Suu Kyi Tidak Datang ke Sidang Umum PBB Minggu Depan
13 September 2017Operasi militer brutal yang dilaksanakan tentara Myanmar di negara bagian Rakhine, sebagai jawaban atas serangan militan Rohingya pada 25 Agustus lalu, menyebabkan arus pengungsi besar-besaran keluar dari kawasan konflik. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, sekitar 370.000 pengungsi Rohingya diperkirakan melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Aksi militer Myanmar itu mendapat kecaman internasional dan telah menyebabkan krisis kemanusiaan di kedua sisi perbatasan.
Bangladesh berjuang keras untuk melayani kedatangan pengungsi yang kelelahan dan lapar - sekitar 60 persen di antaranya adalah anak-anak. - sementara hampir 30.000 umat Buddha Rakhine dan Hindu telah mengungsi di dalam Myanmar.
Kepala HAM PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein, menuduh Myanmar melakukan serangan "sistematis" terhadap minoritas Rohingya dan memperingatkan bahwa "pembersihan etnis" tampaknya sedang berlangsung.
Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil pertama di Myanmar dalam beberapa dekade terakhir, tidak mampu mengendalikan tindakan militer yang memiliki posisi kunci di bidang politik dan keamanan selama 50 tahun, sebelum akhirnya mengijinkan pemilihan umum pada tahun 2015. Krisis Rohingya menjatuhkan reputasi Suu Kyi di luar negeri sebagai pembela HAM.
Pengungsi Rohingya memberi kesaksian mengerikan tentang tentara yang menembaki warga sipil dan membumihanguskan seluruh desa di negara bagian Rakhine utara, dibantu oleh massa Buddhis.
Namun militer Myanmar menyangkal tuduhan-tuduhan itu. "Konselor negara tidak akan menghadiri pertemuan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata juru bicara pemerintah Zaw Htay, dengan menyebutkan jabatan resmi Suu Kyi.
Dia selanjutnya menyebutkan, Wakil Presiden Henry Van Thio akan menghadiri pertemuan puncak tersebut yang akan berlangsung minggu depan. Dewan Keamanan l PBB juga berencana untuk melakukan pertemuan tertutup dan membahas krisis tersebut, meskipun Cina mengindikasikan akan menolak segala upaya untuk mengecam Myanmar, sekutu penting Cina di Asia Tenggara.
Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang sempat menjadi ikon perjuangan hak asasi manusia, kini menghadapi kecaman keras dari kelompok-kelompok HAM. Simpatisan Suu Kyi mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan banyak dan geraknya dibatasi oleh tentara, yang masih menjalankan sebagian pemerintahan dan memiliki kendali penuh atas semua masalah keamanan.
Beberapa Peraih Nobel juga mengritik pimpinan Myanmar itu. Uskup Agung Desmond Tutu menyebutnya "tidak sesuai bagi simbol kebenaran dan untuk memimpin negara seperti itu." Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya juga mengecam aksi militer berlebihan itu. Menjelang pertemuan Dewan Keamanan PBB, Beijing hari Selasa (12/9) menawarkan dukungan kepada Myanmar dan mengatakan, negara itu berhak untuk "melindungi" stabilitasnya.
hp (afp, ap, rtr)