Serunya Menjajal Pützchensmarkt di Bonn, Jerman
27 September 2019Sebagai sebuah kota di negara yang terkenal akan kemajuan teknologinya, Bonn menawarkan suasana yang cukup berbeda. Kehidupan malam di Bonn hanya berlangsung hingga pukul delapan malam, setelahnya semua pusat perbelanjaan, restoran dan toko-toko mulai tutup. Warga Bonn juga punya kebiasaan untuk bergegas pulang ke rumah begitu urusan kerja mereka selesai. Kalau di Jakarta, rasanya harus menunggu sampai jalanan tidak macet lagi atau ajakan kumpul dari teman-teman sudah dilaksanakan baru bisa pulang ke rumah.
Setidaknya, itu impresi yang saya dapat setelah menghabiskan waktu sekitar delapan hari di Bonn, Jerman, kota kecil yang sebenarnya banyak jadi tujuan konferensi atau kegiatan internasional di Jerman. Maka tak heran kalau warga Bonn antusias menyambut hadirnya festival tahunan yang diadakan pada akhir pekan kedua setiap bulan September, Pützchensmarkt. Kalau dalam Bahasa Inggris artinya Fair of the Well atau keadilan/kecukupan yang berasal dari sumur.
Menurut legenda, setelah masa kemarau yang panjang, Abbess, Saint Adelaide, pernah menusukkan tongkatnya ke bumi dan air mulai keluar dari dalam tanah. Setelahnya muncul sumur-sumur baru atau "Putz” yang menjadikan desa itu identik dengan nama Pützchen alias sumur kecil. Akhirnya, desa ini menjadi tempat ziarah dengan kios-kios dan pedagang yang menjadi awal terbentuknya Pützchen Markt, yang sudah berlangsung sejak abad ke-14.
Paradiesapfel berselimut gula..
Sederhananya sih ini pasar malam, yang gambarannya tidak jauh beda dengan yang ada di Indonesia kok, buktinya saja ada kios aksesoris gadget di bagian depan area ini (ternyata orang Jerman juga beli pelindung ponsel di pasar malam ya). Setelah berjalan sedikit lebih dalam, ada juga aneka kios lainnya yang menjajakan makanan, minuman sampai wahana bermain.
Total ada lebih dari 500 kios yang menempati lahan sekitar 80.000 m2 dan menarik lebih dari satu juta pengunjung setiap tahunnya. Sanking rindunya dengan festival, di setiap titik kios bir sudah pasti padat dan susah dilewati. Kerabat saya yang membawa bayi berumur satu tahun pun tidak bisa menembus padatnya keramaian disana dan terpaksa harus melipat stroller untuk menggendong bayinya.
Setelah cukup lama berkeliling untuk menentukan pilihan makanan, akhirnya saya penasaran untuk mencoba cemilan berwarna merah ini, yakni Paradiesapfel. Cemilan khas tradisional Jerman, yaitu buah apel yang telah diselimuti gula yang sudah diberi pewarna merah. Saya pilih ini karena tampilannya unik dan hanya ingin membeli makanan khas Jerman dan benar saja rasanya memang unik!
Gula di bagian luarnya sudah mengeras dan harus digigit untuk bisa mendapatkan buah apel di dalamnya. Saya sih suka rasa manisnya, tapi tidak suka menggigitinya. Begitu sampai pada gigitan buah apelnya, ternyata rasanya asam. Mungkin cara terbaik memakan Paradiesapfel adalah dengan mengkombinasikan gigitan pada gula dan buahnya secara bersamaan.
Berkunjung ke Pützchen Markt jadi cerita menyenangkan penutup kegiatan saya selama menjalani pelatihan dan program penyambutan sebagai koresponden baru di Deutsche Welle. Melihat warga di sini berkumpul dalam satu area dan menyaksikan kemeriahan kota Bonn yang jarang sekali terlihat, jadi pengalaman penutup yang manis.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.