Soal Pencitraan, Pemasaran dan Politisasi ala Jokowi
2 November 2015Presiden Jokowi memang fenomenal. Ini sebuah atribut yang sebenarnya tanpa substansi. Karena fenomenal itu keterangan sifat. Dan sifat memang bukan kategori kebendaan. Lalu apa substansinya Jokowi? Substansinya: Jokowi adalah fenomena. Tanpa L. Satu huruf saja, cukup untuk mengubah pemaknaan dan cara pandang.
Tentu para pengamat inelektual bakal segera mengeroyok, ya, mengolok-olok pernyataan diatas sebagai pernyataan bolong. Tanpa substansi. Tidak intelektual. Permainan kata-kata belaka. Dan entah apalagi. Tapi itu hak mereka. Kita sekarang hidup di era demokrasi. Tidak intelektual, adalah sebuah hak. Sama juga dengan pilihan untuk tidak menjadi substansial.
Mengapa Jokowi menjadi fenomena?
Karena dalam sejarah modernnya, Indonesia tidak pernah punya seorang pedagang yang jadi presiden, sebelum dia. Ada jenderal, ada intelektual, ada anak pembesar, ada pimpinan tradisional. Tapi pedagang? Tak pernah muncul dalam benak para teoritisi dan pengamat politik Indonesia, apalagi kalau mereka tumbuh besar di Jawa, bahwa seorang pedagang bisa, dan layak, jadi Presiden.
Tapi, Jokowi ternyata bisa. Itu jawaban pertama atas pertanyaan pada sub judul di atas. Menyadari fakta, tidak lantas berarti: tahu mengapa. Kita bisa merekam fakta bahwa sesuatu yang dilemparkan ke atas akan jatuh ke bumi. Ribuan generasi manusia tahu fakta itu. Namun perlu seorang pemikir dan imajinator handal, untuk menyusun rumus-rumus gravitasi dan menegakkannya sebagai „kenyataan“ baru, yang harus diterima rasio manusia, karena itulah kebenaran ilmiah, sampai ada bukti-bukti baru yang bisa membantahnya.
Kesalahan para pengeritik Jokowi adalah kegagalan mereka memahami aksi-aksi dan manajemen politik ala Jokowi. Ada yang misalnya mengeritik bahwa Jokowi sedang melakukan pencitraan. Ini sama saja dengan mengeritik sebuah konstruksi mobil yang dirancang untuk bergerak. Namanya mobil, ya memang mesti bergerak. Namanya politisi, ya tentu mesti melakukan pencitraan.
Teknik pemasaran dan politisasi
Sebagai pedagang, tentu Jokowi tahu betul pentingnya pemasaran. Membuat sebuah produk nan hebat, itu satu hal. Memasarkan produknya, itu hal lain. Memasarkan sama sekali tidak berhubungan dengan proses produksi. Banyak orang bisa membuat tulisan dan teori politik. Banyak orang bisa menyusun agenda dan program politik yang runut dan mengesankan. Tapi gagal dalam „memasarkan“ gagasan-gagasan itu. Ini sama saja dengan seorang insinyur yang mampu membuat konstruksi hebat, lalu membawanya ke atas gunung, dibuatkan altar, untuk dikaguminya sendiri. Penemuan hebat dia memang substansial, bagi dirinya. Dalam konteks sosial, konstruksi hebat itu bukan apa-apa. Sebab cuma dinikmati satu individu.
Dalam hal „pemasaran“ inilah, Jokowi berbeda dengan para politisi sebelum dia. Lalu, mengapa saya tambahkan „politisasi“ setelah pemasaran? Ya, jawaban di benak Anda sudah tepat: karena kita berbicara di bidang politik, dan peran seorang Jokowi. Seorang politisi tentu perlu memahami manajemen politisasi. Jika tidak, dia tidak akan bertahan lama.
Politisasi adalah „proses mengarahkan sesuatu ke dalam wacana politik“. Tak perlu mencari definisi itu di KBBI untuk membantah atau mendebat saya. Sebab definisi ini buatan saya sendiri. Politisasi bisa dilakukan dengan segala hal. Dan seorang politisi tentu akan mencobanya. Ini soal pilihan dan opsi. Dan juga soal pemasaran itu tadi. .. (lanjut ke halaman 2)..
Ala Jokowi
Lalu apa hebatnya seorang Jokowi sehingga saya menyebutnya fenomenal? Contoh kecil yang aktual: Setya Novanto bukan anak kemarin sore di panggung politik Indonesia, apalagi Fadli Zon. Mereka berhasil memasuki dan menaiki jenjang karir sampai ke jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR.
Namun ketika memilih ajang untuk politisasi dan pemasaran, mereka gagal total. Mereka memilih ajang kampanye Donald Trump, karena berpendapat, ini akan meningkatkan citranya. Mereka membuat foto-foto yang jelek kualitasnya, dan dengan bangga menyebarkan itu ke mana-mana. Akibatnya, kita tahu sendiri.
Jokowi, si pedagang mebel, memilih dan membuat keputusan lebih baik. Dia bertemu anggota suku Anak Dalam, mengendalikan dan mengawasi kualitas foto yang dibuat, baru menyebarkannya di media (sosial). Jokowi melaksanakan pencitraan dengan strategi yang dia perhitungkan. Termasuk menghitung ongkos-ongkos politik yang harus dia bayar, dan berapa omset politik yang akan dia dapat. Selebihnya adalah hitungan sederhana setiap pedagang asongan: pemasukan harus selalu lebih besar dari pengeluaran. Lalu pada akhirnya, Anda punya apa yang disebut keuntungan, atau laba, jika saldonya plus. Atau kerugian, jika saldonya minus.
Gagal paham
Para pengeritik sering gagal memahami konsep berdagang Jokowi. Yang kiri mengeritik Jokowi pro kapitalis, yang kanan mengeritik dia tidak nasionalis. Ini sama dengan keruwetan dinas rahasia dunia memahami Bung Karno pada pertengahan 1960-an. Yang kanan bilang Bung Karno pro komunis, yang kiri bilang dia pro militer. Padahal, Bung Karno ingin berada di tengah. Nas-A-Kom bersatu, kata dia.
Para pengeritik Jokowi, dan yang saya maksud bukan para haters dan die hard anti Jokowi, jadinya sering gagal memahami perhitungan sederhana untung rugi dengan rumus pemasukan minus pengeluaran.
Mungkin, karena mereka terlalu terbiasa membaca banyak buku dengan teori-teori rumit-rumit. Padahal, setiap ilmuwan kelas begawan pasti mengakui ini: Dalam kesederhanaan, disitulah substansi segala keindahan!