Sukses Jadi Atlet Anggar dan Kuliah di Jerman
1 November 2022Ariani Syafitri Rahadian lahir di Padang, Sumatera Barat. Sejak kecil sudah ingin tahu bagaimana rasanya jika tinggal di negara lain, bertemu dengan orang-orang yang berbeda, dan berada di lingkungan yang berbeda.
Ketika di SMA, Ariani, yang panggilan akrabnya Arin, membaca informasi bahwa untuk berkuliah di Jerman tidak dipungut bayaran. Selain itu, ketika dia masih SMA, jurusan bioteknologi molekuler belum banyak ditawarkan di Indonesia. Akhirnya, dia menyampaikan keinginannya kepada orang tua. “Awalnya ga boleh,“ kata Arin sambil tertawa.
Namun, akhirnya orang tuanya setuju, sehingga tahun 2012 dia bertolak ke Jerman. Awalnya belajar bahasa Jerman, kemudian pendidikan di Studienkolleg selama setahun, di mana dia belajar serangkaian kursus persiapan untuk berkuliah di universitas Jerman. Kemudian dia mulai berkuliah di Universitas Heidelberg.
Ketika diwawancara, Arin sedang beristirahat dari pekerjaannya di laboratorium Institut Zentrum für Molekulare Biologie der Universität Heidelberg (ZMBH), tempat dia melaksanakan studinya di bidang bioteknologi molekuler untuk mendapat gelar master. Sekarang Ariani sedang menulis tesis. Gelar S1 juga dia peroleh di Jerman, juga di Universitas Heidelberg dan dalam jurusan yang sama.
Dia bercerita dulu datang ke Jerman memang untuk berkuliah. Sejak SMA, dia memang sudah punya keinginan untuk menjadi ilmuwan. Sekarang, setelah bermukim beberapa tahun di Jerman, keinginan itu juga belum berubah. “Soalnya masih penasaran sih,“ kata Arin tentang rasa ingin tahunya di bidang yang sedang ia geluti sekarang.
“Kalau biologi kan luas, tapi kalau bioteknologi molekuler, yang diteliti lebih kecil lagi daripada sel,“ papar Arin. Dia mengambil contoh tes PCR untuk COVID-19. Teknologi yang digunakan untuk tes tersebut adalah teknologi molekuler.
Jadi dia berencana untuk melanjutkan ke S3, tetapi jika peluang itu tidak langsung diperoleh, dia akan mencoba mencari pekerjaan pula. Dia mengungkap, jika mendapat pekerjaan di bidang industri, dengan gelar master orang juga bisa mendapat pekerjaan. Misalnya di perusahaan farmasi atau perusahaan diagnostik.
“Tetapi untuk bekerja di Jerman, memang sebaiknya sampai S3 sih,“ begitu dijelaskan Arin. Dia menambahkan, kalau punya gelar S3 dan ingin bekerja di bidang akademis, nantinya akan mengajar. Tetapi jika ingin beralih ke industri, misalnya bisa menjadi kepala proyek. “Bisa ke mana-mana sih sebenarnya.“
Arin bercerita, untuk tesisnya, dia sedang melakukan riset untuk menjawab pertanyaan mendasar. “Jadi bagaimana sih sel itu membelah? Apa komponen-komponennya? Kemudian bagaimana strukturnya?“ Struktur molekulernya bisa diamati dengan menggunakan bantuan mikroskop elektron, lalu kemudian fungsi dan struktur bisa dibandingkan pada beragam organisme, ya salah satunya manusia. “Dan dibandingkan, apa yang menyebabkan berbeda, dan mengapa berbeda. Juga apa persamaannya? Dari fungsinya atau strukturnya?“
Mendapat pekerjaan di tengah pandemi
Arin mengungkapkan ketika pandemi COVID-19 baru merebak, dia kebetulan baru mulai mencari pekerjaan sampingan untuk mendukung studinya dari segi finansial. “Susah kan waktu itu, karena semuanya pada tutup.“ Arin mengatakan, dulu dia pernah bekerja di cafe milik kampusnya, tetapi akibat pandemi, cafe itu terpaksa tutup, sehingga dia harus mencari pekerjaan lain. Kebetulan dia bisa mendapat pekerjaan di sebuah labor diagnostik yang mengerjakan PCR untuk sampel COVID-19.
Dia bercerita, setiap gelombang pandemi COVID-19 melanda Jerman, jumlah sampel akan selalu naik dengan drastis. Lalu kurvanya akan melandai seiring dengan datangnya musim panas.
Karena dia bekerja part time, saat masa kuliah dia hanya bekerja 20 jam seminggu. Namun, saat masa libur, dia boleh bekerja penuh 40 jam seminggu, seperti di tahun 2020. Selain mendapat pekerjaan di bidang yang cocok dengan kuliahnya, Arin melihat keuntungan lain dalam bekerja mengecek sampel COVID-19, yaitu dia bisa melihat bagaimana laboratorium diagnostik berfungsi dan juga mendapatkan informasi terbaru tentang pandemi yang tengah berlangsung.
Arin menjelaskan jika bekerja di laboratorium milik universitas, pekerjaan cenderung manual, karena sampel untuk diteliti tidak banyak. Sedangkan sampel COVID-19 yang harus diperiksa bisa banyak. “Kalau lagi rame, sampel yang datang bisa 10.000 per hari,“ tuturnya.
Dia dulu berpikir semua sampel harus diperiksa dengan cara manual. Dia juga membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu. Namun, ternyata yang ia bayangkan salah. Pemeriksaan menggunakan teknologi robot yang mempermudah pekerjaan dan juga menggunakan kit komersil yang sudah dioptimasi sehingga mempersingkat waktu. Jadi ini merupakan pengalaman sangat berharga untuk melihat bagaimana laboratorium diagnostik komersil berfungsi.
Bekerja di labor yang menangani diagnosa PCR untuk keperluan tes COVID-19 membuat Arin bisa belajar untuk menangani stress dengan baik karena sampel yang masuk sangat banyak dan sifatnya darurat.
Karena sifatnya yang darurat, pekerjaan di labor diagnostik memerlukan sinkronisasi kinerja dari banyak pihak. Pihak yang mengirimkan sampel, kurir yang mengantarkan sampel, bagian awal yang memproses sampel, hingga kemudian sampelnya dianalisa, dan hasil diberitahukan pada pasien. Ada kalanya sampel yang masuk bersifat sangat urgent menyangkut pasien yang sedang berada di ICU misalnya, lalu pihak rumah sakit menelpon meminta agar pemeriksaannya dipercepat dan hasilnya segera diberitahu.
Mulai menggeluti olahraga anggar
Sejak masih di Indonesia, Arin sudah penasaran dengan olahraga anggar, antara lain karena tidak populer di Indonesia. Selain itu, dia merasa baju dan perangkat yang digunakan menarik. “Nah di kampus kebetulan ada, termasuk dalam ‘Unisport‘ [ekstra kurikuler olahraga yang ditawarkan di universitas]“ kata Arin.
Jadi dia mulai mencoba-coba, dan ternyata seru, kata Arin. Dia sempat pula jadi sukarelawan dalam kejuaraan dunia anggar tahun 2017 dan ikut mengurus di bagian tiket. Saat itulah dia bertemu dengan atlet dari Indonesia. Tepatnya ketika dia diminta untuk membantu karena atlet Indonesia itu menghadapi kesulitan unuk berbicara dalam bahasa Inggris.
Pengalaman menjadi sukarelawan dan bertemu atlet itulah yang mendorong Arin untuk memperdalam olahraga anggar. Setelah kembali ke Heidelberg, dia mencari klub anggar di kota itu, dan dengan serius memperdalam olahraga anggar. Selain karena memang didorong niat yang lebih besar, ketika itu Arin juga hampir menyelesaikan kuliah di tahap S1, mulai menulis skripsi.
Jadi dia khawatir, interaksi dengan teman-teman Jerman akan semakin berkurang, dan bahasa Jerman semakin tidak digunakan, karena skripsi yang dia tulis menggunakan bahasa Inggris, demikian pula pekerjaan di laboratorium. Di samping itu, dia ingin melakukan sesuatu untuk pengembangan diri. Lewat olahraga anggar, Arin juga mendapat kenalan baru, mencoba hal baru yang sebelumnya sama sekali tidak terpikir untuk dicoba.
Dia bercerita, ketika di SMA dia sudah mulai giat berolahraga. Ketika itu, yang digeluti adalah cabang olahraga bulu tangkis. “Tadinya mengantar adik. Tapi akhirnya dia males, eh, saya yang nyangkut,“ tutur Arin sambil tertawa. Tapi di Jerman, bulu tangkis bukan olahraga yang populer. Jadi dia merasa, ikut bermain bulu tangkis hanya seperti “main-main doang.“ Tidak ada perkembangannya.
Kebetulan, klub anggar Heidelberg termasuk bagus. Mereka memiliki beberapa pelatih yang bagus pula. “Jadi saya merasa ada perkembangannya. Masih ada sesuatu yang bisa dipelajari,“ begitu dijelaskan Arin.
Ketika latihan, gerakan tangannya akan berbeda dari teman-teman yang menggunakan tangan kanan. Jadi Arin bertanya ekstra pada pelatih bagaimana gerakan yang sama dilakukan untuk tangan kiri atau berusaha menyesuaikan sendiri. Dalam pertandingan Arin mengaku kalau dia juga kadang suka bingung menghadapi pemain lain yang juga kidal sepertinya, karena jarang menemuinya ketika latihan. Padahal anggar termasuk salah satu olahraga yang populasi pemain kidalnya cukup banyak. Peralatan anggar seperti sarung tangan, senjata, baju, dan celana bahkan dibedakan antara pemain yang kanan dan kidal.
Dulu waktu kecil, Arin mengaku kerap diejek teman sekolah, bahkan dimarahi guru karena kidal. Tapi orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan bahwa dia kidal. Ketika mulai bermain bulu tangkis, bahkan pelatihnya merasa senangbisa melatih pemain yang kidal. “Beliau yang bikin saya sadar, kalau jadi kidal itu bukan kekurangan, tapi bisa dipakai jadi kelebihan.“ Jadi sekarang Arin tidak merasa sedih karena berbeda dengan orang lain, malah merasa makin bersyukur.
Dia menceritakan juga, sekarang dia sering ikut kejuaraan anggar. Misalnya, bagian terakhir dari Sirkuit Nasional Jerman yang diselenggarakan pada tanggal 23-24 April lalu di Leipzig, Jerman. Arin menjelaskan, dulu dia haya ikut kejuaraan antar universitas, karena kurang percaya diri untuk ikut kejuaraan yang memang ditujukan bagi atlet anggar yang bermain aktif. Namun, setelah mendapat dorongan dari teman-teman latihan dan pelatihnya, akhirnya dia berani.
Tidak hanya mencoba ikut sirkuit nasional Jerman saja, ketika ikut student exchange ke Korea Selatan, Arin juga sempat mengikuti kejuaraan nasional antar Klub di Korea dan mendapat medali. Lalu, juga sempat menjadi perwakilan Sumatra Barat pada pra-PON tahun 2019 lalu. “Jadinya ke mana-mana, juga kenal banyak orang,“ tutur Arin. Dia bercerita, atlet-atlet lain juga mendorongnya untuk mencoba ikut berbagai turnamen internasional dan berusaha untuk mendapat lisensi. Untuk ikut turnamen anggar di Jerman, dia butuh lisensi dari Federasi Anggar Jerman. Teman-temannya juga mendukung Arin untuk mendapatkan lisensi FIE (Federasi Anggar Internasional) agar juga bisa bertanding mengikuti turnamen internasional.
Menanggapi tantangan hidup di Jerman
Dari segi bahasa, Arin tidak menghadapi tantangan besar. Dia mengatakan, kuliah untuk mendapat gelar S1 sepenuhnya dalam bahasa Jerman. Sekarang, di jenjang S2, ada mata kuliah yang menggunakan bahasa Inggris. Namun, bahasa Jerman tetap dominan.
Setelah tinggal selama 10 tahun di Jerman, Arin tidak merasa menemukan kesulitan besar untuk berasimilasi dalam masyarakat Jerman. Tetapi, ke kota manapun dia pergi, dia selalu berusaha mencari orang Indonesia. Karena biar bagaimanapun, dia merasa dengan orang Indonesia dia lebih bisa berkomunikasi dan saling mengerti, antara lain juga karena faktor bahasa.
Dalam hal kuliah, saat ini tantangan yang dihadapi Arin adalah masalah riset untuk tesisnya. Yaitu misalnya, eksperimen gagal, atau tidak sesuai perkiraan. “Jadi harus mikir lagi, kan. Kenapa nih, apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan?“ Tapi, menurut Arin, oleh karena itu dia jadi belajar. Jika menghadapi kesulitan yang sama berikutnya, dia tahu apa yang harus dikerjakan.
Ketika harus melamar untuk magang Arin merasa khawatir, karena merasa belum mengerjakan apa-apa dan belum bisa apa-apa. Tetapi karena memang harus magang jika ingin menyelesaikan kuliah S1, dia tetap berusaha. Dia mengaku tidak tahu harus menulis apa saat akan melamar. “Soalnya kita kan ga pernah diajarin untuk mengatakan, ‘aku tuh bisa ini dan ini.‘ Kita lebih sering diajarkan untuk lebih merendah, gitu.“ Padahal sesungguhnya, jika bisa mengatakan apa saja kemampuan kita, itu juga membantu saat mencari tempat magang.
Dia bercerita, orang Jerman terbuka, jika dia mengatakan dia belum mengerti sesuatu. Sedangkan di Indonesia, menurut Arin, orang kadang mengatakan sudah mengerti, padahal belum, sehingga akhirnya tidak berani bertanya. “Kita sepertinya tidak terbiasa untuk mengatakan, ‘saya tidak mengerti atau saya tidak tahu‘. Kayaknya takut sekali bilang begitu.“ Di Jerman, jika orang tidak mengatakan belum mengerti, maka dianggap sudah mengerti. Jika mengatakan belum mengerti, mereka bersedia mengajarkan lagi, dan senang jika kita akhirnya mengerti.
Saran Arin untuk mereka yang ingin berkuliah di Jerman: harus berani mencoba. Kalau berani mencoba, pasti ada saja jalannya. (ml)