Selamat Tinggal Label 'Made in Germany'?
15 Agustus 2013Rencana Komisi Eropa untuk membenahi label 'Made in Germany' tidak mendapat sambutan hangat. "Pasti ujung-ujungnya lebih banyak birokrasi," ujar Jürgen Varwig, presiden Masyarakat Jerman untuk Kualitas (DGQ).
Hingga kini, kalangan produsen dapat memakai label 'Made in Germany' bagi produk-produk "yang fitur utamanya diproduksi di Jerman atau berasal dari produksi Jerman," jelas Volker Treier dari Kamar Dagang dan Industri Jerman (DIHK). Contohnya pompa bensin: "Kalau pengembangan, desain dan perakitan akhir di Jerman, dan hanya komponen yang datang dari penyuplai di luar negeri, produk tersebut masuk kategori Made in Germany."
Namun label itu bukan hanya sekedar menunjukkan asal produk, tambah Varwig. "Pembuatannya, keandalannya, daya tahannya - semuanya dapat disimpulkan 'berkualitas.' Dan konsumen juga membeli imej - sebagai contoh seni teknik mesin Jerman."
Bernilai lebih dari 100 miliar Euro?
Menurut perkiraan, label 'Made in Germany' bernilai lebih dari 100 miliar Euro, karena baik perusahaan maupun konsumen individu lebih memilih membeli produk Jerman yang mahal ketimbang produk murah dari negara lain.
Varwig menilai daya jual ini terancam rencana Komisi Eropa untuk mengharuskan setiap produsen untuk mendokumentasikan setiap tahapan produksi - dan kemudian menilai fasilitas mana yang memberi nilai produk terbesar. Tujuannya membantu menetapkan bea cukai sesuai aturan baru Uni Eropa yang rencananya mulai berlaku akhir tahun ini.
Kalau ini berlaku, kewajiban menaruh label akan menambah biaya perusahaan tingkat menengah - dan tidak melindungi konsumen lebih baik dari sebelumnya.
Namun pengacara merek dagang Morton Douglas tidak sependapat: "Justru perusahaan besar yang banyak membeli dari penyuplai luar negeri yang terancam. Mereka tidak dapat lagi memakai label 'Made in Germany' seperti sekarang."
Kenapa sekarang?
Namun bisa saja ada alasan lain di balik rencana Uni Eropa, menurut DIHK dan DGQ. Mereka menduga proteksionisme. Negara-negara Uni Eropa berekonomi lemah di wilayah selatan dapat terbantu dalam bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara yang berupah rendah. Langkah selanjutnya, Uni Eropa dapat memperkenalkan label 'Made in EU.'
Label semacam ini dapat merugikan negara berorientasi ekspor seperti Jerman, tegas Varwig. "Tentu kami ingin Eropa sukses secara keseluruhan, tapi ini harus terjadi dengan cara negara-negara lain meningkatkan daya saing masing-masing. Dan bukan tercapai dengan hanya mengubah aturan."
Namun belum waktunya mengucap selamat tinggal kepada label 'Made in Germany' karena proposal Komisi Eropa masih harus disetujui Parlemen Eropa dan negara-negara Uni Eropa. DIHK menganjurkan proposal ini dibuang saja ke tempat sampah.