Seabad Melawan Komunisme
26 September 2016Pertengahan Agustus 2016 terjadi peristiwa menarik, yaitu peringatan 100 tahun Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam (CSI), di Bandung. Kebetulan Kongres itu sendiri satu abad silam juga diselenggarakan di Bandung, tepatnya pada bulan Juni 1916. Satu hal yang menarik, dalam Kongres CSI seabad lalu itu, benih-benih perlawanan terhadap komunisme sudah mulai muncul.
Dalam kongres ini, selain figur Tjokroaminoto sebagai bintang arena, nama Semaoen juga sudah mulai muncul, mengingat posisinya sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang. Sebagian peserta sudah mulai mempersoalkan status keanggotaan Semaoen, karena dia juga merupakan kader ISDV, organisasi kiri pertama yang didirikan di era Hindia-Belanda. Yang menjadi pokok soal adalah, karena ideologi ISDV yang kiri (sosial-demokrat), maka sebagian peserta kongres mulai menentang kehadiran Semaoen.
Dengan kata lain, peringatan seabad Kongres Nasional CSI, sama maknanya dengan seabad perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Bahkan usianya setahun lebih tua dari Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917), yang dianggap sebagai tonggak kemenangan gerakan komunisme dunia. Setelah satu abad berlalu, gerakan perlawanan terhadap gerakan kiri di Indonesia masih terus berlangsung, tatkala ideologi komunisme sendiri sudah dianggap berakhir.
Antara Hatta dan Soeharto
Jika berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada dua peristiwa, yaitu pemberontakan Madiun 1948 dan Peristiwa 1965, yang secara kebetulan sama-sama terjadi di bulan September. Satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita adalah, bagaimana kedua gerakan itu bisa cepat ditumpas, khususnya pada Peristiwa 1965. Saya menduga, itu bisa terjadi karena orang yang berperan penting di balik aksi penumpasan adalah orang dekat atau setidaknya pernah masuk dalam lingkaran pergaulan para pelaku gerakan.
Dalam Peristiwa 1965 misalnya, para pelaku utama gerakan, yakni Letkol Inf Untung dan Kol Inf Latief, adalah teman dekat Soeharto, sejak masih sama-sama berdinas di Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro (kini Kodam IV/Diponegoro), yang bermarkas di Semarang. Tidak ada yang bisa membantah fakta ini.
Demikian juga dengan Peristiwa Madiun 1948, para pelaku gerakan seperti Mr Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Setiadjit, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat, adalah teman seperjuangan (Perdana Menteri) Hatta sejak masa pergerakan. Mr Amir Sjarifuddin adalah Perdana Menteri yang kemudian digantikan Hatta, sementara tiga nama berikutnya adalah teman Hatta sejak menempuh pendidikan di Belanda, dan sama-sama tergabung dalam Perhimpunan Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, para tokoh Peristiwa Madiun pada umumnya dieksekusi, pada pertengahan Desember 1948, hampir bersamaan waktunya dengan Agresi Militer Belanda II. Kecuali Setiadjit dan Abdulmadjid. Setiadjit hilang dalam pergolakan 1948 tersebut, dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Sementara Abdulmadjid nasibnya sedikit lebih baik, dia bisa lolos dari eksekusi, kemungkinan disebabkan latar belakang keluarganya. Abdulmadjid adalah anak tiri dari Ibu RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan. Bahkan Abdulmadjid sempat menjadi Walikota Semarang pada tahun 1950-an.
Beda jauh dengan nasib Amir Sjarifuddin, yang demikian tragis. Sebelum dieksekusi di sebuah tempat terpencil di Solo, Amir sempat diarak keliling Yogyakarta, sebagai seorang pesakitan. Bagaimana mungkin Hatta (selaku PM), dan juga Soekarno (selaku Presiden) membiarkan tindakan penistaan tersebut. Apakah yang terjadi saat itu benar-benar di luar kendali Soekarno-Hatta (sebagai otoritas sipil), sampai sekarang hal ini masih misteri.
Untuk pertama kalinya negara memberikan contoh buruk perihal adab berpolitik, yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Bagaimana seorang sekelas Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri, dan mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk pergerakan nasional, bisa direndahkan martabatnya seperti itu. Kita jadi paham sekarang, bagaimana masyarakat kita acapkali main hakim sendiri, pada orang atau pihak yang belum jelas kesalahannya.
Ditiru Soeharto
Cara Hatta memperlakukan teman-teman seperjuangannya, entah sengaja atau tidak, kemudian ditiru oleh Soeharto. Benar, Soeharto menjadikan Hatta sebagai bench mark. Logika yang dipakai Soeharto kira-kira seperti ini, kalau Hatta saja sebagai figur politisi sipil terkemuka dan cendekiawan, bisa berlaku seperti itu, tentu publik akan memahami tindakan Soeharto (terhadap sahabatnya), bukankah Soeharto adalah sosok militer tulen, yang sudah akrab dengan tindak kekerasan.
Cuma bedanya Soeharto sedikit memberi sentuhan nilai kejawen, sesuai dengan latar belakang etnis budaya dia. Nilai dimaksud tercermin dalam ungkapan (Jawa) “tega larane, ra tega patine”. Kira-kira maknanya adalah: terhadap seorang teman, kita mungkin masih tega menyakitinya, namun ketika teman itu sedang menghadapi bencana (apalagi sampai mengancam nyawanya), kita akan merasa iba pula.
Sebagai penghayat kejawen yang kental, tentu Soeharto sangat paham atas narasi ini. Nilai inilah yang dipraktikkan oleh Soeharto secara “selektif” terhadap dua orang sahabatnya: Letkol Untung dan Kolonel Latief. Bagian tega larane (tega menyakiti), Soeharto terapkan pada Letkol Untung. Sementara ra tega patine (masih ada rasa iba) diberlakukan pada Kolonel Latief. Itu sebabnya Untung kemudian dieksekusi (mati), sementara Kolonel Latief sedikit terselamatkan, berupa vonis seumur hidup.
Memang logis juga bila Untung kemudian dieksekusi, karena posisinya yang sangat menentukan dalam gerakan dimaksud (G30S), setidaknya dibanding peran Kolonel Latief. Namun ini sekadar asumsi, bagaimana alasan yang lebih detail, mengapa Soeharto bertindak “diskriminatif” seperti itu, hanya Soeharto sendiri yang tahu.
Seabad Menanti Kebenaran
Apa yang sebenarnya terjadi pada Peristiwa 1965, masih misteri sampai sekarang. Namun secara perlahan, dengan berjalannya waktu, secara alamiah akan terungkap juga. Saya kira, generasi sekarang rasanya belum sanggup membongkarnya, karena rentang waktunya relatif masih dekat dengan peristiwa. Dalam hitungan kasar, kemungkinan masih seabad lagi, impas dengan riwayat perlawanan terhadap komunisme, yang tahun ini memasuki usia seabad, bila dihitung dari pelaksanaan Kongres Nasional CSI 1916, sebagaimana disebut di awal tulisan ini.
Bagi otoritas politik, Peristiwa 1965 mungkin sudah dianggap selesai, namun sebagai kajian akademik, kejadian yang membentuk sejarah Indonesia modern ini masih jauh dari selesai. Kalangan sejarawan sepakat, bahwa dalam menganalisis Peristiwa 1965, belum ada yang lebih maju dari apa yang dulu dihasilkan Ben Anderson dan Ruth McVey, dalam naskah yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Secara singkat (menurut Cornell Paper), peristiwa itu pada pokoknya adalah konflik internal TNI AD, itu pun lebih khusus lagi dalam lingkup Kodam VII/Diponegoro.
Rasanya kita ikut gemas juga, mengapa tidak kunjung muncul karya berikutnya yang lebih maju dari analisis Cornell Paper. Ya mau bagaimana lagi, kalau analisis itu memang belum tersedia. Seperti perkiraan di di awal nulasan, kita tunggu saja temuan generasi yang akan datang, mudah-mudahan saja mereka masih berminat membongkar peristiwa setengah abad lalu itu.
Dalam sebuah perbincangan informal, di tempat saya bekerja dahulu (Komunitas Utan Kayu), Ben Anderson mengakui, memang masih ada kesalahan dalam Cornell Paper. Itu terjadi karena dibuat agak terburu-buru, dan tanpa sempat melakukan penelitian lapangan (di Jakarta). Namun penulisan Peristiwa 1965 versi Orde Baru, menurut Ben Anderson, kesalahannya lebih banyak lagi.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga HAM (KontraS).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.