Tahun 2022 sampai tahun 2024 acapkali disebut sebagai tahun politik, anggapan itu terkait perhelatan Pemilu 2024. Bagi negeri seperti Indonesia yang jumlah politisinya demikian banyak, sejatinya setiap waktu adalah tahun politik, tidak ada hari tanpa keramaian politik. Politisi yang sukses saja sudah banyak, sementara politisi atau calon politisi yang sedang merintis jalan meraih sukses, jumlahnya lebih banyak lagi.
Ukuran politisi sukses adalah mereka yang sejahtera, dan sudah memiliki jabatan di lembaga negara, baik sebagai pejabat pemerintahan atau anggota legislatif, ada lagi yang menjadi komisaris sejumlah BUMN. Dengan demikian mereka sudah memiliki insentif bulanan, dan cukup untuk hidup sejahtera. Persaingan akan semakin ketat, karena politisi yang sudah sukses dan sejahtera ingin agar jabatannya bisa diperpanjang, sementara ribuan politisi lain sedang menunggu antrean untuk meraih kejayaan yang sama.
Segala ikhtiar itu terjadi setiap waktu, tidak hanya terjadi pada waktu yang disebut "tahun politik”. Bagi politisi yang gagal dapat kursi selepas pemilu, bisa mencoba lagi pada putaran berikutnya, sampai fisik dan dana sudah tidak sanggup mendukung lagi. Bagi rakyat jelata, segala keriuhan politisi itu tak ubahnya seperti pasar malam, hanya sekadar tontonan. Seperti halnya pasar malam, banyak wahana atau lapak yang menawarkan aneka atraksi, yang bisa dipilih sendiri oleh penonton (rakyat jelata), bila tidak berkenan atas atraksi yang ada, atau pasar malam sudah berakhir, penonton akan pergi.
Seleksi alam politisi
Tahun 2021 yang baru saja lewat bisa menjadi bukti, setiap tahun adalah tahun politik, saat sejumlah figur politisi papan atas (dalam arti pendanaan) gencar melakukan pemasangan baliho. Alih-alih memperoleh simpati, pemasangan baliho pada akhirnya hanya menjadi olok-olok publik. Kemudian ada peristiwa perebutan partai, respons publik juga hampir sama, ketika salah satu pihak yang bertikai, hanya menjadi bahan tertawaan publik. Itu bisa terjadi, karena merebut partai adalah tindakan konyol, sama artinya dengan melawan logika publik. Kenapa tidak membangun partai sendiri saja, seandainya gagal pun dalam pemilu, itu masih lebih terhormat ketimbang membajak partai orang lain. Ada persepsi di kalangan politisi, terutama yang sangat ambisius, seolah demikian mudahnya membodohi nalar masyarakat awam.
Dari semua teater politik tahun lalu, tentu yang paling heboh adalah ketika logika politik (baca: kekuasaan) digunakan untuk mengatur segenap ilmuwan dan lembaga penelitian di bawah pemerintah, untuk kemudian diintegrasikan dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Sejak awal sudah diramalkan proses integrasi bakal menemui jalan terjal, karena logika politisi dan ilmuwan jelas berbeda, ilmuwan selalu berpikir secara independen, sementara politisi berkarakter pragmatis dan oportunis.
Sampai hari ini, kekisruhan proses integrasi belum juga ditemukan solusinya, karena logikanya memang sudah salah kaprah sejak awal, keblinger bila meminjam istilah Bung Karno. Proses integrasi yang dipaksakan ini, bukan hanya ancaman bagi ekosistem riset bermutu dan kebebasan berpikir, namun yang paling memprihatinka adalah, bagaimana proses itu adalah malapetaka bagi peradaban.
Sebagaimana metafora pasar malam di atas, bagi wahana yang memberi tontonan bagus tentu akan banyak pengunjungnya, dan diharapkan berlanjut sampai Pemilu 2024. Dengan kata lain, segala manuver politisi itu tetap ada manfaatnya bagi rakyat, sekecil apa pun, setidaknya ada informasi terkait calon publik. Pada akhirnya publik sendiri yang akan memutuskan, siapa figur yang akan didukungnya.
Seleksi alam politisi akan terjadi, baik untuk kepentingan pemilihan anggota legislatif, calon kepala daerah, maupun figur yang digadang-gadang untuk menjadi capres. Tentu saja kita tidak menutup mata soal adanya politik transaksional, yang sebenarnya mencederai demokrasi, namun arus bawah sendiri juga menyediakan diri bagi berlangsungnya politik transaksional, artinya rakyat juga semakin cerdas. Sebagaimana ungkapan ringan berikut, mengusung pasir saja ada upahnya, apalagi ini mengusung orang.
Tentu saja ada manuver yang aneh, sekali lagi tidak menghargai nalar publik, ketika ada sejumlah figur atau organisasi, yang masih memiliki mimpi, agar ada pasangan capres – cawapres dari jalur independen. Aspirasi seperti ini hanya akan menambah beban rakyat saja, melihat proses terbentuknya pasangan capres-cawapres dari partai atau koalisi partai saja, sejatinya rakyat sudah jenuh. Bila calon dari jalur independen diberi kesempatan, kita bisa membayangkan, setidaknya akan muncul sepuluh pasangan dalam Pilpres 2024, mengingat politisi kita yang ingin menjadi presiden (atau wapres) juga banyak.
Faktor pendidikan
Salah satu faktor yang prinsip adalah soal pendidikan. Pendidikan tetap berperan penting dalam pembentukan karakter dan integritas diri. Itu sebabnya bagi generasi milenial yang ingin menjadi politisi, harus berlatar belakang pendidikan yang memadai, setidaknya selesai sarjana (strata satu). Dan jangan mengulang kebiasaan politisi generasi sebelumnya (baby boomers), ketika gelar akademik diposisikan dalam perspektif feodalisme, sebagai modal memburu kekuasaan dan jabatan.
Sempat ada perdebatan di media arus utama dan medua sosial, soal pimpinan sebuah partai yang kebetulan tidak sempat selesai kuliahnya. Secara kebetulan pula, partai ini acapkali diklaim sebagai pembawa aspirasi generasi milenial. Bila pendukungnya saja, rata-rata selesai kuliahnya, idealnya pemimpinnya juga begitu, setidaknya masih memiliki tekad untuk menuntaskan pendidikan. Dan tekad atau niat ini harus firm diketahui publik.
Namun respons yang terjadi, para pendukung dan tokoh dimaksud bersikap defensif, dengan memberi apologia yang kurang pas. Salah satu apologia yang acapkali dipakai untuk orang yang tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, adalah dengan merujuk pengalaman Mark Zuckerberg (pendiri dan pemilik Facebook).
Saya khawatir apologia ini menyesatkan, karena peta jalan dan ekosistem bagi orang seperti Mark Zuckerberg, sangat spesial, tidak bisa semua orang menirunya, dan sebaiknya dilupakan saja. Artinya kita tetap bersekolah sampai selesai, dan setinggi kita mampu selagi ada kesempatan dan biaya. Ini seperti perjalanan karier Jenderal Benny Moerdani, yang bisa mencapai puncak karier sebagai Panglima ABRI (1983- 1988), tanpa pernah mengikuti pendidikan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dan Sesko TNI, pendidikan wajib bagi perwira TNI (khususnya matra darat). Perwira generasi sekarang sudah mafhum bahwa pola perjalanan karier Jenderal Benny sangat spesial, mungkin mirip-mirip Mark Zuckerberg juga, yang tidak bisa ditiru oleh perwira TNI generasi berikutnya.
Pada titik ini saya ingat atas pendidikan putra-putri presiden pertama dan kedua kita, yang ada sebagian tidak begitu jelas nasib studinya. Latar belakang pendidikan anak Soeharto umumnya tidak terlalu jelas. Sepertinya hanya Mbak Titik (lulusan FEUI) dan putri bungsunya Mbak Mamik (lulusan program studi Statistik IPB), yang lumayan memadai pendidikannya. Bambang Trihatmodjo dikabarkan sempat kuliah di Inggris, namun tidak jelas bagaimana kelanjutannya.Sebenarnya yang dipersoalkan bukanlah kecerdasan atau ijazah formal, namun lebih pada soal menyia-nyiakan kesempatan.
Bagaimana tidak, dengan kekayaan yang luar biasa dari Soeharto, kenapa anak-anak Soeharto tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk sekolah setinggi-tingginya, bila perlu sekolah pada kampus ternama di luar negeri, yang berapa pun biayanya, ayahnya pasti sanggup membiayai. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana bila orang seperti Mas Tomy, dengan latar belakang pendidikan pas-pasaan, harus berdebat dengan generasi milenial yang umumnya cerdas dan selalu update informasi, dalam sebuah forum kampanye misalnya.
Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta. Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global seperti ayahnya. Artinya, publik tidak was-was bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.
Sementara latar belakang pendidikan putera-puteri Soekarno beragam, artinya ada yang terhenti, namun ada yang selesai juga, setidaknya sarjana strata satu. Seperti dua putera Bung Karno dengan Ibu Hartini, yakni Taufan (seni rupa ITB, almarhum) dan Bayu (FISIP UI). Sementara putera-puteri Bung Karno dengan Ibu Fatmawati, latar belakang pendidikannya tidak terlalu jelas, mungkin keadaan saat itu yang tidak kondusif untuk merampungkan studi. Tetapi kenapa anak-anak bersama Ibu Hartini bisa menyelesaikan studinya, mungkinkah ada faktor tekad?
Dulu anak bungsu (bersama Ibu Fatmawi), yaitu Mas Guruh sudah sempat kuliah di program studi arkeologi di Belanda, sayang sekali kabarnya tidak tuntas juga. Dalam rumpun ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, pilihan studi pada arkeologi, sejarah atau antropologi, bagi mahasiswa yang memiliki passion tinggi, umumnya bisa selesai. Sedikit berbeda dengan program studi ekonomi (pembangunan) atau psikologi misalnya, yang relatif berat, artinya tidak cukup hanya berdasarkan minat.
Dihubungkan dengan ekosistem lembaga penelitian yang sedang bermasalah, termasuk pendekatan kekuasaan dalam mengelola ilmuwan, kiranya situasi ini tidak menyurutkan semangat belajar generasi milenial. Kemudian bila ada politisi yang seolah tetap percaya diri kendati tidak selesai sekolah, atau sebaliknya, memanfaatkan gelar akademik yang berderet sekadar jalan pintas dalam memburu kekuasaan, sebaiknya abaikan saja.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.