Stres: Mitos dan Kebenarannya
21 Juli 2023Mencintai kehidupan kadang sangat sulit, misalnya saat kita didera stres dalam pekerjaan, keluarga, bahkan lalu lintas. Dan bagaimana caranya untuk tetap santai walaupun dunia semakin bersifat digital dan ada tuntutan bahwa orang harus selalu bisa dikontak? Orang sudah mengalami stres sejak jaman dulu. Sebaliknya berbagai keluhan mengenai stres adalah fenomena masa kini. Pada dasarnya stres adalah perusak kesehatan. Atau anggapan itu salah?
Ahli psikologi Dr. Isabella Helmreich mengatakan, stres pada dasarnya tidak buruk, dan bagian dari hidup. "Jadi yang penting adalah keseimbangan. Jadi jika seseorang dalam mengalami fase stres, agar dia bisa maju terus, dan medapat energi guna mencapai banyak hal, ia perlu fase ketenangan dan regenerasi", ujar ahli psikologi itu.
Prof. Dr. Andreas Bechdolf, dari Vivantes Klinikum Berlin juga berpendapat demikian dan menambahkan, ada stres baik, yang bisa digunakan misalnya untuk mencapai kinerja fisik yang tinggi. "Misalnya pelari seratus meter. Dia perlu stres positif ini. Dia perlu merasakan tanda bahwa dia harus mengumpulkan seluruh energi untuk bisa bekerja keras." Kalau kita tidak mendapat sinyal itu, dalam situasi darurat kita tidak bisa menghimpun kekuatan, begitu dijelaskan Prof. Dr. Andreas Bechdolf.
Pengaruh stres atas bobot tubuh
Jadi stres tidak sepenuhnya buruk. Katanya, stres bahkan juga membuat langsing. Apa bobot tubuh kita berkurang jika kita mengalami stres? Prof. Dr. Andreas Bechdolf menjawab, kalau soal langsing, ada dua sisi yang harus diperhatikan. Ada orang yang merasa sangat menderita akibat beban berat, jika sedang stres. Oleh sebab itu mereka tidak punya nafsu makan, dan menyantap lebih sedikit makanan, sehingga bobot badannya turun.
Sementara Dr. Isabella Helmreich menekankan, masalah lain dalam stres adalah, stres punya pengaruh atas sistem hormon kita. Kalau sedang stres yang dilepas tubuh adalah Cortisol. Hormon ini menyebabkan lebih banyak kalori ditimbun dalam tubuh kita, sehingga itu bisa menambah bobot tubuh.
Jadi setiap organisme bereaksi secara individual. Tentu tergantung pula, bagaimana kita merasakan stres, dan bagaimana masing-masing menanggapinya. Apa ada bedanya antara perempuan dan pria?
Penyulut dan dampak pada pria dan perempuan
Ahli psikologi Dr. Isabella Helmreich mengungkap, Perempuan juga lebih sering berbicara soal stres, dan mungkin saat mengalami stres perempuan cenderung lebih tidak bersemangat atau depresif. Sedangkan pria cenderung memberikan reaksi agresif.
Prof. Dr. Bechdolf menjelaskan perbedaan lain. Bagi pria, misalnya situasi di mana dia merasakan persaingan, adalah situasi yang menyulut stres. Sedangkan bagi perempuan, situasi interaksi sosial yang tidak menguntungkan menyebabkan stres. Misalnya, jika di dalam sebuah tim, dia merasa dikucilkan. Perempuan cenderung memberikan reaksi yang menunjukkan ia mengalami stres.
Jadi apa yang bisa dilakukan, jika di rumah kacau-balau, sementara pekerjaan menumpuk, dan stres ibaratnya menyebabkan badai di otak kita?
Mengendalikan "badai" stres
Prof. Dr. Andreas Bechdolf menekankan, "Walaupun menghadapi banyak tantangan, orang harus memperhatikan, cukup tidur dan makan yang teratur." Berkomunikasi tentang situasi yang membuat stres atau secara umum berhubungan dengan orang lain, biasanya menolong. Selain itu, yang selalu bagus adalah berolahraga. Pada dasarnya, stres berkurang jika tubuh kita beraktifitas.
Sementara Dr. Isabella Helmreich memperingatkan, yang paling penting dalam penanganan stres adalah menyadari, bahwa orang merasakan stres. "Jadi mengenal simtom stres pada diri sendiri, apakah orang mulai makan sangat banyak, atau menunjukkan kejengkelan, atau tidak bisa tidur. Jika merasakan gejalanya orang harus segera mengambil tindakan untuk mengatasinya," jelasnya,
Secara psikologis, bahkan berciuman saja akan menyebabkan stres. Karena itu memicu naiknya tekanan darah, detak jantung dan melepaskan hormon. Tapi apakah orang harus berhenti berciuman? Tergantung seberapa banyaknya, demikian juga halnya dengan stres. (ml/as)