Siapapun Yang Menang di AS, Bagi Asia Tak Banyak Bedanya
8 November 2016Menang atau kalah, munculnya Donald Trump dalam perebutan kursi presiden di Amerika telah mengubah pandangan banyak negara di Asia terhadap negara adidaya itu.
"Dengan atau tanpa Trump, (pemilu) ini adalah pertanda berakhirnya kepemimpinan global AS, terutama kepemimpinan moral", kata seorang diplomat Jepang yang tidak ingin disebut namanya, karena tema ini memang sensitif.
"Saya pikir, ini bukan soal Trump, tapi soal bagaimana masyarakat AS bisa memilih dia sebagai kandidat dari Kubu Republik", katanya.
Selama kampanye, Trump sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif yang menghebohkan. Para oengeritik menyebutnya seorang rasis, hipokrit, demagog dan seorang pelaku pelecehan seksual. Dia membantah semua tuduhan itu.
Trump menggambarkan masa depan Amerika yang suram, yang menurutnya akan menjadi hamba Cina, menyerah pada Meksiko dan ISIS. Terutama pernyataan-pernyataannya menentang kebijakan imigrasi dan perdagangan dunia yang mengubah citra Amerika Serikat di panggung internasional. Selama ini, AS dipandang sebagai satu-satunya adidaya yang mendukung globalisasi dan ikut memotori perkembangan ekonomi dunia, terutama sejak runtuhnya Uni Soviet awal 1990an.
Tapi yang paling ditakuti banyak negara di Asia adalah kecenderungan proteksionisme yang sering didengungkan Donald Trump. Karena sebagian besar ekspor dari Asia ditujukan ke pasar Amerika Serikat.
Perjanjian Kemitraan Asia Pasifik (Trans-Pacific Partnership- (TPP) adalah kesepakatan dagang yang prakarsai Presiden Barack Obama, antara lain untuk merebut kembali simpati di Asia terhadap Amerika Serikat. Bagi Washington, kawasan Asia punya nilai geopolitis yang sangat penting. Sekarang, TPP kelihatannya tidak akan terwujud.
Mantan Menteri Keuangan Indonesia, Chatib Basri mengatakan pada kantor berita Reuters, TPP adalah "instrumen penting bagi pengaruh AS di Asia".
"Ada semacam persaingan (di Asia) antara AS dan Cina, dan Amerika melihat TPP sebagai pintu masuk ke Asia," kata Chatib Basri yang saat ini menjadi dosen tamu di Australian National University.
Hingga kini, aliansi terpenting AS di Asia adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Namun jika AS menerapkan kebijakan proteksionis, Washington akan cepat kehilangan pengaruhnya di kawasan ini.
Ironisnya, yang akan menarik manfaat dari ekkalutan politik di AS adalah Cina. Karena negara-negara di Asia yang selama ini menjadi mitra terpercaya AS mulai kehilangan kepercayaan dan makin mendekat ke Cina.
"Jika AS mundur dari TPP, ini akan meningkatkan pengaruh Cina di Asia," kata
Kanti Bajpai, Guru Besar di Lee Kuan Yew School of Public Policy di Singapura.
"Sekarang saja, kritik-kritik Washington terhadap situasi domestik telah menggiring Filipina, Thailand dan Malaysia makin mendekat ke Beijing. Jika AS mundur dari TPP, ini secara geopolitis akan menguntungkan China," katanya.
Belakangan, terutama Presiden Filipina Rodrigo Duterte melayangkan kritik-kritik verbal yang tajam terhadap AS, karena kritik Washington terhadap kebijakan anti-narkobanya. Ketika berkunjung ke China bulan lalu, Duterte dalam pidationya malah mengatakan, sekaranglah saatnya untuk "pemisahan" dari AS.
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pulang dari kunjungan ke Cina minggu yang lalu dengan mengantongi perjanjian kerjsama senilai 34 miliar dolar AS. Selain itu, Malaysia sepakat untuk memesan 4 kapal dari Cina
Gareth Leather, ekonom senior dari Capital Economics mengatakan, Filipina, taiwan dan Korea Selatan akan menjadi tiga negara yang paling rentan dengan perubahan politik dan ekonomi di AS.
"Resiko paling besar malah bukan datang dari politik perdagangan ala Trump, melainkan dari politik luar negerinya," kata Leather.
Bagaimanapun, pengaruh Amerika Serikat di Asia sekarang makin redup. Sebagian pengamat khawatir, hubungan antara kedua benua itu sudah sulit direparasi. Kampanye presiden yang sangat agresif, telah mencoreng citra AS sebagai negara demokratis terbesar dunia.
"Semua teman saya dari Cina mengatakan, mereka percaya Cina akan memimpin dunia dalam 20 tahun mendatang", kata Jesper Koll, direktur konsultan keuangan Wisdom Tree Japan. Tapi nampaknya, mereka sekarang percaya, hal itu sudah dapat dimulai Januari mendatang, tambahnya. "Ini bukan lelucon, ini adalah perkembangan yang wajar," kata dia.
hp/rn (rtr)