Studi Ungkap Dinamika Demokrasi Menurut Data Historis
16 September 2022Menghadapi pemilihan umum di Brasil awal Oktober mendatang, Presiden Jair Bolsonaro beberapa kali menekankan bahwa dia tidak akan mengakui kekalahan jika mayoritas pemilih memilih lawan politiknya. "Hanya Tuhan yang bisa menyingkirkan saya dari kursi kepresidenan," tegasnya dalam acara-acara rapat umum politik yang digelar selama dua tahun terakhir.
Di seluruh dunia, kelihatannya kecenderungan otokratisme muncul lagi di negara-negara yang sudah menerapkan sistem demokrasi. Jika penguasa di sebuah negara demokrasi memutuskan untuk memotong hak-hak warga, jalan untuk kembali memulihkan demokrasiakan panjang dan sulit.
Brasil adalah salah satu dari 12 negara di mana sistem demokrasi menunjukkan kecenderungan otokrasi, menurut data yang diterbitkan oleh Varieties of Democracy (V-Dem), sebuah lembaga penelitian independen yang berbasis di University of Gothenburg. Selain Brasil, 11 negara lain yang diidentifikasi cenderung kembali berbalik menuju otokrasi adalah Polandia, Niger, Indonesia, Botswana, Guatemala, Tunisia, Kroasia, Republik Ceko, Guyana, Mauritius, dan Slovenia.
Lalu ada 17 negara yang menurut V-Dem sudah meninggalkan demokrasi dan menggantikannya dengan otokrasi, termasuk Turki, Filipina, dan Hungaria. Ketika penguasa berhasil membangun rezim otokratis, maka ia cenderung memperketat cengkeramannya untuk mempertahankan kekuasaan dan membatasi kebebasan sipil, contohnya seperti perkembangan di Rusia dan Venezuela.
Walaupun begitu, jika dilihat perkembangan 100 tahun terakhir, sekarang ada jauh lebih banyak negara yang dapat disebut demokratis. Sejak awal 2000-an mulai kelihatan munculnya pemimpin-pemimpin populis yang berusaha membungkam demokrasi.
Demokrasi diterapkan dalam berbagai bentuk
Banyak yang memandang demokrasi sebagai sesuatu yang biner. Suatu negara bisa demokratis atau tidak demokratis. Pada kenyataannya, gambarannya lebih bernuansa. Peneliti V-Dem mengklasifikasikan negara dalam empat kategori besar: otokrasi tertutup seperti di Cina dan Qatar, di mana tidak ada pemilu dan sistem multipartai untuk menetapkan kepala pemerintahan maupun anggota parlemen atau wakil rakyat. Lalu ada negara-negara otokrasi elektoral seperti Turki dan Venezuela, di mana ada pemilu, tetapi tidak berlangsung secara bebas dan adil.
Lalu ada negara dengan sistem demokrasi elektoral seperti Brasil dan Afrika Selatan. Ada pemilu yang bebas dan adil, tetapi ada kesenjangan sosial yang besar dan kelompok minoritas tidak memiliki hak politik yang efektif. Kategori keempat adalah sistem demokrasi liberal, seperti di Jerman dan Swedia, di mana ada pemilihan umum yang bebas, ada jaminan hak bagi kelompok minoritas, dan fungsi "checks and balances" antara institusi-institusi politik.
Sebanyak 179 negara yang diklasifikasikan oleh V-Dem hampir terbagi rata antara otokrasi elektoral atau tertutup dan demokrasi liberal atau elektoral. Ada 34 negara yang masuk kategori demokrasi liberal, 55 negara termasuk kategori demokrasi elektoral, 60 negara masuk ketegori otokrasi elektoral, dan 30 negara termasuk otokrasi tertutup. Sementara beberapa negara yang diakui oleh PBB, seperti Vatikan atau San Marino, tidak memiliki data yang tersedia.
Masalah kategorisasi
Kategorisasi ini ini dapat menyembunyikan beberapa detail penting, kata Bastian Herre, seorang peneliti di organisasi nirlaba Our World in Data, yang meneliti hubungan antara ideologi pemerintahan dan demokrasi saat bekerja untuk meraih gelar PhD dalam ilmu politik di University of Chicago.
"Dengan (kategorisasi) itu, kita bisa tahu bahwa Korea Utara dan Iran bukan negara demokrasi, sedangkan Cile dan Norwegia iya," katanya. Namun, dia menambahkan kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh Iran bisa dikatakan lebih demokratis dibandingkan Korea Utara, atau seberapa kurang demokratisnya Cile dibandingkan Norwegia. "Jika kita ingin memiliki sistem peringatan dini, ini bukan tindakan yang tepat," kata Bastian Herre.
Di situlah pentingnya Indeks Demokrasi Liberal, LDI. Indeks ini berkisar dari 0 hingga 1. Semakin tinggi nilainya, semakin dekat negara itu dengan cita-cita demokrasi liberal. LDI juga memungkinkan peneliti untuk melihat bagaimana kondisi demokrasi di suatu negara berubah setiap tahun. Ini penting, karena demokrasi biasanya tidak hancur dalam semalam.
Krisis bisa mengubah demokrasi menuju otokrasi
Perubahan paling tajam menuju otokrasi sering kali bertepatan dengan pemilihan pemimpin yang tidak berpandangan liberal seperti Bolsonaro di Brasil, Andrzej Duda di Polandia, Viktor Orban di Hungaria, Recep Tayyip Erdogan di Turki, dan Narendra Modi di India. Para pemimpin ini lalu berusaha menghancurkan lawan-lawan atau pesaing politiknya.
"Agar para pemimpin ini bisa berkuasa, mereka memerlukan elemen lain, seperti krisis partai tradisional," kata Fernando Bizzarro, peneliti Brasil di Universitas Harvard. "Polarisasi menciptakan perasaan bahwa ketika Anda sangat membenci lawan Anda, apa pun akan dilakukan untuk menyingkirkan mereka, termasuk dengan menghancurkan demokrasi."
V-Dem telah mencatat 81 periode kemerosotan demokrasi di berbagai negara sejak tahun 1900, 50 di antaranya terjadi sejak tahun 2000. Pada sekitar 75% kasus, situasi krisis yang mengakibatkan transisi penuh menuju otokrasi.
"Aktor yang mempromosikan otokratisasi biasanya adalah kepala pemerintahan dan mereka memiliki mayoritas parlemen yang besar," kata Sebastian Hellmeier, salah satu peneliti yang meneliti episode dan proses kemunduran demokrasi. "Pada akhirnya, itu adalah semacam kematian (demokrasi) dengan sejuta luka, dengan banyak perubahan kecil yang sulit dihentikan, sampai akhirnya semua terlambat," tambahnya.
(hp/ha)