Sulitnya Hidup Pekerja Perempuan di Sektor Ekonomi Gig India
25 Mei 2023Beberapa tahun lalu, Manisha Singh (29) memutuskan bergabung ke sebuah platform digital di Bengaluru untuk mencari penghasilan tambahan. Ia senang karena platform yang menawarkan "layanan berbasis rumahan” itu menjanjikan jam kerja yang fleksibel bagi anggotanya.
Namun, kebahagiannya hanya bertahan sesaat.
"Satu hari, aplikasi di ponsel saya diblokir,” katanya kepada DW. "Saya tidak bisa mengakses, perusahaan bilang karena saya membatalkan pesanan dari klien.”
Singh mengaku sama sekali tidak melakukan pembatalan. "Ada malfungsi, tapi saya masih berupaya banding ke perusahaan. Yang bisa saya lakukan sekarang hanya menunggu,” jelasnya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Priya Seth (32) yang bekerja sebagai pengantar makanan di New Delhi. Ia memutuskan bergabung dengan harapan jam kerja yang fleksibel akan memberinya cukup waktu bersama kedua anaknya.
Awalnya semua berjalan baik hingga bulan lalu, layanan pengiriman tempatnya bekerja mengubah cara mereka membayar karyawan. Tanpa peringatan, upah Seth dipotong dari 25 rupee (Rp4.500) menjadi 15 rupee (Rp2.700) untuk setiap pesanan. Perusahaan juga mencabut insentif untuk jam sibuk.
"Upah direvisi tanpa pemberitahuan dan meskipun kami memprotes, tidak ada perubahan yang terjadi. Banyak dari kami akhirnya terpaksa bergabung ke perusahaan kompetitor,” kata Seth kepada DW.
Jutaan warga India bekerja di sektor ekonomi gig
Ekonomi gig memang memungkinkan pekerja untuk bergabung dengan platform global seperti Uber dan platform dalam negeri seperti Urban Company dan Zomato, guna menemukan pekerjaan online yang fleksibel.
Menurut NITI Aayog, sebuah wadah pemikir kebijakan publik di India, ada sekitar 7,7 juta orang yang saat ini bekerja di sektor ekonomi gig India, terbanyak kedua setelah Amerika Serikat. Namun, angka ini diperkirakan melonjak menjadi 23,5 juta pada akhir dekade ini.
Tidak sampai disitu, sebuah laporan oleh perusahaan konsultan BCG baru-baru ini juga memperkirakan bahwa jumlah tenaga kerja ekonomi gig India di sektor nonpertanian akan membengkak menjadi 90 juta dalam jangka panjang.
Meskipun saat ini tidak ada data berskala besar yang tersedia, diperkirakan 20-30% dari kontraktor independen, konsultan, dan pekerja dalam ekonomi gig itu adalah perempuan. Dan bagi perempuan seperti Manisha dan Priya, ekonomi gig kerap membawa risiko, mulai dari prasangka negatif, ketidakamanan pekerjaan, dan perubahan sewenang-wenang dari majikan.
Terbukti dalam studi mendalam bertajuk "Pekerja Perempuan dalam Ekonomi Gig India” oleh Institute of Social Studies Trust, menemukan bahwa karyawan perempuan seringkali menghasilkan lebih sedikit uang, menghadapi kondisi kerja yang lebih buruk, dan mendapatkan kontrak yang kurang menguntungkan dibanding karyawan laki-laki.
Studi itu memeriksa empat sektor pekerjaan di New Delhi, Bengaluru, dan Mumbai. Mulai dari sektor pekerjaan rumah tangga, sektor kecantikan, pengemudi taksi, hingga pengantaran makanan.
"Selain karena ketidakmampuan mereka untuk memahami permainan algoritma, sebagian besar perempuan kesulitan mendapatkan upah lebih banyak dari model bisnis insentif itu karena tanggung jawab perawatan, norma gender, dan masalah keselamatan dan keamanan,” kata studi tersebut.
Disimpulkan juga bahwa serikat pekerja kesulitan memobilisasi pekerja perempuan. Dan tidak ada serikat pekerja yang dipimpin atau dibentuk sendiri oleh pekerja perempuan, bahkan di sektor pekerjaan rumah tangga dan kecantikan sekalipun.
Aktivis desak perubahan hukum
Untuk itu, Profesor Lekha Chakraborty dari National Institute of Public Finance and Policy, menyerukan lebih banyak peraturan untuk membantu perempuan mengatasi tantangan ekonomi gig. Menurutnya, kebijakan infrastruktur harus mempertimbangkan kepentingan pekerja ekonomi gig.
"Work life balance perlu ditekankan saat merumuskan mekanisme akuntabilitas dalam ekonomi gig. Hukum juga harus diberlakukan untuk mengatasi kesenjangan upah akibat gender,” kata Chakraborty kepada DW.
Aktivis hak-hak perempuan Kavita Krishnan juga mengemukakan hal senada.
"Perubahan harus dimulai dengan menempatkan pekerja ekonomi gig dan pekerja informal lainnya di bawah perlindungan undang-undang ketenagakerjaan, termasuk hak untuk berserikat. Hak pekerja perempuan hanya dapat terlindungi jika prinsip hak pekerja ditegaskan kembali,” katanya kepada DW.
Di saat para aktivis mendorong undang-undang baru, NITI Aayog justru menyerukan lebih banyak insentif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi gig. Dalam laporannya, NITI Aayog mengusulkan keringanan pajak atau dana startup bagi perusahaan yang mempekerjakan sepertiga atau lebih perempuan dan penyandang disabilitas.
Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah masalah pelecehan seksual. UU Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja yang berlaku di India saat ini tidak memasukkan "kontraktor independen” atau pekerja ekonomi gig dalam aturannya, sehingga sebagian besar perempuan tidak memiliki perlindungan hukum.
(gtp/hp)