Apa yang Berubah Sejak Kematian George Floyd?
25 Mei 2021Gambar mantan perwira polisi Derek Chauvin yang menekan leher George Floyd dengan lututnya memicu protes tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi di seluruh dunia. Tugu peringatan dan mural bermunculan dengan membawa namanya, menyoroti langkah anggota parlemen dan departemen kepolisian. Perdebatan pun mencuat tentang bagaimana cara polisi menangani dan memberlakukan perubahan dalam kebijakan dan pendekatan mereka terhadap warga minoritas.
Beberapa bulan kemudian, publik AS menyaksikan persidangan Chauvin dan akhirnya menghela napas lega atas putusan bersalah terhadapnya. Masih belum reda perayaan ini, tidak jauh dari gedung pengadilan di Minneapolis, protes kembali meletus setelah beredarnya video Daunte Wright, pria Afrika-Amerika lainnya yang juga tewas di tangan polisi.
Dalam setahun belakangan, negara tersebut telah menyaksikan sejumlah pasukan polisi menolak seruan untuk reformasi. Di sisi lain, sejumlah video terus bermunculan menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan oleh petugas polisi dengan cara menggunakan kekuatan yang tidak perlu terhadap warga kulit hitam. Gambar-gambar semacam ini memainkan peran utama dalam mengubah pandangan publik terhadap dunia polisi dan hubungannya dalam interaksi rasial.
Apakah gerakan Black Lives Matter masih tetap penting?
Gerakan Black Lives Matter yang sudah ada bahkan bertahun-tahun sebelum pembunuhan Floyd, berperan penting dalam mengangkat kematian Floyd di tingkat nasional dan internasional. Ketika protes menyebar dari kota ke kota, anggota parlemen dan pejabat lainnya merasakan tekanan untuk mendengarkan seruan untuk melakukan perubahan dalam tubuh kepolisian dan masalah keadilan sosial lainnya.
Di Washington, D.C. ribuan aktivis turun ke jalan-jalan di kota untuk mendukung gerakan Black Lives Matter, dan membantu agar pembunuhan Floyd tidak hilang dari pengawasan publik. Selama beberapa minggu, mereka disambut dengan aksi balasan yang agresif dan terkadang dengan kekerasan dari pasukan National Guard.
Sebagai tanggapan atas aksi ini, Walikota District of Columbia Muriel Bowser memesan mural yang menampilkan kata-kata "Black Lives Matter" di luar halaman Gedung Putih. Gerakan simbolis ini membantu membawa gerakan tersebut menjadi bagian dalam budaya arus utama. Berbagai merek, tim olahraga, dan selebriti telah ambil bagian dalam gerakan ini dan dikritik karena mengkooprasi demonstrasi ini. Namun, satu tahun kemudian, gerakan tersebut seolah mulai kehilangan sebagian momentum dan identitasnya.
Meskipun kematian Floyd memang mendorong Black Lives Matter ke arah pengakuan arus utama, gerakan ini hanyalah pengulangan dari gerakan hak-hak sipil lainnya, dan kelompok serupa kemungkinan akan muncul di masa depan. Demikian ungkap Maurice Hobson, seorang profesor studi Africana di Georgia State University
"Black Lives Matter adalah salah satu dari banyak gerakan yang muncul sehubungan dengan hak sipil dan hak asasi manusia," ujar Hobson. "Jadi, percayalah, ada sesuatu yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang - penembakan lain atau sejenisnya - yang akan lebih mengerikan daripada yang terjadi pada George Floyd. Maksud saya, ini Amerika."
Upaya mereformasi polisi
Para polisi di AS bertugas menangani panggilan mulai dari tindak kriminal hingga krisis kesehatan mental. Sebagai responden pertama, mereka diharapkan dapat meredakan situasi. Namun pelatihan bagi anggota polisi yang direkrut sejauh ini lebih menekankan keterampilan penggunaan senjata api dan pertahanan diri.
"Rata-rata di seluruh negeri, petugas polisi menerima 60 jam pelatihan senjata, dan hanya menerima 10 jam pelatihan deeskalasi," kata Keturah Herron, aktivis Black Lives Matter di Kentucky. "Mereka dilatih untuk menyerang lebih dulu."
"Struktur kepolisian tidak dilengkapi untuk menangani masalah, kecuali mereka merespons dengan paksa," kata Herron. "... Saya pikir kita harus mengubah filosofinya." Saat ini berbagai proposal mulai dari mengalihkan dana dari departemen kepolisian hingga menambahkan langkah-langkah transparansi mulai terbentuk di seluruh Amerika Serikat.
Di Ithaca, New York, walikota dan pejabat kota mengusulkan untuk mengganti departemen kepolisian mereka dengan sebuah badan kota yang sama sekali baru. Di Washington, DC, polisi nantinya tidak akan selalu menjadi yang pertama menanggapi panggilan terkait kesehatan mental.
Hanya permainan sejarah?
Dewan Perwakilan Rakyat AS baru-baru ini mengesahkan George Floyd Justice in Policing Act yang membahas pelatihan dan taktik polisi yang dapat menyebabkan cedera tubuh. RUU tersebut saat ini menemui jalan buntu karena suara Senat yang terpecah. Senat Partai Republik mengatakan mereka tidak dapat mendukung RUU itu dalam bentuk saat ini, tetapi mengatakan bahwa bersedia untuk berkerja dengan versi UU yang lebih ramping.
Sejumlah pengamat menyatakan khawatir bahwa Presiden Joe Biden dan Wapres Kamala Harris bukanlah pemimpin yang tepat untuk melakukan pekerjaan ini. Sebagai Senator, Biden mendukung undang-undang yang menurut beberapa orang mempromosikan penahanan perempuan dan laki-laki Afrika-Amerika. Dia juga mendukung RUU kejahatan tahun 1994, yang memberlakukan hukuman berat dan menyumbang masalah penahanan massal yang dihadapi AS saat ini.
Sementara sebagai jaksa wilayah San Francisco dan kemudian Jaksa Agung California, Harris memiliki catatan beragam tentang reformasi peradilan pidana. Kantornya membela undang-undang di negara bagian, yang mengamanatkan hukuman penjara selama puluhan tahun bagi orang-orang yang dihukum karena berbagai tindak pidana.
Harris juga menentang keputusan Mahkamah Agung tahun 2011 yang memerintahkan California untuk membebaskan ribuan orang yang dihukum atas kejahatan tanpa kekerasan dari penjara negara bagian. Saat itu sejumlah penjara negara bagian telah penuh sesak dan pengadilan menemukan kondisinya berbahaya dan tidak sehat.
Meski demikian, Hobson, profesor studi Africana di Georgia State University tidak kecil hati. "Saya pikir masih ada harapan. Dan saya pikir ada peluang bagi pemerintahan Biden untuk menebus kesalahannya di masa lalu, tapi saya belum melihatnya," ujar Hobson.
ae/hp