Swiss Gelar Referendum Bahas Larangan Cadar
5 Maret 2021Poster kampanye bertuliskan "Hentikan Islam Radikal!" dan "Hentikan Ekstremisme!" yang menampilkan seorang wanita dengan cadar hitam telah terpampang di sejumlah kota di Swiss. Papan iklan itu merupakan bagian dari kampanye Partai Rakyat Swiss (SVP) sayap kanan. Mereka mendesak larangan penggunaan penutup wajah di depan umum. Usulan tersebut akan dibahas dalam referendum nasional pada hari Minggu (07/03).
Poster saingannya berbunyi: "Tidak untuk hukum 'anti-burqa' yang absurd, tidak berguna dan Islamofobia."
"Ini masalah peradaban. Pria dan wanita bebas menampilkan diri dengan wajah tak tertutup," kata juru bicara kampanye Yes, Jean-Luc Addor.
"Ini adalah bentuk Islam yang ekstrem," katanya kepada AFP.
Namun sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Swiss akan mendukung usulan dan larangan tersebut, yang nantinya akan disahkan menjadi undang-undang. "Di Swiss, tradisi kami adalah menunjukkan wajah Anda. Itu adalah tanda kebebasan dasar kami," kata Walter Wobmann, anggota parlemen SVP dan ketua komite referendum.
Meski tidak menyebut Islam secara langsung, politisi, media, dan juru kampanye lokal menjulukinya sebagai larangan burqa (sebuah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, biasa dikenakan oleh sebagian perempuan muslim).
Di bawah sistem demokrasi langsung Swiss, referendum dan suara populer terjadi setiap beberapa bulan di tingkat nasional, regional, dan lokal. Topik apa pun dapat diajukan ke pemungutan suara nasional selama mampu mengumpulkan 100 ribu tanda tangan.
Proposal itu diyakini memperparah hubungan Swiss dengan komunitas Islam, setelah masyarakat mendukung larangan pembangunan menara masjid baru pada tahun 2009. Wobmann mengatakan pemungutan suara tidak menentang Islam itu sendiri, tetapi menambahkan "penutup wajah adalah simbol dari politik ekstrem Islam yang semakin menonjol di Eropa dan tidak memiliki tempat di Swiss."
Larangan cadar di Eropa
Sebelumnya pada tahun 2011, Prancis secara resmi melarang penggunaan cadar di depan umum. Denmark, Austria, Belanda, dan Bulgaria juga melarang penuh atau sebagian terhadap penggunaan penutup wajah di area publik.
Universitas Lucerna memperkirakan tidak ada seorang pun di Swiss yang mengenakan cadar dan hanya sekitar 30 wanita yang mengenakan niqab.
Populasi muslim di Swiss hanya sekitar 5,2% dari total 8,6 juta penduduk yang sebagian besar berasal dari Turki, Bosnia, dan Kosovo. Warga muslim Swiss mengatakan partai-partai sayap kanan menggunakan pemungutan suara untuk mengumpulkan dukungan yang dapat memicu perpecahan lebih luas.
"Niqab adalah lembaran kosong yang memungkinkan orang untuk memproyeksikan ketakutan mereka," kata Andreas Tunger-Zanetti, Manajer Pusat Penelitian Agama di Universitas Lucerne. "Tapi ... Anda sangat tidak mungkin bertemu seseorang di jalanan Swiss mengenakannya."
Zanetti mengatakan larangan cadar berisiko memperkuat citra Swiss sebagai negara anti-Islam dan memicu kebencian di antara sebagian muslim.
Rifa'at Lenzin, seorang wanita muslim Swiss, mengatakan dia sepenuhnya menentang larangan tersebut. "Mengubah konstitusi untuk memberi tahu orang apa yang boleh dan tidak boleh mereka pakai adalah ide yang sangat buruk ... Ini Swiss, bukan Arab Saudi."
"Kami muslim tetapi kami adalah warga Swiss yang hidup dan tinggal di sini," kata Lenzin. "Pemungutan suara ini rasis dan Islamofobia."
Usulan yang kontroversial
Menteri Kehakiman Karin Keller-Sutter telah menekankan bahwa kebanyakan wanita yang terlihat mengenakan cadar adalah turis.
Komite Egerkingen yang mengajukan inisiatif ini sangat didukung oleh SVP, beberapa politisi liberal dan berhaluan kiri juga telah bergabung dalam kampanye yang mengatasnamakan melindungi hak-hak perempuan itu.
Namun, banyak organisasi feminis yang menentang larangan tersebut. "Selain tidak berguna, rencana ini rasis dan seksis," kata Ines El-Shikh, juru bicara kelompok perempuan muslim feminis Jilbab Ungu.
"Pada tahun 2021, tidak dapat diterima jika konstitusi Swiss memiliki artikel yang melarang wanita mengenakan apa pun yang mereka inginkan," katanya kepada AFP. "Apakah memakai rok mini, burqa atau topless, kita bebas memilih sendiri."
Kepala Human Rights Watch Ken Roth mengatakan bahwa sementara beberapa wanita muslim merasakan tekanan masyarakat. "Bagaimana sebuah pakaian tidak menimbulkan ancaman bagi orang lain," katanya.
ha/vlz (Reuters, AFP)