Si Nomor Dua
19 Desember 2016"Indonesia adalah Belanda-nya sepakbola dunia!” demikian jargon yang belakangan mewabah di media sosial. Gambaran betapa cintanya bangsa ini pada sepakbola dan bukti bahwa kekalahan untuk ke-LIMA kalinya di gelaran final turnamen negara Asia Tenggara AFF Cup adalah capaian yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari gelar juara yang terus jauh dari jangkauan. Seperti yang semua kita ketahui setelah berhasil memukul Thailand 2-1 di Pakansari, Bogor, tim Merah Putih harus berlutut di kaki pasukan Gajah Putih di Rajamanggala Stadium, Bangkok dengan skor 0-2.
Gelar juara kembali sirna dan harapan banyak sekali bangsa Indonesia sirna sudah. Perdebatan tentang agama siapa yang terbaik di muka bumi serta siapakah yang lebih layak menjadi gubernur di Jakarta kembali merebak selepas sepakbola selesai diperhatikan. "If you can't support us when we lost, then don't support us when we win!” tegas Bill Shankly, pelatih legendaris Liverpool kepada para supporternya. Tegas dan itulah yang memang dibutuhkan oleh sebuah tim, dukungan tanpa henti dari pesoraknya. Semua adalah bahan bakar dan vitamin bagi aksi diatas lapangan.
Sepak bola: perekat persatuan
Situasi yang bagi saya lumayan baru sebenarnya, karena di masa lalu tak banyak orang begitu peduli bahkan pada tim nasional kita. Jargon "Gak pernah menang sih,” adalah ucapan yang selalu dikatakan di masa sebelum 2007, sebelum kita jadi salah satu tuan rumah Piala Asia tentang tim nasional kita. Kegilaan pada sepakbola lebih tergambar pada siaran-siaran langsung liga Eropa atau fanatisme terhadap tim lokal. Belakangan rasa cinta tanah air bisa direfleksikan oleh bangsa ini lewat Sepakbola. Tim nasional adalah pelambang, disebut sebagai perekat persatuan dan alat untuk melupakan perbedaan yang sedang terjadi.
Bagi banyak orang kehadiran tim nasional sampai final memberi jeda panjang bagi perdebatan tak perlu di berbagai media tentang perbedaan. Tetapi bagi saya hal yang lebih menarik ada jauh di atas itu. Tak banyak orang cermat memperhatikan kapten tim nasional kita Boaz Solossa tidak pernah menyanyikan lagu kebangsaan negaranya. Orang akan membela dengan menyamakan dirinya dengan banyak pemain di Eropa, sementara saya melihat ini sebagai protes bangsa Papua terhadap Indonesia. Lebih menarik karena Boaz bermain sepenuh hati demi negara yang mungkin saja ia anggap telah menjadikan negerinya sebagai koloni. Ia tetap menjadi bintang bagi kita dan ia tetap bersedih saat negeri yang ia bela itu takluk di partai puncak dari tim yang memang lebih bagus, Thailand.
Kemudian publik Indonesia dengan cekatan menyamakan sepakbola di negeri ini dengan Belanda, mantan kita yang terletak jauh di Eropa sana. Hal utama yang dianggap sama adalah kemampuan Belanda untuk "hanya” berada di posisi 2 Piala Dunia 1974, 1978 dan 2010. Sembari di saat yang sama melupakan fakta bahwa tim Oranye pernah jadi yang terbaik di Euro 1988 di Jerman.
Sebagai bangsa Indonesia tentu saya bangga jika benar sepakbola Indonesia berada di level yang sama dengan Belanda. Setidaknya fakta bahwa Robin Van Persie adalah teman satu akademi nya Raphael Maitimo adalah hal yang cukup melegakan. Tetapi jika merunut bahwa Belanda bermain luar biasa di 1974 dan 1978 untuk kemudian cukup taktis di 2010, Indonesia di tahun 2016 sama sekali jauh dari kesan yang terbaik di turnamen. Belanda lebih diperbincangkan daripada sang juara 1974 Jerman bahkan sampai hari ini, metode "totaalvoetbal" yang mereka perkenalkan jauh lebih sering dibahas media dunia daripada efektifitas Jerman. Aksi Johan Cruijjf lebih sering diocehkan ketimbang kepemimpinan Franz Beckenbauer yang kharismatis itu.
Apakah kita mengesankan?
Di AFF 2016—kecuali di leg 2 partai final—kita memang selalu berhasil mencetak 2 gol di tiap pertandingan, tetapi apakah kita mengesankan? Saya rasa tidak, patriotisme kita justru yang jauh lebih mengesankan daripada permainan tim kita. Kita begitu membabi buta menyamakan negeri dengan sistem pembinaan yang sangat baik, infratsruktur sepakbola yang lengkap serta kompetisi profesional yang solid dengan kita yang bahkan di ibukota negara saja hanya ada satu stadion komersil yang representatif.
Kita juga sudah gegabah menyamakan peringkat DUA dunia dengan capaian peringkat 2 Asia Tenggara. Ini yang jelas sangat tidak adil. Benar adanya bahwa AFF Cup adalah Piala Dunianya bangsa Asia Tenggara, karena tidak satupun dari negara-negara itu, bahkan di level Asia saja sama sekali tak ada yang elit. Tapi layakkah kita menjadikan nomor DUA sebagai sebuah kegembiraan, seolah menganggap Asia Tenggara adalah sasaran?
Bagi Thailand, AFF Cup hanyalah sebuah persinggahan sepakbola, karena walau sedang sangat tertatih, mereka kini bertarung di 16 besar Asia yang sedang memperebutkan tiket ke Piala Dunia 2018.
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Traveller
@andibachtiar
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.