Sejumlah Mispersepsi Tentang Arab Saudi
13 Maret 2017Baik yang pro maupun anti-Saudi selama ini sama-sama kecele dengan "penampakan” dan tindakan Raja Salman beserta rombongan yang tampak ramah, moderat, fleksibel, respectful, damai, dan lain sebagainya, baik selama di Jakarta maupun Bali.
Melalui "penampakan” dan tindakan Raja Salman beserta rombongan ini -- yang begitu menghargai keragaman agama dan budaya-- gambaran Saudi sebagai negara Islam yang keras, intoleran, kolot dan "kaku-njeku” seolah sirna.
Sudah sering sekali saya tulis dan katakan, Saudi dulu dan kini itu beda. Banyak sekali perubahan sosial fundamental yang terjadi di kawasan ini, baik menyangkut sikap, pandangan, dan perilaku masyarakat maupun kebijakan sosial-politik-keagamaan pemerintah. Banyak sekali faktor yang turut memberi kontribusi pada perubahan ini. Karena itu keliru besar pandangan tentang Saudi sebagai negara yang stagnan dan "miskin perubahan.”
Tiga pandangan
Seperti Amerika Serikat, Arab Saudi adalah salah satu negara yang sering disalahpahami oleh masyarakat luar dan dunia internasional.
Setidaknya ada tiga kelompok yang selama ini getol mengamati, menilai, mengevaluasi, dan dalam batas tertentu menghakimi tentang Saudi. Yang pertama adalah kubu "liberal-sekuler” (termasuk para pengamat politik, kaum feminis, dan aktivis HAM). Kedua adalah kubu "Islamis-konservatif” (termasuk kelompok neo-Salafi dan kaum Muslim kelas menengah urban). Ketiga adalah kaum "awam” yang tidak memiliki pengetahuan dan wawasan cukup tentang Saudi tetapi ikut-ikutan nimbrung layaknya pengamat dan ahli tentang kajian Saudi.
Jika kubu "liberal-sekuler” cenderung berbicara serba negatif tentang Saudi, maka kubu "Islamis-konservatif” cenderung sebaliknya: serba positif jika membicarakan tentang kerajaan yang kini dipimpin oleh Raja Salman ini. Meski berbeda haluan, kedua kelompok ini sebetulnya sama-sama menilai Saudi sebagai negara/kerajaan yang mandeg tanpa perubahan berarti.
Sementara itu kaum "awam” cenderung labil, tidak terlalu positif maupun terlalu negatif, semua tergantung dari mana mereka mendapatkan informasi tentang Saudi. Bisa juga pandangan kaum "awam” ini tergantung dari bagaimana pengalaman langsung mereka berinteraksi dengan masyarakat Saudi. Jika pengalaman mereka serba indah, maka akan cenderung memproyeksikan serba positif. Sebaknya, jika pengalaman mereka kurang mengenakkan, maka akan cenderung berpikiran serba negatif.
Kubu "liberal-sekuler” biasanya memproyeksikan Saudi sebagai sarang terorisme, sumber radikalisme, negara yang tidak menghargai hak-hak asasi manusia, negara anti-emansipasi perempuan, dan sebagainya. Sementara itu kubu "Islamis-konservatif” biasanya menganggap Saudi sebagai sumber ajaran Islam yang lurus-otentik, negara Islam yang sehat-makmur tanpa penyakit dan kriminalitas, kerajaan Islam yang damai, adem ayem tanpa konflik dan kekerasan. Jika kaum "liberal-sekuler” menilai Saudi tidak pantas sebagai "negara Islam”, maka kubu "Islamis-konservatif” menganggap Saudi sebagai simbol negara Islam sejati.
Pandangan dan penilaian kedua kubu ini—sebut saja para "kritikus” dan "fans” Saudi—sejatinya sama-sama hiperbolik, invalid, dan tidak akurat.
Masyarakat majemuk
Sebagaimana negara-negara lain di dunia ini, Saudi juga sama: ada sisi positif dan negatinya. Seperti masyarakat lain di jagat raya ini, masyarakat Saudi juga plural (majemuk) dan kompleks, bukan entitas monolitik dan umat yang seragam. Pluralitas dan kompleksitas masyarakat Saudi ini terjadi di semua hal: suku-klannya, Islamnya, Muslimnya, mazhabnya, perilakunya, sejarahnya, pandangan keagamaannya, kelas sosialnya, pendidikannya, tata busananya, moralitasnya, tingkat ekonominya, dan seterusnya.
Geografi-kultural Saudi juga beragam: Hijaz, Najran, Najed, Ahsa, Abha, Qasim, Asir, Jauf, dan sebagainya, yang masing-masing memiliki adat, tradisi, corak, dan karakteristik kegamaan-kebudayaan yang unik dan kaya. Ada wilayah yang sangat maju dan metropolitan, ada yang masih sangat terisolir dan tidak terjamah oleh teknologi dan modernisasi (seperti kawasan Al Faifa). Ada daerah yang menjadi pusat kaum migran, ada yang tidak terjamah kaum pendatang. Ada kawasan yang sangat heterogen dari aspek komunitas agama (seperti al-Syarqiyah) tapi ada pula yang relatif homogen.
Latar belakang dan kondisi geobudaya yang beraneka ragam ini turut membentuk pribadi warga Saudi yang beraneka ragam pula.
Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa, misalnya, Saudi adalah sumber terorisme dan radikalisme global-internasional yang dilakukan oleh kelompok "Islam ekstrim”. Terorisme dan radikalisme, seperti ditulis Mark Juergensmeyer di berbagai karyanya (antara lain Terror in the Mind of God, Global Rebellion, dsb) tidak mengenal suku-bangsa, ideologi, dan agama.
(lanjut ke halaman 2)
Aksi-aksi terorisme dan radikalisme ada dimana-mana di jagat raya ini, bukan monopoli Saudi. Pelaku terorisme juga dari berbagai macam suku-bangsa, ideologi, dan agama, bukan melulu Muslim, Sunni, atau Saudi. Bahkan, kontras dengan persepsi publik luar pada umumnya, Saudi justru sering menjadi target / sasaran amuk kaum teroris (simak misalnya studi Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia). Itulah sebabnya di bawah komando Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef, sejak beberapa tahun terakhir, Saudi gencar memerangi terorisme domestik sekaligus mengsosialisasikan program counterterrorism serta rehabilitasi dan pasifikasi kelompok radikal-teroris.
Menganggap masyarakat Saudi melulu sebagai pengikut Salafi-Wahabi konservatif-radikal juga keliru mengingat ada banyak kelompok Muslim dan faksi Islam di kerajaan ini. Pengikut Salafi-Wahabi pun bukan berarti "by default” ekstrimis-intoleran karena banyak dari mereka yang moderat dan toleran dengan keanekaragaman. Meskipun mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi negara, tetapi masyarakat Muslim bebas mempraktekan aneka mazhab, termasuk Syafii, Maliki, dan Hanafi sebagai rumpun utama mazhab Sunni. Itu terbukti, misalnya, dari aneka ragam tata-cara orang salat di masjid yang sangat warna-warni dan merefleksikan kemajemukan mazhab.
Perlu juga dicatat, ada lebih dari 30% penduduk di Saudi adalah kaum migran dari berbagai negara dan agama: Filipina, India, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Amerika, negara-negara Eropa, dlsb. Mereka tentu saja tidak semuanya Muslim tapi juga ada yang Hindu, Katolik, Protestan.
Warga Arab Saudi juga banyak yang mengikuti aliran Syiah (sekitar 10–15%), baik Itsna Asyariyah, Ismailiyah, maupun Zaidiyah. Menarik untuk dicatat bahwa warga Syiah Arab (di Saudi maupun kawasan Arab Teluk pada umumnya) tidak selamanya setuju dengan warga Syiah Iran yang beretnik Persi. Identitas etnik (Arab–Persi) kadang lebih kental ketimbang identitas keagamaan (Sunni–Syiah).
Itulah sebabnya dalam menyikapi konflik geopolitik Saudi–Iran, warga Syiah di Saudi (dan kawasan Arab Teluk lain) lebih memilih pro-Saudi ketimbang Iran atas dasar kesamaan etnis (sesama Arab) bukan faksi keislaman (sesama Syiah).
Semangat kesukuan dan isu perempuan
Hal lain yang juga luput dari amatan publik luar adalah masalah tribalisme atau "semangat kesukuan”. Dalam konteks masyarakat di kawasan Jazirah dan Teluk Arab, masalah kesukuan ini yang jauh lebih penting ketimbang persoalan skisma keagamaan (Sunni-Syiah, misalnya). Masalah konflik komunal dan aneka urusan individual-sosial seperti perkawinan, pekerjaan, pendidikan, perpolitikan, perekonomian, dlsb, lebih banyak ditentukan oleh faktor kesukuan ini bukan keagamaan/keislaman.
Benar yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14 di dalam Kitab al-Ibar bahwa masalah ashabiyah atau "fanatisme kesukuan” merupakan ciri dominan masyarakat Arab, baik sebelum maupun sesudah era keislaman. Hingga dewasa ini, "sukuisme” dan jaringan antar-suku masih sangat kuat dan memegang peranan penting dalam sistem sosial-politik-perekonomian di Tanah Arab, khususnya Yaman dan kawasan Arab Teluk.
Hak-hak azasi perempuan adalah masalah lain yang sering disoroti oleh para kritikus Saudi.
Padahal, perkembangan emansipasi perempuan sudah sangat pesat disini. Meskipun tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan gerakan feminisme di Barat karena struktur sosial dan budaya masyarakat Arab yang patriarkhi, tetapi perkembangan peran perempuan di sektor publik tidak bisa diabaikan begitu saja. Sejak beberapa dekade silam, terutama sejak Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk pemerintahan (baik pada waktu menjadi putra mahkota maupun raja menggantikan kakaknya, Raja Fahd) yang dikenal sangat moderat-toleran, Saudi sudah membuka diri terhadap aneka perubahan menyangkut hak-hak sosial-politik-publik kaum hawa ini.
Juga dihantui problem sosial
Sebagai sebuah negara, seperti negara-negara lain, Saudi tentu saja juga tidak luput dari berbagai masalah domestik dan problem sosial seperti kriminalitas, pengangguran, kemiskinan, kekerasan, iliterasi, dlsb. Itu lumrah. Tidak benar dan tidak valid, asumsi yang mengatakan bahwa Saudi adalah kawasan yang seratus persen damai, adem-ayem, subur-makmur tanpa kejahatan, zero kemiskinan, dan nir-kekerasan. Hanya para pemimpi dan penghayal saja yang mengatakan demikian.
Tetapi sekali lagi, masalah sosial-domestik ini adalah perkara wajar di berbagai negara bukan eksklusif Saudi saja. Pemerintah Saudi terus berusaha mengatasi berbagai masalah sosial-domestik ini. Misalnya, sejak beberapa dekade terakhir, pemerintah Saudi gencar melakukan berbagai program dan menerapkan aneka kebijakan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran warganya, khususnya generasi muda, dengan menerapkan secara bertahab kebijakan / program Saudisasi agar memberi peluang kerja buat warga Saudi serta memangkas kuantitas kaum migran yang merebut pangsa pasar kerja domestik, khususnya di sektor swasta.
Pemerintah Saudi juga gencar memajukan kualitas pendidikan bagi warganya (baik laki-laki maupun perempuan) yang potensial dengan menggelontorkan banyak beasiswa untuk studi di luar negeri, khususnya di negara-negara Barat yang dinilai maju di dunia pendidikan-akademik, di berbagai disiplin keilmuan. Usai belajar, diharapkan mereka kembali ke Saudi untuk berkontribusi membangun negara agar menjadi lebih baik, maju, dan modern di segala bidang.
Berbagai upaya untuk menanggulangi aksi-aksi kekerasan dan tindakan kriminalitas domestik, termasuk "perang melawan teroris”, juga terus dikumandangkan oleh pemerintah Saudi untuk menciptakan kawasan yang aman dan stabil sehingga bisa melapangkan jalan bagi pembangunan ekonomi, perkembangan industri, dan kemajuan teknologi. Wallahu ‘alam bishawwab.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia telah menulis lebih dari 17 buku dan ratusan karya akademik, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis