Mengurai Problem Sinema Nasional
29 Maret 2016“Saya malas nonton film Indonesia, isinya horor seks murahan dan pocong-pocong saja, lebih baik nonton The Avengers!” ujar seorang penanya dalam sebuah acara diskusi sinema Indonesia masa kini. Saya saat itu sedang bertindak sebagai moderator, jadi saya tak terlalu punya intensitas untuk menjawab, apalagi ada Angga Sasongko sineas film lainnya di tempat itu yang dengan sigap menjawab pertanyaan tersebut.
“Bung, Anda kemana aja? Tren esek-esek horor sudah lama hilang, seks murahan itu tema 1990an! Lalu Anda bandingkan film Hollywood yang budgetnya 2 triliun rupiah dengan film kita yang luar biasa cekak. Untuk Anda tahu, uang 2 triliun di republik ini dibuat untuk 2 jembatan flyover di ibukota negara macam Jakarta!” Angga merespon komentar tadi dengan tersenyum, tapi jelas sekali bahwa ia kesal.
Memang demikian situasinya, penonton film memang berhak membandingkan apple to apple sebuah karya dengan karya lainnya. Karena bagi penonton sinema memang tetap sinema, apalagi secara awam tak banyak orang tahu proses pembuatan dan tingkat kesulitannya. Jadi saya sebagai seorang sineas tentu tak akan bisa protes jika misalnya adegan kapal tenggelam di “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” (2014) akan selalu dibandingkan dengan adegan yang sama pada “Titanic” (1997). Segala intrik dan keseruan sepanjang film seolah sirna begitu saja oleh banyak penonton film Indonesia yang menyaksikan karya Sunil Soraya tersebut.
Selalu kekurangan penonton
Film Indonesia memiliki masalah klasik yang sangat luar biasa sejak zaman dahulu kala, yakni selalu kekurangan penonton! Pada era masa jaya Warkop DKI dan film-film Rhoma Irama sekalipun, rekor penonton praktis hanya berada di kisaran 700 ribuan penonton.
Bangsa kita memang selalu berteriak tentang betapa berbudayanya seluruh bangsa yang hidup di Nusantara di bawah bendera Merah Putih ini. Padahal tanpa menafikan segala perbedaan budaya bangsa-bangsa tersebut, satu hal yang pasti: Budaya tontonan panggung praktis tak dikenal atau bahkan tak ada di sini.
Pertunjukan wayang orang yang selalu disebut sebagai asli budaya bangsa Jawa, pada faktanya adalah gabungan dari teater Kabuki di Jepang, kisah Mahabharata dari India dan drama musikal ala Belanda. Pertama kali dipentaskan di tanah Nusantara ini pun baru pada tahun 1827 dan diprakarsai oleh pemerintahan kolonial Belanda. Jadi jangan heran jika hari ini pertunjukan wayang orang yang selalu diagung-agungkan sebagai budaya nasional ini bahkan di kandang sendiri di Solo sana sudah kehilangan penontonnya.
Seorang budayawan senior pernah menghardik saya dengan menyebut bahwa budaya kita sangat kaya, ia bahkan dengan pongah berkata “Anda tak perlu bicara budaya, itu bukan domain Anda, cukup bicara film saja!” jelas budayawan yang dihormati banyak orang ini tak paham bahwa sinema—karena film hanyalah bagian dari teknologinya—adalah sebuah produk budaya, sama seperti pengamen jalanan yang bebas keluar masuk warung yang juga saya percayai sebagai produk budaya bangsa.
Agar sinema tetap hidup
Menonton adalah bagian dari budaya yang dibiasakan sejak lama, sinema hanyalah salah satu dari pertunjukan tontonan itu. Seni modern yang berhasil dengan sempurna memadukan musik, teater, panggung dan teknologi yang ditransformasikan ke proyeksi di layar. Sinema atau bioskop tak punya beda secara prinsipil dengan seni panggung mulai dari musik sampai teater atau tari-tarian.
Lihat saja sejak zaman dahulu ada berapa banyak orang yang datang ke gedung-gedung pertunjukan menyaksikan aksi panggung? Memang tak pernah banyak, karena pertujukan panggung di negeri ini selain hanya dinikmati oleh kalangan terbatas, ia juga menjadi pameran pemisah antar kelas dan tingkatan intelegensi.
Jadi, sebagai seorang sineas saya harus maklum jika sinema kita pun praktis begitu-begitu saja. Karena memang kaum pemilik modal berhak menjustifikasi dan memprediksi apakah produksinya akan disaksikan banyak orang di bioskop atau malah ramai disaksikan di rumah lewat dvd bajakan. Sinema adalah produk budaya, seni modern yang juga diperjual belikan tiket menontonnya. Ia butuh penonton pembeli tiket yang datang ke bioskop bukan hanya agar ia bisa jadi penanda dan dibicarakan luas, tapi karena ada investasi uang di sana……dan itu sepantasnya bisa menghasilkan laba, agar sinema bisa tetap berproduksi dan hidup.
Selamat Hari Film Nasional 30 Maret 2016!!
Penulis:
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Traveller
@andibachtiar
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.