer, termasuk anggota parlemen yang digulingkan, juga baru-baru ini mengumumkan pembentukan milisi mereka sendiri, Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF).
Ketika ketegangan terus meningkat, mayoritas kekuatan asing, termasuk UE, secara terbuka mendukung blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam memimpin untuk menengahi resolusi konflik.
Situasi di luar jangkauan ASEAN
Namun, situasinya sekarang tampaknya berada di luar jangkauan ASEAN, di mana krisis Myanmar merupakan ujian terbesar dan tersulit dalam beberapa dekade terakhir.
Kekerasan dan penindasan yang terus dilakukan junta bertentangan dengan konsensus lima poin yang disepakati dengan ASEAN pada bulan April lalu. Gerakan pro-demokrasi Myanmar kini juga mengatakan telah kehilangan kepercayaan kepada upaya ASEAN dalam menengahi krisis di Myanmar.
Terlebih lagi, muncul tuduhan bahwa sanksi Uni Eropa kerap dijatuhkan kepada pejabat Myanmar yang sama, yang dinilai akan mendapatkan legitimasi dari ASEAN, jika resolusi ASEAN memungkinkan junta Myanmar berkuasa hingga pemilu ulang dilaksanakan.
Hubungan samar dengan perusahaan minyak
Sejauh ini desakan dijatuhkannya sanksi terhadap Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE), sebuah perusahaan milik negara yang memiliki hubungan dekat dengan aset bisnis militer menjadi salah satu yang paling disorot.
"Sangat penting jika Uni Eropa memberikan sanksi kepada Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar dan bank-bank yang dikendalikan junta untuk memotong aliran pendapatan yang membiayai kejahatan internasional militer," kata Yadanar Maung, juru bicara kelompok aktivis Justice for Myanmar.
"Sumber pendapatan tunggal yang paling signifikan bagi militer adalah dari minyak dan gas, yang disalurkan melalui rekening luar negeri milik bank-bank milik negara,” tambah Maung. "Ini adalah kekayaan milik rakyat Myanmar, yang telah menegaskan penolakan mutlak mereka terhadap kudeta."
Sebelumnya pada akhir Mei, raksasa minyak Total dan Chevron – masing-masing milik Prancis dan AS – mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan pembayaran kepada junta, dividen yang mereka peroleh dari pengangkutan gas dari lapangan Yadana di lepas pantai Myanmar ke daratan utama dan ke negara tetangga Thailand.
Kedua perusahaan internasional tersebut merupakan pemilik mayoritas Perusahaan Transportasi Gas Moattama, perusahaan pipa yang mentransportasikan gas tersebut. MOGE tercatat memiliki 15% saham di sana.
Maung juga meminta UE untuk mendorong embargo senjata global terhadap Myanmar. UE telah membekukan penjualan dan transfer senjata ke negara itu, sementara PBB sebelumnya memperkenalkan resolusi yang tidak mengikat untuk embargo senjata. Namun, blok ASEAN menentang resolusi PBB tersebut.
Masih harus dilihat apakah MOGE, serta entitas lain yang dikelola militer, akan menjadi bagian dari sanksi baru yang dijanjikan oleh Borrell.
'Pendekatan yang komprehensif dan seimbang'
Nabila Massrali, Juru Bicara Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, mengatakan dia "tidak akan berspekulasi" tentang sanksi baru apa yang akan diterapkan karena masih dalam pembahasan.
Massrali menggambarkan langkah-langkah yang diambil UE sebagai "pendekatan yang komprehensif dan seimbang."
"Langkah-langkah ini telah dibuat dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif lebih lanjut pada penduduk Myanmar. Mereka mengirim sinyal kuat kepada junta militer bahwa Uni Eropa meminta pertanggungjawaban mereka atas tindakan mereka dan mereka membebankan sanksi yang jelas pada perilaku mereka."
Pada awal Mei, sebuah studi yang dilakukan oleh 10 kamar dagang asing di Myanmar menunjukkan bahwa 13% perusahaan yang disurvei telah menghentikan aktivitas bisnis di negara itu sejak kudeta, dan sepertiga melaporkan setidaknya telah mengurangi 75% aktivitas bisnis mereka.
'Tidak ada bukti' bahwa sanksi efektif
"Sejauh ini tidak ada bukti bahwa sanksi telah menyebabkan perubahan apa pun di dalam junta militer, yang terus menggunakan kekerasan dan pemenjaraan untuk membungkam oposisi demokratis," kata Htwe Htwe Thein, profesor bisnis internasional di Universitas Curtin di Perth.
Sebagian dikarenakan hampir tidak ada aset keuangan militer yang disimpan di rekening bank UE, dan sebagian besar perusahaan asing besar yang melakukan bisnis di Myanmar bukan orang Eropa.
Di satu sisi, sanksi UE memiliki "efek simbolis" dalam mendukung kecaman internasional atas tindakan junta, dan mungkin juga menekan pemerintah lain untuk mengikuti langkah UE. "Oleh karena itu, mereka lebih efektif daripada yang terlihat," Thein menambahkan.
Namun, banyak negara lain belum mengikuti Uni Eropa. Singapura, investor terbesar di Myanmar, menentang sanksi, seperti halnya investor besar lainnya, Jepang dan Cina.
Siapa yang bertanggung jawab atas mediasi?
Hal-hal lain yang juga membingungkan adalah UE meningkatkan sanksinya terhadap junta Myanmar, tetapi di saat yang bersamaan, mempercayai blok ASEAN untuk mencari solusi. Padahal ASEAN dinilai mungkin akan memberikan legitimasi pada orang yang sama dengan yang ditargetkan Brussel pada akhirnya.
UE "harus sangat berhati-hati dan cerdas dalam mengizinkan ASEAN memimpin upaya diplomatik dan menetapkan agenda," kata Thein.
Ketika mengumumkan sanksi putaran ketiga dalam kunjungan ke Jakarta pekan lalu, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell menegaskan bahwa upaya "menemukan solusi politik untuk situasi Myanmar adalah milik ASEAN." Dia menambahkan bahwa perwakilan ASEAN sedang "melakukan upaya sebaik mungkin."
Namun, tidak semua pihak setuju. Bahkan Thailand, yang mana partai dan perdana menterinya yang berkuasa melalui kudeta militer pada tahun 2014 silam, mengatakan bahwa mereka khawatir junta Myanmar tidak berpegang pada konsensus lima poin yang disepakati dengan ASEAN pada April lalu.
Akhir pekan lalu, pengunjuk rasa pro-demokrasi di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, membakar bendera ASEAN untuk menunjukkan kemarahan mereka pada proses mediasi yang sedang berlangsung dengan junta.
'Solusi yang dikompromikan'
"Jika ASEAN menemukan 'solusi', itu akan menjadi solusi yang sangat dikompromikan - seperti janji-janji yang hampir tidak dapat dipercaya tentang 'pemilihan umum yang bebas dan adil' di masa depan dan diakhirinya kekerasan militer terhadap pendukung pro-demokrasi," papar Thein.
"Kemungkinan UE tidak akan dapat menerima 'solusi' palsu seperti itu, mengingat nilai dan kebijakan demokrasi UE. Lalu apa yang harus dilakukan?" tambahnya.
Jika Brussel mengikuti keputusan ASEAN yang pada dasarnya menerima junta sebagai pemerintah sah Myanmar, maka UE mungkin harus mengakhiri sanksinya. Jika tidak, dan sanksi tetap ada, Brussel akan dianggap tidak setuju dengan resolusi ASEAN.
Massrali pun secara tidak langsung menanggapi isu ini saat ditanya DW.
"Kekerasan dan represi tidak akan memberikan legitimasi kepada junta militer. Hanya dialog politik yang kredibel, yang bertujuan memulihkan institusi demokrasi dan yang mempertimbangkan kehendak rakyat Myanmar, seperti yang diungkapkan dalam pemilihan November lalu, yang dapat memastikan perdamaian berkelanjutan dan demokrasi yang kredibel," kata Massrali, mengacu pada kemenangan NLD pada pemilihan umum tahun lalu, yang menurut militer dicurangi.
"Uni Eropa akan memantau dengan cermat perkembangan dan menilai kembali kebijakannya, termasuk terkait sanksi, berdasarkan situasi di lapangan," pungkas Massrali.
Ed: rap/gtp