Sesama Migran di Sekolah
23 Juli 2013Muhammad (14 tahun) dari Berlin-Neukölln dianggap sebagai anak yang bermasalah. Kedua abangnya seharian hanya berkeliaran di jalanan. Setelah mengenyam pendidikan selama sepuluh tahun (Hauptschule) mereka kini menganggur. Gökan, salah satu abang Muhammad, sering bertanya untuk apa adiknya pergi sekolah. Memang Muhammad membenci sekolah. Dia sering tidak mengerti pelajaran dan kata-kata yang digunakan gurunya, namun malu menanyakannya. Dia lebih memilih bertanya kepada teman sekelasnya dalam bahasa Turki.
Muhammad adalah figur fiktif, namun remaja seperti ini terdapat di mana-mana di Jerman. Mereka tinggal di kawasan bermasalah, di mana lebih banyak digunakan bahasa Turki ketimbang Jerman. Banyak di antaranya merasa, mereka tidak lagi diperhatikan guru, sementara orang tua mereka tidak tahu bagaimana membantu mereka. Di sekolah-sekolah mereka ada hanya sedikit sekali orang Jerman.
Memperbaiki Kondisi di "sekolah bermasalah"
Pakar pendidikan menyebut fenomena ini sebagai "Segregasi Pendidikan", yaitu pemisahan siswa menurut latar belakang sosial dan etnisnya. Jika anak yang bernama Murrat murid Hauptschule di kawasan mereka, anak yang bernama Lukas atau Sophie adalah siswa di salah satu sekolah terbaik di kotanya.
Yayasan bagi Integrasi dan Migrasi Jerman, SVR, melakukan penelitian mengenai hal ini. "Kondisi pembelajaran di kelas yang mayoritas siswanya berlatar belakang migran biasanya lebih buruk", ujar pemimpin riset SVR, Jan Schneider. Berbekal hasil riset, SVR kini mencari kemungkinan agar kondisi pembelajaran di sekolah bermasalah itu, dapat diperbaiki.
Pelajaran Tambahan Bahasa Jerman
Sekolah Bertolt-Brecht-Gesamtschule di Bonn terletak di kawasan yang bukan termasuk "sejahtera". Lebih dari sepertiga siswanya berlatar belakang migran. Sejumlah siswa, baru sejak beberapa saat ada di Jerman, dan di rumah mereka menggunakan bahasa asalnya.
Reinhold Pfeifer, direktur sekolah itu menekankan pentingnya penguasaan bahasa Jerman bagi siswanya sejak awal, dan karena itu menyediakan pelajaran tambahan untuk yang memerlukannya. Untuk dapat lulus sekolah menengah atas dan mengantongi ijazah "Abitur", siswa harus menguasai bahasa Jerman, lanjut Pfeifer.
Selain itu, sekolah ini menawarkan yang disebut kelas internasional, di mana hampir tidak ada siswa yang bisa berbahasa Jerman. Di kelas ini mereka mendapat pelajaran bahasa Jerman lebih banyak daripada biasanya, yaitu 12 jam seminggu.
Namun Diana Sahrai, pakar pendidikan dari Universitas Duisburg-Essen mengkritik kelas terpisah ini. "Bila siswa yang semuanya tidak pandai berbahasa Jerman berada di kelas semacam itu lebih dari satu atau dua tahun, mereka tidak punya kontak dengan siswa yang menguasai bahasa Jerman. Jadi mereka tidak belajar secara optimal," tambahnya.
Tapi Reinhold Pfeifer berpendapat lain: "Anak-anak nantinya mahir. Sejumlah darinya berhasil mengantongi Abitur (Red: ijazah yang menjadi persyaratan untuk kuliah)." Selanjutnya Pfeifer mengatakan, yang penting baginya adalah hasil dan kenyataan.
Interkultural sebagai Satu-satunya Jalan
Untuk memperbaiki peluang bagi anak-anak di "kawasan bermasalah", SVR memberikan sejumlah saran. "Sebuah peran kunci adalah kesediaan sekolah untuk membuka diri secara interkultural," tukas Schneider, pemimpin riset SVR. Para peneliti SVR berasumsi, sekolah dan dinas terkait sebaiknya lebih melihat keragaman sosial sebagai pengayaan ketimbang hambatan.
SVR menyarankan agar guru-guru mendapat pelatihan untuk menghadapi keragaman siswa, penawaran pelajaran bahasa Jerman tambahan dan peningkatan kerja sama dengan orang tua siswa.
Anna Peters