1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Surplus Produksi Cina Risaukan Produsen di Negara Berkembang

22 Juli 2024

Surplus produk murah bersubsidi asal Cina semakin membanjiri pasar di negara-negara berkembang dan mulai mengancam eksistensi pelaku industri lokal. Solusinya bukan tarif, melainkan regulasi dan diversifikasi.

https://p.dw.com/p/4iTUL
Ekspor produk otomotif bermesin elektrik asal Cina
Ekspor produk otomotif bermesin elektrik asal CinaFoto: AFP

Brasil, Turki, Korea Selatan, dan Thailand ramai-ramai mencegah impor baja murah dari Cina, termasuk juga mobil listrik dan peranti elektronik.

Belum lama ini, Indonesia mencetak berita utama ketika mewacanakan rencana penerapan tarif sebesar 200 persen terhadap impor tekstil Cina.

"Proteksionisme terhadap barang impor murah dari Cina sejauh ini merupakan fenomena Barat dan sebagian besar negara di Asia hanya menjadi penonton saja. Hal ini kini sedang berubah," tegas Sonal Varma, kepala ekonom untuk Asia di bank investasi Jepang Nomura.

Dalam majalah keuangan Nikkei Asia, dia memaparkan tantangan yang dihadapi para pengambil keputusan politik di Asia untuk melindungi perusahaan-perusahaan lokal dan lapangan kerja dari serbuan impor murah asal Cina.

Sama seperti di Eropa, barang-barang murah dari platform e-commerce Cina seperti AliExpress mengalir ke Vietnam, Thailand, dan Korea Selatan. Selain itu, produk logam dan kimia asal Cina juga menggandakan tekanan kepada perusahaan-perusahaan lokal dengan harga yang lebih rendah.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Amerika Serikat, khususnya, telah lama menuduh pemerintah di Beijing membuang kelebihan kapasitas produksi di Cina secara massal ke pasar internasional karena buruknya perekonomian domestik.

Beberapa hari yang lalu, Cina mengumumkan angka pertumbuhan kuartal kedua yang cuma sebesar sebesar 4,7 persen. Padahal, sebagian besar ekonom mematok angka pertumbuhan Cina di kisaran 5,1 persen.

Tekanan terhadap negara berkembang

Bagi Lynn Song, kepala ekonom di ING Bank untuk Tiongkok Raya, data PDB saat ini menunjukkan bahwa jalan untuk mencapai target pertumbuhan lima persen pemerintah masih sulit. Jatuhnya harga real estat dan saham, rendahnya pertumbuhan upah dan kekhawatiran akan hilangnya lapangan kerja memperlambat konsumsi.

"Hal ini menyebabkan peralihan dari pembelian mahal ke konsumsi masyarakat yang fokus pada makan, minum, dan bermain," kata Song. Hasilnya: Semakin banyak barang "buatan Cina" yang berakhir di pasar dunia.

Masalahnya, jika Eropa menetapkan tarif bea masuk yang tinggi, maka tekanan terhadap negara-negara berkembang di Asia diperkirakan akan meningkat. "Misalnya, ketika AS dan UE mengenakan tarif impor pada mobil listrik Cina atau tarif baru yang dikenakan pada baja Cina di Amerika Latin, kelebihan kapasitas produksi akan dialihkan ke Asia," tegas Sonal Varma.

Pada bulan April 2024, dengan angka penjualan sebanyak 312.000 kendaraan, Cina lebih banyak mengekspor ke Asia dibandingkan ke Eropa yang mengimpor 266.000 unit mobil listrik, menurut Asosiasi Mobil Penumpang Cina.

China fights back against EU tariffs

Menurut ekonom Varma, India atau negara-negara ASEAN tidak punya banyak pilihan di masa depan selain melindungi pasar domestik dari surplus industri Cina.

Kritik terhadap narasi anti-Cina

Menurut Deborah Elms, narasi mengenai kelebihan kapasitas produksi di Cina harus ditanggapi dengan hati-hati. Kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation di Singapura itu meragukan maraknya surplus produksi.

"Kelebihan kapasitas untuk apa? Untuk produk apa? Untuk penjualan di pasar mana?" "Data tersebut tidak menunjukkan adanya kelebihan kapasitas yang meluas. Fakta bahwa Cina mengekspor lebih banyak bukan merupakan bukti adanya masalah kelebihan kapasitas," kata Elms kepada DW.

"Sebagian besar negara-negara Asia juga mengekspor, namun Anda biasanya tidak mendengar keluhan mengenai kelebihan kapasitas yang diajukan terhadap, misalnya, negara-negara anggota ASEAN atau Australia. Kita harus lebih berhati-hati sebelum mengulangi cerita tentang kelebihan kapasitas," tuntut pakar perdagangan tersebut.

Karena Cina merupakan eksportir dan importir barang terbesar di Asia, hal ini membuat situasi menjadi rumit lantaran keterikatan rantai suplai. "Bahan mentah bisa dikirim dari ASEAN atau negara Asia lainnya ke Cina untuk diolah. Suku cadang dan komponen bisa mengalir dua arah," kata Elms.

Selain itu, perakitan akhir biasanya berlangsung di beberapa negara sekaligus, sebelum diimpor kembali ke Cina.

Kerentanan pasar di negara berkembang

Kelebihan kapasitas Cina tidak cuma membebani pasar domestik di negara maju, namun juga negara-negara berkembang. "Meskipun peningkatan ekspor Cina sampai batas tertentu menguntungkan negara-negara berkembang, dengan memberikan pendapatan bagi industri mereka sendiri, hal ini juga berkontribusi terhadap peningkatan kekuatan pasar Cina dan menjadikan negara-negara berkembang rentan," tulis Rhodium Group, lembaga analisa pasar di AS.

Cina Kuasai Farmasi, Eropa Ingin Kembali Bangkit

Hingga saat ini, negara-negara berkembang seperti India diasumsikan akan mendapatkan keuntungan jika Cina lebih fokus pada produk-produk berkualitas tinggi, dibandingkan barang-barang murah yang diproduksi secara massal. Negara-negara berkembang kemudian akan mampu memasok barang-barang industri yang sebelumnya diproduksi Cina untuk seluruh dunia.

Harapan ini pupus karena Beijing tidak mampu menstimulasi permintaan domestik. Hanya dengan cara ini, pasar domestik di Cina bisa lebih banyak menyerap surplus produksi, ketimbang mengekspornya ke India atau ASEAN, menurut analisis Rhodium Group.

Solusi lewat regulasi

Selama Beijing tidak melakukan reformasi serius untuk menstimulasi permintaan dalam negeri, keadaan akan buruk bagi negara-negara berkembang. Menurut Rhodium, serbuan barang impor asal Cina bisa membahayakan pelaku pasar di dalam negeri.

Lembaga asal New York itu merekomendasikan agar negara-negara Asia mengambil berbagai langkah pencegahan, seperti memperkuat ekosistem industri di dalam negeri. Menurut ekonom Varma, hal ini mencakup spesifikasi konkrit mengenai pangsa produk lokal dan diskon pajak untuk produk yang diproduksi di dalam negeri.

Seperti juga di Barat, negara-negara Asia juga harus mendiversifikasi rantai pasokan mereka untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap bahan baku Cina, misalnya di sektor elektronik. Korea Selatan ingin mengurangi ketergantungannya pada 185 jenis barang impor sebesar 50 persen pada tahun 2030.

Selain itu, negara-negara Asia harus melakukan upaya yang lebih besar untuk menjaring investasi asing langsung yang tidak berasal Cina, tetapi dari seluruh dunia.

(rzn/as)