Seniman Mali Berjuang Menolak Sensor
25 Januari 2013Publik menunggu dengan penuh perhatian penampilan seorang musisi terkenal bernama Yacouba Sissoko. Ia memasuki panggung di rerstoran Pili Pili di Bamako dengan alat musik Kora. Alat musik tradisional ini bentuknya mirip kecapi dan punya 21 senar. Restoran Pili Pili di tengah kota Bamako tidak hanya terkenal dengan menu Afrikanya, melainkan juga dengan konser-konser musik yang menampilkan para musisi tersohor dari seluruh penjuru Mali. Sejak kelompok militan Islam menguasai Mali Utara, musik mulai dilarang di kawasan itu.
Zouzou, seorang penyanyi dari kota Gao di Mali utara, adalah salah satu dari banyak musisi yang melarikan diri ke selatan sampai ke ibukota Bamako. Kelompok militan yang dekat dengan jaringan Al Qaida menguasai kawasan utara. Mereka melarang segala bentuk musik, juga musik yang digunakan sebagai nada dering di telpon seluler.
”Saya merasa sangat susah, karena saya berasal dari utara. Orang tua saya masih ada di sana dan mereka menderita. Musik juga menderita”, demikian Zouzou bercerita kepada Deutsche Welle.
Milisi militan Islam punya hubungan dengan kelompok kriminal, jaringan pedagang obat bius dan para penyelundup senjata. Mereka sangat fanatik dan menerapkan bentuk Syariah yang sangat ekstrim di sekitar Timbuktu dan kawasan utara lainnya. Mereka mempraktekkan hukum potong tangan dan kaki dan hukum rajam. Mereka merusak masjid bersejarah yang terbuat dari tanah liat dan menghancurkan situs-situs budaya yang dinyatakan sebagai warisan budaya dunia oleh PBB. Para milisi Islamis juga menyatakan bahwa musik bertentangan dengan Islam, sehingga dilarang.
”Situasinya seperti di penjara. Tanpa kebebasan sama sekali. Tapi Anda perlu kebebasan untuk merasa seperi manusia,” kata Zouzou. ”Ini sudah tidak benar.”
”Festival Padang Pasir” diusir
Setelah pengumuman pelarangan musik, makin banyak musisi Mali yang mendapat ancaman pembunuhan. Akhirnya sebuah acara tahunan ”Festival au desert”, yang artinya Festival Padang Pasir, terpaksa dibatalkan. Sebelumnya festival musik ini diselenggarakan sejak 2001 setiap tahun di kota Timbuktu.
”Kami sangat sedih”, kata panitia festival Manny Ansar. ”Kami telah merintis sesuatu yang sebenarnya sangat penting bagi Timbuktu, bagi seluruh Mali. Sekarang festival ini terpaksa dihentikan. Ini sangat buruk.”
Manny Ansar berasal dari Timbuktu. Dia berasal dari keluarga penggembala yang hidup di padang pasir di utara kota itu. Dia juga mendapat ancaman akan dibunuh. Dia melarikan diri ke Bamako dan tidak bisa kembali lagi ke daerah asalnya.
Tapi dia tidak menyerah. Dia tetap ingin melaksanakan sebuah festival di tempat lain dan dengan nama lain: ”Festival au desert en exil”. Dia ingin menyelenggarakan ”Festival padang pasir di pengasingan”. Dua rombongan seniman mulai bulan Februari akan melakukan perjalanan di Afrika Barat dan menggelar konser musik. Dalam ajang final, para seniman akan bertemu selama tiga hari dan menggelar konser di Burkina Faso.
”Kita tidak bisa berperang melawan mereka dengan senjata,” kata Manny Ansar. ”Bagi saya, satu-satunya jalan adalah melawan dengan budaya dan dengan musik.”
Musik rap untuk perdamaian
Kembali ke restoran Pili Pili, serang penyanyi bernama Amkoullel maju mendekati mikrofon. Dia termasuk dalam generasi baru para rapper muda di Mali. Mereka menggunakan alat musik tradisional seperti Kora atau Jembe, sejenis gendang dari kulit, dan memainkan ritme-ritme modern.
Amkoullel yang berusia 33 tahun adalah rapper pertama yang dua tahun lalu tampil di Festival Padang Pasir di kota Timbuktu. Dia menyanyi tentang kisah dirinya, tenang migrasi dan tentang sikap saling menghormati. Dia sudah pernah berkonser di berbagai penjuru dunia. Dia sudah pernah tampil dengan para musisi internasional asal Mali seperti Salif Keita, Ali Farka Toure dan Toumani Diabate.
Proyek terakhir Amkoullel adalah ”Plus Jamais Ca”, artinya ”jangan pernah terjadi lagi”. Ia mengumpulkan para rapper, aktivis dan kawan-kawannya untuk mengimbau masyarakat internasional agar jangan melupakan Mali. Para seniman meminta dunia agar melakukan intervensi. Dari proyek itu tercipta video musik yang dinamakan ”SOS”. Ketika video ini beredar, pemerintah Mali mulai memperhatikannya.
”SOS” muncul sekitar delapan bulan sebelum di Mali terjadi kudeta militer bulan Maret tahun lalu. Video ini menunjukkan para pria yang menyandang dan menembakkan senjata dan para wanita yang terusir dari rumahnya. Ada parade kelompok politik dan tentara yang siap bertempur.
Amkoullel mengatakan, ia menulis lagu SOS untuk menarik perhatian dunia tentang apa yang terjadi di Mali. Dia ingin dunia membantu mengakhiri aksi kekerasan. Tapi lagunya dilarang oleh pemerintah Mali dan tidak boleh diputar di media-media yang diawasi pemerintah. Amkoullel juga menerima ancaman pembunuhan.
”Saya tidak mengatakan sesuatu yang salah tentang pemerintah. Jadi saya tidak mengerti apa yang mereka takutkan,” kata Amkoullel. ”Tapi saya tetap akan melakukan apa yang harus saya lakukan, sebagai seorang seniman.”
Sama dengan Manny Ansar dan banyak seniman lain yang ada di restoran Pili Pili, Amkoullel tidak percaya bahwa musik di Mali akan membisu. Ia mengakui bahwa di Mali utara musik sedang dibungkam. Tapi baginya, musik sudah berakar sangat dalam dalam kehidupan sehari-hari rakyat Mali. Jadi ia yakin, musik tidak akan hilang dari kehidupan warga.