Anda yang masih melajang tentu sudah hapal dengan pertanyaan menjengkelkan ini. Paman atau bibi Anda atau kerabat lain kadang menanyakannya dalam hajatan keluarga. Bisa juga, yang menanyakannya ialah tetangga yang bertamu ke rumah keluarga Anda.
Yang pasti, Anda akan merasa telanjang ketika pertanyaan itu tercetus.
"Kamu sudah menikah belum?”
Tak jarang, yang menanyakannya adalah teman mengobrol acak, entah yang sudah Anda kenal maupun belum. Seperti yang saya alami dalam bus perjalanan kembali ke Jakarta dari Yogyakarta, penumpang di sebelah saya mengaturkannya. Penumpang laki-laki itu awalnya menceritakan pekerjaannya sebagai pengusaha tabung gas. Lantas, pertanyaan itu mencuat.
"Mas sudah menikah atau belum?”
Setelah saya menjawabnya, ia menasehati saya untuk segera menikah. Menikah, katanya, membukakan pintu rezeki. Ia mencontohkan dengan dirinya. Ia memperoleh kesuksesan setelah ia menikah, meski belakangan ia juga membuat saya mempertanyakan keyakinannya dengan menceritakan usaha gasnya adalah usaha mertuanya.
Jawab dengan senyum, cukup?
Dihadapkan dengan pertanyaan menjengkelkan tersebut, saya biasanya merespons dengan tersenyum dan basa-basi secukupnya. Seperti kata orang, jawaban positif seadanya didampingi senyuman ialah jalan pintas mengakhiri pembicaraan tak perlu. Namun, sebagaimana perasaan mereka yang dijejali pertanyaan ini, saya tetap saja terganggu. Bahkan, untuk lelaki rekan mengobrol saya di bus antarprovinsi yang tak sadar pintu rezekinya dibukakan oleh sang mertua, saya ingin menjorokinya ke selokan.
Pertanyaan ini pasalnya diajukan dengan gesture siap menghakimi mereka yang menjawab tidak. Mereka yang masih melajang akan didorong untuk cepat menikah, tak peduli pertimbangan insan bersangkutan belum menikah. Mereka akan diwanti-wanti seakan mereka manusia yang belum utuh. Wanita bahkan bakal disudutkan dengan lebih hina—dilecehkan bahwa sekolah atau pekerjaannya yang sudah susah-susah mereka jalani sama sekali tidak penting.
Tak jarang, pertanyaan-pertanyaan ini disusul dengan nasihat-nasihat yang seolah paling benar di dunia. Siapa yang mengurus Anda di masa tua bila Anda tidak punya pasangan dan anak? Apa tidak capai hidup dan mengurus semuanya sendirian?
Dan saya punya semua jawaban masuk akal untuk pertimbangan-pertimbangan tersebut
Anak akan mengurus saya di hari tua? Bila semua uang yang bakal dihabiskan untuk mengurus anak hingga kuliah dijumlahkan, saya akan mempunyai cukup uang untuk didepositokan dan hidup layak di hari tua. Saya akan merasa sendirian? Hidup akan jauh lebih menyiksa, saya yakin, dengan ikatan keluarga yang tidak diinginkan.
Namun, memang, pertanyaan sudah menikah atau belum ialah topik basa-basi yang paling mudah tercetus. Seseorang tak perlu mengerti seperti apa pekerjaan rekan mengobrolnya, apa kesibukannya, apa hal yang menjadi minat dan gairahnya. Dengan pertanyaan perihal pernikahan, ruang mengobrol panjang bakal langsung terbuka.
Pertanyaan pertama yang acap saya dapatkan ketika saya melakukan penelitian di Seram adalah pertanyaan mengusik ini. Dan saya mengerti bila pertanyaan ini dikatakan sebagai pembuka obrolan yang mudah. Warga kampung lokasi penelitian nampaknya merasa pertanyaan tentang pekerjaan dan kehidupan saya terlalu rumit karena latar belakang yang berbeda, terlebih bila saya semata berjumpa sekelebat dengan mereka.
"Jadi, Mas ini sudah menikah atau belum?”
"Oh, belum,” jawab saya sambil tersenyum. "Belum ada yang mau dengan saya.”
"Lho, Mas itu ganteng. Kenapa belum menikah?”
Obrolan semacam ini dapat ditanyakan di mana pun selama Anda di Indonesia. Dan Anda tahu betapa canggungnya situasi berhadap-hadapan dengan orang tanpa mengobrol di negeri ini. Saya tak suka mengobrol. Akan tetapi, saat dihadapkan dengan orang-orang Jerman yang tak gemar basa-basi, saya pun menyadari bahwa saya adalah orang Indonesia. Saya butuh obrolan remeh.
Kita butuh terkoneksi dengan orang lain, tapi....
Pertanyaan tentang bagaimana cuaca hari ini membantu orang Inggris melakukannya. Orang Jerman dengan gerutu tentang kereta yang datang terlambat. Dan kita dengan pertanyaan perihal pernikahan.
Hanya saja, meski saya dapat menghargai tujuan dari pertanyaan tersebut, saya tak akan pernah menghargai sikap menggurui dan mengobok-obok kehidupan pribadi yang biasa membuntutinya. Dan lebih menyebalkan lagi tentu ketika status pernikahan dihubung-hubungkan dengan kesuksesan hidup.
Betapapun tidak sukanya saya dengan Prabowo, saya tidak suka kala inkompetensinya diukur dengan pernikahannya. Banyak cara untuk menakar ketidakpatutan Prabowo menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia. Akan tetapi, menakarnya dari hubungan pribadinya hanya akan menambah standar penilaian pejabat publik yang absurd.
Saya, toh, tak mau bila suatu hari saya mencalonkan diri sebagai wali kota Depok, pertanyaan paling menentukan adalah status pernikahan, bukan bagaimana membereskan tatakota yang amburadul dan kemacetan yang mencekik. Bagaimana saya menjawabnya bila saya sudah siap dengan rancangan kota yang lebih baik tapi kebetulan belum menikah?
Sejujurnya, saya tak terpikir untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Namun, Anda tentu mengerti betapa problematisnya apa yang saya gambarkan di atas.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.