Sungai Watch, Gerakan Perlindungan Sungai di Pulau Bali
Terbit 23 Oktober 2020aktualisasi terakhir 31 Agustus 2022“Di Indonesia, sungai itu seperti tempat sampah, tempat paling buruk yang kamu tidak ingin datangi,” kata Gary Bencheghib saat diwawancara DW beberapa waktu lalu. “Jadi sangat penting bagi kita untuk mulai berpikir tentang sungai yang bersih, karena sungai yang bersih adalah laut yang bersih pula,” tambahnya.
Sudah cinta lingkungan sejak usia muda
Gary adalah seorang aktivis lingkungan berusia 25 tahun yang saat ini berdomisili di Bali. Sebagai seorang muda yang tumbuh besar di pulau dewata, Gary mengaku telah melihat secara langsung bagaimana dampak polusi plastik terhadap pulau tempatnya tinggal itu. Hingga akhirnya pada tahun 2009, ia bersama kakak perempuan dan adik laki-lakinya mendirikan sebuah organisasi lingkungan bernama Make A Change World. Usia mereka masing-masing masih sangat muda pada waktu itu: Gary (14 tahun), kakaknya Kelly (16 tahun) dan adiknya Sam (12 tahun). Di bawah organisasi itu, mereka menginisiasi operasi bersih-bersih sampah plastik di pantai-pantai Bali bersama para relawan setiap minggunya.
Berawal dari operasi bersih-bersih sampah plastik di pantai-pantai Bali, Gary mengaku menemukan fakta bahwa 90% sampah plastik yang muncul di pantai dan laut sejatinya berasal dari sungai. Alasan inilah yang kemudian membuat mereka memutuskan untuk menggeser fokus kerja terhadap perlindungan sungai.
Aktivitas perlindungan sungai yang Gary lakukan banyak mendapat sorotan ketika videonya bersama adik laki-lakinya (Sam) saat mendayung dua kayak yang terbuat dari botol plastik di Sungai Citarum pada 2017 silam, viral di media sosial. “Karena hal itu, kami kemudian mendapat perhatian dari Presiden Jokowi untuk menginspirasi operasi bersih-bersih terbesar dalam sejarah,” katanya.
Jaga sungai lewat gerakan Sungai Watch
Di tahun 2019, ia kemudian muncul lagi dengan sebuah gerakan bernama Sungai Watch, sebuah program pembersihan dan perlindungan sungai-sungai yang ada di Bali.
Melalui gerakan ini, mereka menguji coba berbagai penghalang sampah atau trash barrier yang berguna untuk mencegah sampah plastik mengalir ke laut. Sejauh ini, mereka telah berhasil memasang tiga buah penghalang sampah di berbagai lokasi di Bali. Untuk target jangka pendek, mereka ingin memasang 25 penghalang sampah sampai akhir tahun 2020, dan 100 penghalang sampah di akhir tahun 2021.
Selain memasang penghalang sampah, Gary dan para relawan juga rutin melakukan operasi bersih-bersih sampah di sungai-sungai Bali setiap minggunya. Sampah-sampah yang mereka kumpulkan kemudian dipilah dan disortir di markas besar Sungai Watch yang berlokasi di Desa Tumbakbayuh, Mengwi-Badung. Pemilahan sampah dilakukan sebagai bagian dari River Plastic Report atau laporan sampah plastik yang akan mereka rilis dalam waktu dekat. Setiap jenis plastik disortir untuk melakukan audit merek guna melihat siapa merek atau perusahaan yang paling berpolusi.
“Salah satu masalah terbesar di Indonesia terkait sampah plastik adalah kurangnya data yang tersedia. Jadi kami ingin mengetahui secara pasti sumber pencemaran plastik di sungai, agar kami bisa mendaur ulangnya secara lebih baik dan bisa memulai percakapan tentang apa yang seharusnya menjadi topik yang lebih besar, yaitu pengolahan limbah dan infrastruktur yang layak dalam mengatasi material plastik ini,” pungkasnya.
Gary mengatakan visi lebih besar yang ingin mereka capai adalah meluncurkan sebuah platform, sumber terbuka bagi semua orang untuk bisa belajar tentang bagaimana cara membangun penghalang sampah atau trash barrier mereka sendiri, sehingga dapat diaplikasikan di tempat lain di Indonesia. Dengan demikian menurutnya kemajuan untuk keluar dari situasi darurat plastik yang saat ini terjadi dapat terwujud lebih cepat.
“Pencemaran plastik adalah benar-benar keadaan darurat yang terjadi terutama di sungai-sungai kita. Dan kita harus serius mulai memikirkan bagaimana kita bisa menghentikan pembuangan sampah yang tidak pernah berakhir ini masuk ke lautan kita,” jelasnya.
“Sungai seharusnya jadi tempat rekreasi, bukan tempat pembuangan sampah”
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Namun, Indonesia juga merupakan penyumbang plastik laut terbesar kedua di dunia, demikian menurut penelitian di jurnal Science.
Selain itu, Asia Timur bertanggung jawab atas lebih dari setengah plastik di laut, dengan volume terbesar berasal dari Cina, Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam.
Fakta ini membuat Gary prihatin. “Sebagai negara kepuluan terbesar di dunia, kita memiliki peran besar dalam memulihkan alam dengan cara-cara alami,” ujarnya.
“Sungai seharusnya jadi tempat rekreasi, bukan tempat pembuangan sampah. Kita bisa melakukan arung jeram di sana, kita bisa berendam, kita bisa mandi atau memancing. Saya rasa kita berhutang budi kepada sungai-sungai yang indah ini untuk memulihkannya agar membuat Indonesia semakin indah untuk generasi yang akan datang”, tutupnya. gtp/yp