Sejarah Kelam Muslim Rohingya
18 September 2017Saat itu, serangkaian kerusuhan komunal antara sejumlah kelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya meletus dimana-mana di seantero negara bagian Rakhine di Myanmar yang dulu, di masa klasik, bernama Kerajaan Arakan. Rohingya sendiri adalah warga "pribumi” (native) Arakan, dan karena itu mereka sering disebut "Muslim Arakan” atau "India Arakan”. Tetapi eksistensi Rohingya ditolak di Myanmar sehingga menyebabkan mereka menjadi salah satu kelompok etnis yang tidak memiliki negara (katakanlah, "bangsa tanpa negara”), sama seperti etnik Kurdi atau Berber di Timur Tengah.
Kerusuhan antar-kedua kelompok agama itu semakin memburuk, sejak pemerintah mendeklarasikan status darurat atas Rakhine sehingga melegalkan intervensi militer (disebut Tatmadaw) dalam "menangani” kerusuhan komunal berdimensi agama itu. Celakanya, militer dan polisi yang berasal dari kelompok etnis mayoritas di Myanmar (terutama Bamar, Mon, dan Rakhine sendiri) bukannya "mengatasi masalah” dengan menciptakan ruang-ruang atau "titik temu” kedua kelompok untuk berdialog dan mengakhiri pertikaian, melainkan justru semakin memperuncing dan memperburuk situasi lantaran mereka juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut. Kasus ini persis seperti "tragedi Ambon/Maluku” beberapa tahun silam (1999–2004) dimana keterlibatan tentara dan polisi justru semakin memperparah kerusuhan Kristen–Muslim (lihat studi Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia).
"Tragedi Rakhine 2012” ini yang kemudian berlanjut di tahun-tahun berikutnya, termasuk serangkaian aksi kekerasan Buddha–Muslim belakangan ini, telah menyebabkan ribuan orang tewas, ratusan ribu warga mengungsi, ribuan rumah hangus terbakar, dan tak terhitung lagi berapa nilai properti yang hancur-lebur berantakan dimusnahkan oleh massa yang sedang emosi, marah dan kalap.
Tentu saja yang banyak menjadi korban dan target tragedi kekerasan ini adalah kelompok minoritas Muslim Rohingya, yang konon jumlah mereka sekitar 1 juta di Myanmar. Itulah sebabnya Nicholas Farrelly, dalam buku Conflict in Myanmar, menyebut "Tragedi Rakhine” ini sebagai "anti-Muslim pogrom” atau "pembantaian massal anti-Muslim”, yang tidak hanya dilakukan oleh "massa Buddha” saja tetapi juga di back up oleh sejumlah elemen di pemerintahan, sejumlah faksi dalam militer, kelompok Buddha garis keras, dan grup-grup sipil ultranasionalis.
Terlibat aksi saling-balas
Tidak jelas peristiwa apa sebenarnya yang menjadi pemicu atau "trigger” kekerasan kolektif Buddha-Muslim itu. Sebagian ada yang mengatakan tragedi itu dipicu oleh kasus pemerkosaan seorang perempuan (Buddha) Rakhine yang dilakukan beberapa orang Muslim Rohingya ("gang rape”). Ada lagi yang mengatakan tragedi itu dipicu oleh pembunuhan atas sejumlah Muslim Rohingya (oleh massa Buddha Rakhine).
Apapun pemicunya, yang jelas sejumlah kelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya terlibat aksi saling-balas, saling-serang, dan saling-bunuh yang menyebabkan Myanmar tenggelam dalam tragedi kemanusiaan memilukan. Bahkan kini, kekerasan bukan hanya dilakukan oleh sekelompok Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya saja tetapi sudah menjalar menjadi pertikaian Buddha–Muslim dari berbagai kelompok etnis.
Konflik Buddha–Muslim ini semakin menambah daftar panjang dan kompleksitas kekerasan di Myanmar. Perlu diketahui, sejak merdeka tahun 1948, Myanmar tenggelam dalam "lingkaran setan” kekerasan dan kubangan konflik yang tak kunjung sirna, dan belum ada tanda-tanda akan usai dalam waktu dekat ini. Kekerasan itu dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor mendasar: kompetisi antar-ideologi politik, perseteruan antar-etnis, rivalitas antar-elit politik dan birokrat, dominasi tentara, konflik sipil-militer, dlsb.
Dengan kata lain, ada banyak dimensi atau basis konflik di Myanmar: etnis, politik, ideologi, ekonomi, militer, dlsb, tidak melulu agama. Konflik berdimensi agama (Buddhisme–Islam), gerakan anti-Muslim Rohingya, atau kerusuhan antar-kelompok agama (Buddha–Muslim) hanyalah satu dari sekian daftar kekerasan di negara yang dulu bernama Burma ini.
Rohingya juga bukan satu-satunya etnis yang menjadi korban kekerasan. Berbagai kelompok etnis, khususnya kelompok separatis etnis bersenjata, juga menjadi target kekerasan rezim pemerintah pusat dan militer. Rakhine juga bukan satu-satunya kawasan yang dilanda kekerasan sosial dan struktural. Shan dan Kachin, antara lain, adalah kawasan lain yang sangat rawan kekerasan karena memiliki sejarah separatisme etnis yang cukup panjang.
Sejak 1980an, beberapa upaya perdamaian dan resolusi konflik dilakukan tetapi hasilnya selalu nihil. Hal itu terjadi, antara lain, karena kelompok etnis mayoritas (khususnya Bamar) yang menguasai kepolitikan, kemiliteran, birokrasi-pemerintahan, dan perekonomian tidak bersedia untuk "berbagi kenikmatan” dengan kalangan minoritas etnis lain yang jumlahnya ratusan. Maka tidak mengherankan jika sebagian dari mereka tidak terima dan akhirnya angkat senjata melawan rezim pemerintah maupun junta militer.
Myanmar yang kaya dengan sumber-sumber minyak, gas alam, mineral, batu giok, dan mutiara ini sudah sejak zaman bahoela menjadi rebutan berbagai kelompok etnis, agama dan faksi. Akibatnya, Myanmar menjadi kawasan "perang sipil” berkepanjangan, dan sejumlah kelompok minoritas etnis dan masyarakat mengalami "broken lives, bitter hopes”.
Rohingya hanya salah satu kdari elompok etnis yang mengalami nasib sial di Myanmar
Muslim Rohingya bukanlah satu-satunya kelompok Islam yang menjadi target kekerasan. Muslim Kaman, yang juga tinggal di kawasan Rakhine, juga menjadi objek dan sasaran kekerasan, baik oleh kalangan militer maupun kelompok radikal-ektrimis Buddha seperti MaBaTha (atau 969) yang dipimpin oleh Ashin Wirathu, seorang pendeta Buddha bigot dan anti-Muslim. Kaman adalah satu-satunya etnis mayoritas beragama Islam yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Ada sekitar 135 kelompok etnis yang diakui secara legal "eksistensinya” oleh Pemerintah Myanmar. Yang lain, termasuk Rohingya, dianggap "orang asing, etnis ilegal, atau pendatang gelap”.
Kelompok Muslim lain di Myanmar yang mengalami kekerasan komunal dan struktural adalah Chulias, Kaka dan Pathans. Menurut Imtiyaz Yusuf, Direktur Center for Buddhist–Muslim Understanding, Mahidol University, mereka, semula, merupakan berbagai kelompok Muslim di India yang dibawa oleh pemerintah kolonial Inggris ke Myanmar untuk dipekerjakan di berbagai sektor ekonomi dan birokrasi pemerintah kolonial. Karena belatar-belakang Muslim India, mereka pun mengikuti tradisi keislaman di India dan menjadi pengikut Barelwi, Deobandi, atau Jamaat Tabligh. Mereka juga menggunakan Urdu sebagai bahasa komunikasi.
Setelah berhasil melakukan kudeta militer tahun 1962, Jenderal Ne Win (1911–2002) mengusir ratusan ribu kaum Muslim keturunan India ini sebagai bagian dari proses nasionalisasi. Jenderal Ne Win inilah yang mulai melakukan proses delegitimasi kepada Rohingya. Dialah yang merancang Constitution of the Socialist Republic of Myanmar dan Emergency Immigration Act tahun 1974 yang menjadi fondasi pembentukan sistem kewarganegaraan berbasis etnis. Puncaknya pada tahun 1982 saat diberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan Burma (Burmese Citizenship Law) dimana di dalamnya disebutkan tentang empat tipe kewarganegaraan Burma, yaitu warga negara utama (citizen), warga negara sekunder atau "kelas dua” (associate citizen), warga negara naturalisasi (naturalized citizen) dan orang asing (foreigner). Rohingya masuk kategori "orang asing” ini.
Tahun 2015 menjadi "puncak penderitaan” bagi warga Rohingya ketika Presiden Thein Sein, karena mendapat tekanan dari kelompok nasionalis-ekstrimis Buddha Burma 969, mendeklarasikan bahwa kartu identitas Rohingya tidak berlaku dan menganggap Rohingya sebagai "orang Bengali” (Bangladesh). Asal-usul atau "nenek moyang” Rohingya yang diyakini dari Bangladesh itu kemudian jadi perdebatan dan karena itu dijadikan sebagai alasan oleh berbagai kelompok militan-nasionalis, baik yang berbasis agama Buddha (seperti kelompok MaBaTha), etnis (Bamar dan lainnya), militer (Tatmadaw), faksi politik (Arakan Nationalist Party, United League of Arakan, Arakan Liberation Part, dlsb), untuk mendelegitimasi Rohingya. Berbagai kelompok ini menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis berbahaya yang bisa mengancam eksistensi Myanmar dan umat Buddha.
Kekhawatiran berbagai kelompok militan-nasionalis atas Rohingya ini bukan tanpa alasan. Rohingya sendiri sejak tahun 1998, membentuk sejumlah kelompok milisi bersenjata untuk melawan pemerintah seperti Rohingya Solidarity Organization, Arakan Rohingya Islamic Front (yang kemudian bergabung mendirikan Arakan Rohingya National Organization beserta sayap militernya Arakan National Army). Kelompok milisi separatis Rohingya mutakhir yang konflik dengan militer dan pemerintah adalah Arakan Rohingya Salvation Army.
Saat Rakhine jadi ladang kekerasan
Rakhine menjadi "ladang kekerasan” kelompok Muslim Rohingya dan Buddha Rakhine karena di negara bagian ini Rohingya menempati sekitar 40% dari total sehingga "wajar” jika warga Buddha setempat merasa was-was. Berbagai spesialis studi konflik di Myanmar (seperti Nehginpao Kipgen, Matt Schissler, atau Melissa Crouch) mengatakan bahwa maraknya Islamophobia dan gerakan ektrimis-nasionalis berbasis etnis-agama (Buddha Burma) tidak lepas dari kekhawatiran dan ketakutan mereka terhadap "bahaya Islam” yang bisa menyulap Myanmar menjadi "Negara Islam” dan membumihanguskan umat Buddha.
Warga Buddha setempat misalnya merujuk Afganistan dan Indonesia yang dulu dikuasai Buddha kemudian berubah menjadi "negara Muslim”. Mereka juga takut virus-virus kelompok Islam radikal-ektrimis di Timur Tengah, Indo-Pakistan, dan Asia Tenggara menjalar ke Myanmar. Berbagai kasus konservatisme dan radikalisme yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam, baik yang di Luar Negeri maupun di Myanmar sendiri, dijadikan sebagai alasan dan justifikasi untuk mengenyahkan Rohingya.
Meskipun kekhawatiran dan ketakutan umat Buddha terhadap "bahaya Islam” itu tentu saja lumrah dan normal, tetapi kekerasan terhadap Muslim Rohingya tetap saja sebuah kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dan harus dikutuk atas nama kemanusiaan. Wallahu a'lam.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/as)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.