Suriah: Militer Bidik Warga Sipil dengan Drone Bunuh Diri
29 Maret 2024Suara mendengung tiba-tiba memenuhi langit, kata Mohammad Zakaria Junaidi.
"Saya baru saja hendak pulang untuk menyiapkan makan siang untuk istri dan anak-anak ketika sebuah drone bersenjata mengejar sepeda motor saya,” kata Junaidi, seorang petani di barat laut Suriah, kepada DW.
"Saya pikir, saya dan kedua putra saya di kursi penumpang akan meninggal,” kata ayah berusia 33 tahun itu ketika mengingat situasi yang terjadi pada akhir Februari lalu.
"Tidak ada tempat untuk bersembunyi di jalan antara desa dan ladang,” katanya kepada DW.
Dalam upaya melarikan diri, dia memacu sepeda motornya memasuki jalan tanah. "Drone itu sempat kehilangan kami selama beberapa detik, namun setelah berhasil menemukan lokasi kami, drone itu meledak,” katanya.
Junaidi dan kedua anaknya terluka terkena pecahan granat yang dipasang pada drone.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Serangan sistematis terhadap warga sipil
Suriah dilanda perang saudara sejak bulan Maret 2011, tepatnya 13 tahun lalu. Saat itu, Presiden Suriah Bashar Assad melancarkan aksi brutal demi memadamkan protes anti-pemerintah.
Sejak itu, menurut perkiraan, antara 500.000 dan 650.000 warga Suriah tewas terbunuh.
Negeri terbesar di daratan Syam itu kini terbagi menjadi beberapa wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Suriah dengan dukungan Rusia dan Iran, dan daerah oposisi yang didukung oleh Turki, Amerika Serikat dan negara lain.
Ladang Mohammad Zakaria Junaidi terletak di Al-Nayrab, dekat Idlib benteng penting terakhir milik oposisi Tentara Nasional Suriah dan milisi jihadis yang cukup kuat Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS.
"Di barat laut Suriah, pasukan pemerintah menggunakan drone menarget HTS, untuk mendapatkan keunggulan taktis,” kata Nanar Hawach, analis senior Suriah di International Crisis Group, sebuah lembaga penelitian konflik.
Drone non-militer dimodifikasi untuk bisa mengangkut hingga dua kilogram bahan peledak. Walau tidak menyamai akurasi drone militer, namun drone ini murah dan mudah diakses, juga tergolong cukup efektif untuk menarget kelompok kecil, kendaraan dan rute suplai. "Sejumlah drone yang dioperasikan militer itu sudah diproduksi di Suriah," tambah Hawach.
Celakanya, warga sipil semakin sering menjadi korban drone perang dalam beberapa bulan terakhir. "Rezim Suriah dan para pendukungnya, Rusia dan Iran, menggiatkan penggunaan drone bunuh diri di wilayah-wilayah pertanian besar, seperti Hama, Idlib dan Aleppo,” kata Kelly Petillo, peneliti Timur Tengah di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, kepada DW.
"Tujuannya adalah untuk meneror warga sipil di wilayah oposisi dan didesain untuk menimbulkan banyak korban jiwa,” katanya, seraya menambahkan bahwa "kelompok lokal telah melaporkan sekitar 140 serangan semacam ini sejak awal tahun."
Bagi Hiba Zayadin, peneliti senior Timur Tengah dan Afrika Utara di Human Rights Watch, serangan drone militer Suriah terhadap warga sipil mengandung indikasi pelanggaran hukum perang internasional.
"Hukum perang melarang serangan yang menargetkan warga dan obyek sipil, serta mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk selalu membedakan antara sasaran sipil dan sasaran militer,” katanya kepada DW.
Paulo Pinheiro, Ketua Komisi Penyelidikan PBB untuk Suriah, melaporkan pada Maret lalu bahwa "meningkatnya kekacauan hukum memicu praktik predator dan pemerasan oleh angkatan bersenjata dan milisi pemerintah.”
"Selain itu, lebih dari 90 persen penduduk Suriah kini hidup dalam kemiskinan, dengan lebih dari 16,7 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan," kata Pinheiro menambahkan. Perekonomian Suriah kini sedang terjun bebas di tengah pengetatan sanksi.
Drone bunuh diri tandai titik balik
Terlepas dari situasi yang sudah runyam akibat gempa bumi dahsyat pada bulan Februari 2023, pengamat hak asasi manusia berasumsi bahwa drone bunuh diri akan lebih sering digunakan untuk menargetkan warga sipil di masa depan.
"Pengabaian terhadap kehidupan warga sipil adalah ciri umum perang saudara di Suriah,” kata Nanar Hawach dari ICG kepada DW.
Hawach mengatakan, pasukan pemerintah Suriah dan kelompok yang didukung Iran bukanlah satu-satunya pihak yang berperang yang menggunakan drone non-militer.
"Milisi HTS juga menggunakan drone dalam operasi militernya, sebagai bagian dari tren yang lebih luas di Suriah yang memanfaatkan teknologi ini untuk pengintaian dan serangan,” katanya kepada DW.
Lebih lanjut, Hawach menganggap kehadiran drone bersenjata merupakan titik balik dalam dinamika konflik Suriah saat ini.
"Iran telah memasok drone ke Rusia selama perang di Ukraina. Mengingat Rusia dan Iran mendukung pemerintah Suriah, maka hanya masalah waktu sebelum penggunaan drone meluas ke Suriah,” kata Hawach, sembari menambahkan bahwa serangan udara Rusia telah berkurang secara signifikan sejak perang Ukraina dimulai.
Dalam pandangannya, meningkatnya penggunaan drone oleh pasukan pemerintah menunjukkan bahwa mereka berupaya untuk mengkompensasi hilangnya dukungan serangan udara Rusia.
Petani dan warga sipil menanggung beban terbesar
Model peperangan gaya baru ini mengancam para petani di barat laut Suriah.
"Taktik ini menyulitkan produksi gandum, yang tidak hanya mengancam mata pencaharian petani lokal yang kini takut akan serangan pesawat tak berawak saat merawat ladang mereka, tetapi juga melemahkan industri penting di wilayah tersebut,” kata Nanar Hawach kepada DW.
Petani dan warga sipil menanggung beban terbesar dari serangan ini, termasuk Mohammad Zakaria Junaidi.
Saat berita ini diterbitkan, keluarga Junaidi telah memutuskan untuk tidak kembali ke ladang mereka meskipun berarti kehilangan hasil panen.
Keputusan tersebut tidak mudah bagi sang ayah, namun jelas bahwa ia tidak punya pilihan lain: "Apa gunanya hasil panen jika saya kehilangan salah satu anak saya?"
rzn/as