1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gara-gara Sawit, Hubungan EU dengan Malaysia Memburuk

20 Maret 2024

Organisasi perdagangan dunia WTO mendukung Uni Eropa dalam kasus deforestasi di Malaysia, dengan menyatakan biodiesel yang terbuat dari minyak sawit tidak boleh dihitung sebagai bahan bakar nabati terbarukan.

https://p.dw.com/p/4dtfw
Kelapa sawit di Malaysia
Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah IndonesiaFoto: Wahyudi/AFP via Getty Images

Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal bulan ini mengeluarkan keputusan atas keluhan yang diajukan Malaysia terhadap Uni Eropa (UE), mengenai rencana EU untuk menghentikan impor minyak sawit sebagai bahan bakar nabati karena problem lingkungan hidup.

Malaysia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, mengajukan kasusnya ke WTO pada awal tahun 2021 melawan Uni Eropa (UE), Prancis, dan Lituania.

Negara jiran ini menuding UE telah melanggar aturan perdagangan internasional dalam kebijakannya untuk menghapuskan impor minyak sawit dalam daftar bahan bakar hayati karena risiko deforestasi dan emisi berdasarkan Petunjuk Energi Terbarukan (RED II) kedua UE.

Indonesia juga mengajukan kasus ke WTO namun meminta agar kasus tersebut ditangguhkan sehari sebelum hasil kasus Malaysia diumumkan.

Apa dasar keputusan WTO?

Panel yang beranggotakan tiga orang ini memberikan suara dua banding satu untuk mendukung kemampuan UE dalam membuat peraturan yang melarang impor bahan bakar nabati karena alasan lingkungan hidup.

Namun, mereka juga mengatakan bahwa UE bersalah atas cara mereka mempersiapkan dan menerbitkan kebijakannya, yang merupakan "diskriminasi sewenang-wenang atau tidak dapat dibenarkan” terhadap Malaysia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Hal ini sebagian besar berkisar pada cara UE mendefinisikan penilaian emisinya, serta perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC), yang mengukur dampak pengalihan lahan pertanian yang sebelumnya dirancang untuk produksi pangan menjadi produksi biofuel.

Panel WTO berpendapat bahwa studi UE mengenai risiko ILUC terhadap minyak sawit, yang menggunakan data tahun 2008 dan 2016, mungkin sudah ketinggalan zaman.

Laporan tersebut juga menyatakan, pilihan sewenang-wenang dibuat untuk menilai emisi dari produksi minyak sawit selama periode 10 tahun, ketika pohon sawit biasanya bertahan hingga 30 tahun.

"Ada kekurangan dalam desain dan penerapan kriteria risiko rendah ILUC," panel WTO mencatat dalam laporan setebal 348 halaman yang diterbitkan pada tanggal 5 Maret.

Hubungan UE dengan Malaysia dan Indonesia dalam bahaya

Salah satu panelis yang berbeda pendapat juga memberikan dukungan lebih besar terhadap seruan Malaysia bahwa kebijakan UE bersifat proteksionis, karena negara tersebut dituduh menolak minyak sawit, sambil mengabaikan dampak lingkungan dari biofuel yang diproduksi di Eropa, seperti biji rapa.

Direktur Eksekutif Dewan Bisnis UE-ASEAN, Chris Humphrey mengatakan, keputusan WTO akan "dipandang oleh UE dan Malaysia sebagai kemenangan mengingat hasil yang beragam."

"Sementara kita menunggu keputusan WTO yang tertunda mengenai keluhan Indonesia terkait minyak sawit, jelas bahwa dialog antara UE dan mitra utama ASEAN adalah satu-satunya cara untuk mengatasi kekhawatiran yang dimiliki Indonesia dan Malaysia," tambah Humprey.

Direktorat Jenderal Perdagangan UE mengatakan dalam sebuah pernyataan, UE "bermaksud untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyesuaikan undang-undang yang didelegasikan."

Komisi Eropa tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar. Namun anggota Parlemen Eropa dan Ketua Komite Parlemen Eropa mengenai hubungan dengan negara-negara ASEAN, Daniel Caspaty, mengatakan kepada DW bahwa temuan panel WTO "menandai momen penting dalam perdebatan mengenai kebijakan perdagangan dan perlindungan lingkungan."

"Keputusan ini tentunya akan berdampak pada hubungan UE dengan Indonesia dan Malaysia, khususnya terkait sengketa kelapa sawit," tambahnya.

Caspaty mengatakan Eropa harus segera mencari penyelesaian, begitu pula dengan konflik lain seperti diskusi seputar nikel.

Reaksi terhadap putusan WTO

Pemerintah Malaysia menanggapi keputusan WTO seolah-olah mereka menang. Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Abdul Ghani menyebutnya sebagai "pembenaran" atas "upaya keadilan" Kuala Lumpur terhadap sektor minyak sawitnya.

Berbicara kepada media lokal, ia berpendapat keputusan WTO "jelas-jelas menemukan kesalahan pada peraturan UE mengenai perubahan penggunaan lahan tidak langsung untuk melarang biofuel minyak sawit," dan menambahkan bahwa keputusan tersebut "juga menemukan kesalahan dalam pendekatan UE dalam memberi tahu dan berkonsultasi dengan negara-negara lain ketika terjadi perubahan iklim."

"Sementara itu, para pengambil kebijakan di Indonesia akan merasa terhibur dengan berita utama yang merayakan keputusan mengenai diskriminasi," kata analis Kevin O'Rourke dari lembaga konsultan Reformasi Information Services yang bermarkas di Jakarta.

Masih harus dilihat apakah presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, akan mengubah pendirian Jakarta mengenai masalah ini ketika ia mulai menjabat pada akhir tahun ini.

Humphrey dari Dewan Bisnis UE-ASEAN mengatakan, ia sekarang berharap "keputusan ini dapat mengakhiri perselisihan tersebut," dan bahwa UE, Malaysia, dan Indonesia kini dapat fokus untuk menyelesaikan perbedaan mereka melalui pembentukan satuan tugas gabungan ad-hoc tahun lalu.

Gugus tugas tersebut terakhir kali bertemu pada bulan Februari dan diperkirakan akan bertemu kembali untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut pada bulan September di Brussels.

UE harus menetapkan standar yang 'realistis' untuk negara lain

UE mendekati akhir perundingan perdagangan bebas dengan Indonesia, dan telah melakukan pembicaraan dengan Malaysia mengenai upaya memulai kembali hubungan bilateral.

Namun, Brussel baru-baru ini mendapat serangan terkait cara mereka mengklasifikasikan peraturan terkait deforestasi. Bagi analis O'Rourke yang berbasis di Jakarta, kejelasan yang lebih baik akan bermanfaat bagi Indonesia dan Malaysia.

"Tidak seperti beberapa pesaing mereka, kedua negara mampu mencapai kepatuhan dalam banyak hal dan hal ini akan menjadi bentuk keunggulan kompetitif dalam jangka panjang. Dan, tentu saja, tanpa peraturan seperti itu, perubahan iklim akan membahayakan negara-negara tersebut dan semua pihak," ujar analis O'Rourke.

Hal ini mungkin mengharuskan UE untuk mengubah cara mereka melakukan pendekatan perdagangan dengan mitranya.

Frederick Kliem, yang merupakan peneliti dan pengajar di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan Brussel saat ini menerapkan "pendekatan yang sangat rinci dan sangat birokratis terhadap masalah-masalah tersebut."

"Hal ini baik-baik saja secara internal, jika UE dipahami, dihargai, dan kebijakan-kebijakannya dikomunikasikan dengan baik. Namun, hal ini tidak berlaku bagi pihak ketiga," tambahnya.

"Jika UE tidak memoderasi standar tingginya dan membuatnya lebih realistis untuk dicapai oleh pihak ketiga, saya khawatir akan sangat sulit untuk mencapai perjanjian perdagangan bebas lebih lanjut," pungkas Kliem. 

ap/as