Studi: Ada Rasisme dan Kebrutalan Polisi di Jerman
12 November 2020“Mereka menghina kami dengan mengatakan “dasar orang Lebanon yang menjijikkan, orang asing yang menjijikkan.” Kakak perempuan saya juga memberi tahu saya bahwa seorang petugas kepolisian berkata kepadanya ‘kau tidak berada di negaramu sekarang, jadi kau tidak boleh berperilaku seperti binatang’,” kata Omar Ayoub.
Pria berusia 24 tahun dari Essen itu yakin bahwa dirinya telah menjadi korban kebrutalan polisi bermotif rasial.
Ayoub mengisahkan bahwa pada suatu malam di bulan April saat bulan suci Ramadhan, ia dan keluarganya sedang berbuka puasa ketika polisi tiba-tiba membunyikan bel pintu rumah mereka. Diduga karena adanya aduan gangguan ketenangan. Polisi menuntut agar mereka diizinkan masuk ke dalam rumah untuk melakukan penggeledahan. Namun, ketika Ayoub menolak membiarkan mereka masuk dan mencoba menutup pintu, situasinya semakin memanas.
“Polisi memaksa masuk tanpa persetujuan dari saya. Seorang petugas melepaskan kacamata saya dan memerintahkan saya untuk meletakkan tangan di belakang punggung. Saya menurut. Lalu dia memukuli wajah saya,” kata Ayoub mengenang. Menurutnya, saudara perempuan dan ayahnya juga terluka oleh polisi.
Di sisi lain, Kepolisian di Essen menceritakan versi berbeda dari cerita tersebut. Mereka menuduh Omar Ayoub dan ayahnya “menyerang polisi dengan tinjunya.” Meskipun ada bukti foto dari luka yang diderita oleh Ayoub dan keluarganya, untuk membuktikan versi kejadian mereka dirasa sulit. Sekarang mereka dituduh melawan kepolisian. Sementara, Omar Ayoub juga mengajukan gugatan hukum terhadap polisi. Ia yakin polisi mengira keluarganya terlibat dalam kejahatan terorganisir hanya karena latar belakang Lebanon yang ia miliki. “Tanpa bukti sedikit pun,” kata Ayoub.
Kepolisian menolak berkomentar, mengatakan penyelidikan masih berlangsung.
Kurang bukti
Laila Abdul-Rahman, salah satu tim kriminolog dari Universitas Bochum yang telah menyelidiki kebrutalan polisi dan rasisme selama dua tahun terakhir, mengatakan bahwa kasus Ayoub adalah sebuah kasus tipikal.
Dia dan koleganya telah mewawancarai lebih dari 3.000 orang untuk penelitian mereka. Beberapa di antaranya adalah dari etnis minoritas. Sekarang, hasil studi mereka telah dipublikasikan.
Tobias Singelnstein, pemimpin studi tersebut memperingatkan bahwa memang ukuran sampel yang diambil terlalu kecil untuk hasilnya bisa diterapkan secara umum di seluruh Jerman. Meski begitu, ia yakin bahwa hal itu memunculkan kekhawatiran dan menuntut diadakannya penyelidikan yang lebih menyeluruh. Kesimpulan utama dari penelitian mereka adalah bahwa orang-orang dari etnis minoritas dirugikan secara struktural oleh polisi.
Kami sering diberitahu bahwa versi orang yang menjadi korban kerap disingkirkan begitu saja,” kata Laila Abdul-Rahman. “Pernyataan mereka umumnya diragukan, sementara pernyataan petugas polisi dan pegawai negeri mendapat kredibilitas yang lebih besar,” tambahnya.
Para peneliti mencatat bahwa warga yang bukan berasal dari etnis minoritas kerap mengalami kebrutalan polisi dalam aksi unjuk rasa atau acara massal lainnya. Namun, anggota etnis minoritas cenderung mengalami kekerasan polisi jauh dari acara-acara semacam itu.
Karena kurangnya bukti, kasus-kasus ini seringkali tidak pernah sampai ke pengadilan, kata mereka.
“Apa yang kami lihat dalam statistik resmi menunjukkan bahwa kekerasan oleh polisi hampir tidak pernah dikejar oleh jaksa penuntut negara. Dengan kata lain, lebih dari 90 persen kasus, jaksa penuntut negara mencabut tuntutan dan penyelidikan. Ini artinya korban tidak pernah mendapat hak mereka di pengadilan dan ada ‘area abu-abu’ yang sangat besar dalam statistik ini,” jelas Abdul-Rahman.
Akhirnya, salah satu konsekuensi yang kemudian muncul adalah hilangnya kepercayaan korban kebrutalan polisi pada penegakan hukum.
“Dalam hal kasus luka berat oleh aparat, diperkirakan jumlah kasus yang tidak dilaporkan sangat besar. Ini karena para korban tidak mengajukan tuntutan lantaran tidak percaya lagi pada proses hukum. Ini sangat penting untuk menjelaskan angka tersebut,” kata Abdul-Rahman.
Memulihkan kepercayaan pada polisi
Para penulis studi mengatakan bahwa pemeriksaan independen dapat membantu membuat semuanya terang benderang. Mereka menyerukan adanya mekanisme kontrol eksternal untuk memantau polisi dan juga membantu para korban kebrutalan polisi.
Di sisi lain, Michael Mertens dari Police Trade Union menegaskan bahwa tindakan eksternal semacam itu tidak ada gunanya. “Kita hidup di negara bagian yang diatur oleh aturan hukum dan sebagai petugas polisi, saya memiliki keyakinan tak terbatas pada aturan hukum,” katanya kepada DW.
“Pemeriksaan dan kontrol yang kami miliki telah bekerja dengan baik. Anda dapat mengajukan pengaduan resmi atau tuntutan, ada berbagai cara untuk membela diri dari kekerasan negara seperti penggunaan kewenangan oleh polisi. Kita harus menyerahkannya pada instrumen ini dan percaya akan efektivitas mereka,” tambahnya.
Sementara itu, Abdul-Rahman yakin bahwa ini bukanlah kasus atau insiden tunggal semata. “Ada terlalu banyak kasus. Dan ada polanya sampai pada eskalasi yang terus terjadi berulang kali,” jelasnya.
“Anda tidak mungkin secara praktis mengubah penampilan fisik, warna kulit dan ciri-ciri fisik Anda lainnya. Hal ini menyebabkan tingkat kecemasan yang tinggi bahwa hal itu akan terjadi lagi,” ujarnya.
Setelah kematian George Floyd, pria keturunan Afrika-Amerika oleh polisi AS pada Mei 2020 lalu, masalah rasisme juga mencuat di Jerman.
Timbul pertanayaan: Apakah polisi di Jerman memiliki masalah yang sama terkait rasisme struktural?
“Secara keseluruhan, saya mau mengatakan bahwa kita memang tidak selalu memiliki tingkat kebrutalan polisi yang tinggi di Jerman jika dibandingkan dengan, katakanlah, Amerika Serikat (AS). Tapi yang pasti kita memiliki masalah dalam menyelidiki kasus-kasus [kekerasan] ini,” pungkas Abdul-Rahman.
Para penulis studi itu mengaku susah payah menunjukkan bahwa hasil kerja mereka bukan berarti seluruh kepolisian Jerman adalah rasis atau bahwa polisi sengaja berperilaku rasis.
Abdul-Rahman mengatakan perilaku rasis seringkali merupakan hasil stereotip yang tertanam atau respons bawah sadar seseorang. Menurutnya, hal ini perlu diselidiki dan direfleksikan lebih lanjut.
Sementara itu, Michael Mertens dari Police Trade Union juga mengakui bahwa selalu ada ruang untuk perbaikan. “Kami sebagai polisi dan negara punya ruang untuk perbaikan sehubungan dengan isu sensitif ini. Kami harus terbuka tentang topik tersebut dan mendiskusikannya tanpa emosi,” ujarnya. Tapi tempat untuk memulainya, menurut Mertens adalah perekrutan dan pelatihan polisi.
Melina Grundmann (gtp/ha)