1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suara Perempuan Bangladesh Tambah Lantang

14 April 2008

Menurut Bank Dunia, kaum perempuan Bangladesh masih mengalami diskriminasi. Tetapi mereka sekarang lebih percaya diri dibanding 30 tahun lalu.

https://p.dw.com/p/DhV9
Foto: AP

Kesimpulan Bank Dunia itu dibuatberdasarkan studi yang belum lama ini dipublikasikan, dengan judul "Whispers to Voices: Gender and Social Transformation in Bangladesh" - 'bisikan berubah menjadi suara: transformasi gender dan sosial di Bangladesh'. Program keluarga berencana, pendidikan dan semakin terbukanya pasaran kerja bagi kaum perempuan telah meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat di negara itu.

Kekurangan yang misalnya masih dirasakan adalah pelayanan di bidang kesehatan, pembayaran yang adil dan masih kurangnya tempat bagi kaum perempuan dalam kehidupan umum. Hanya pelan-pelan dirasakan adanya perubahan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Bangladesh tergolong salah satu negara termiskin di dunia. Tetapi walaupun pendapatan per kapita di negara itu masih tergolong rendah, apa yang dicapai di sektor kesehatan dan pendidikan bagi kaum perempuan masih jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di Asia Selatan. Demikian dikemukakan Maitreyi Bordia Das, penyusun laporan Bank Dunia mengenai perempuan dan transformasi sosial di Bangladesh:

"Kalau dilihat situasi standar di Asia Selatan 10 tahun yang lalu, dimana anak perempuan tertinggal jauh di belakang anak laki-laki, maka sekarang di sekolah menengah anak perempuan berhasil mengejar ketinggalannya. Kematian di kalangan anak-anak berkurang, sehingga dapat dikatakan kematian anak perempuan maupun anak laki-laki sama banyaknya. Ini mungkin merupakan perubahan terbesar yang terjadi di Bangladesh."

Dalam 30 tahun terakhir program keluarga berencana di Bangladesh berhasil mengurangi jumlah kelahiran sampai separuhnya. Bersamaan dengan itu peluang bagi anak perempuan pun ditingkatkan. Tetapi bukan berarti sudah tidak ada masalah lagi. Masih banyak yang harus ditanggulangi, demikian dikemukakan pakar ilmu sosial dari Bank Dunia, Maitreyi Bordia Das:

"Kematian di kalangan ibu masih tetap merupakan tantangan besar. Pelayanan kesehatan bagi perempuan masih tetap merupakan masalah utama. Begitu pula soal kekurangan gizi. Jadi, memang ada keberhasilan besar, tetapi tetap banyak yang masih harus diraih."

Bank Dunia memberikan nilai positif, bahwa dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, jumlah perempuan yang bekerja telah bertambah dua kali lipat. Terutama di sektor industri tekstil, sejak tahun 90-an pekerjanya hampir semua perempuan. Tetapi sisinya yang terselubung juga disadari. Menurut statistik hanya sekitar 26 persen perempuan yang bekerja. Dan pendapatan mereka jauh lebih sedikit dari rekan-rekan pria mereka. Selain itu kaum perempuan harus bekerja dalam kondisi yang sangat menyedihkan.

Kaum perempuan di Bangladesh terutama mendapat keuntungan dari mikrokredit. Bantuan keuangan yang khusus dirancang bagi perempuan dapat dikatakan sangat sukses di Bangladesh, karena hanya di negara itu bantuan diberikan secara merata. Ini dikemukakan oleh Petra Dannecker, ahli sosiologi di Yayasan Politik Pembangunan Jerman - Deutsche Institut für Entwicklungspolitik. Walaupun demikian dalam hal ini tetap harus dilakukan pengamatan yang jeli. Menurutnya:

"Program kredit itu memang pastilah punya dampak positif, tetapi kadang-kadang juga kontroversial. Misalnya bila seseorang terus mengambil kredit baru, bahwa kredit itu tidak digunakan secara produktif, atau bahwa kredit itu diberikan kepada suami mereka. Ada studi yang menunjukkan, bahwa program mikrokredit harus diamati secara berbeda-beda, agar dapat mengambil kesimpulan menyeluruh. Misalnya apakah itu mengubah struktur hubungan antara pria dan perempuan, atau sejauh mana itu positif bagi perempuan dan situasi mereka dalam masyarakat setempat atau dalam keluarga."

Menurut laporan Bank Dunia tsb program bantuan bagi perempuan telah mengubah hubungan antara pria dan perempuan. Di pasaran kerja sementara ini sudah terdapat persaingan antara laki-laki dan perempuan. Dan di sekolah situasinya bahkan jadi bertolak belakang. Kata Maitreyi Bordia Das, sekarang mereka malah menghadapi fenomena baru, yaitu anak laki-laki yang ketinggalan.

Pemusatan program pembangunan pada perempuan telah mengakibatkan terjadinya serangan terhadap sekolah-sekolah di pedesaan yang memberikan pendidikan bagi perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terus bertambah. Menurut Petra Dannecker, yang menguasai seluk-beluk Bangladesh, peranan pria sebagai pencari nafkah bagi keluarga, semakin dipertanyakan. Dia menyimpulkan:

"Mungkin itu adalah satu alasan mengapa justru di daerah pedesaan terdapat dukungan bagi organisasi-organisasi Islam, yang bersikeras agar kebudayaan lokal dipertahankan. Yakni ketentuan apa yang menjadi bidang pria dan bidang perempuan. Itu mungkin dapat merupakan keterangan mengapa organisasi-organisasi Islam di Bangladesh dalam tahun-tahun terakhir sangat sukses. Yaitu karena kebangkitan perempuan dan semakin mudahnya perempuan bergerak ingin mereka batasi lewat politik yang dijalankan."

Oleh sebab itu laporan Bank Dunia menarik kesimpulan, bahwa sangatlah penting untuk tidak hanya memusatkan perhatian pada bantuan bagi kaum perempuan. Karena yang penting adalah konstelasi hubungan antara pria dan perempuan dan keterbukaan untuk berpaling dari pembagian peran yang ditetapkan selama ini. Untuk selanjutnya harus dibahas pula soal, bagaimana mengikut-sertakan kaum pria dalam proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. (dgl)