Nasib Uni Eropa di Tangan David Cameron
22 Februari 2016Perekonomian Inggris membutuhkan Uni Eropa. Begitu pula sebaliknya. Pertalian kedua pihak memberikan bobot tambahan buat Eropa dalam hal ekonomi, diplomasi dan militer. Tanpa Inggris, Jerman misalnya akan sendirian menghadapi negara-negara anti reformasi yang cuma membidik kucuran dana dari Brussels.
Butir yang paling diributkan di Inggris tidak lain adalah pembatasan bantuan sosial buat warga asing asal Uni Eropa. Hal tersebut terutama menjadi masalah buat sebagian negara Eropa Timur yang banyak diuntungkan oleh pasar tenaga kerja di Inggris.
Kelompok anti Uni Eropa di negeri kepulauan tersebut banyak mendramatisir dugaan penyalahgunaan dana bantuan sosial oleh warga asing Uni Eropa. Mereka, katanya, lebih banyak mengeruk keuntungan dari pemerintah Inggris ketimbang membayar pajak misalnya.
Namun belakangan sejumlah negara juga mengisyaratkan keinginan untuk perubahan. Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya mendukung tuntutan Inggris mengurangi bantuan sosial untuk warga asing Eropa buat membiayai kehidupan anak-anaknya di negara asal. Denmark juga bersuara serupa.
Tapi tantangan terbesar buat Inggris adalah bukan masalah kongkrit semacam itu, melainkan perasaan takut akan kehilangan hak untuk menentukan nasib sendiri. Walaupun saat ini tidak ada satupun negara yang benar-benar berdaulat, bahwa penyatuan Eropa justru memperkuat kedaulatan negara anggota dalam lintas politik dunia, PM Inggris David Cameron tidak punya pilihan selain berkonfrontasi dengan sikap tersebut.
Cameron harus menggunakan semua kemampuannya untuk menjual kesepakatan dengan Brussels kepada penduduk Inggris. Berhadapan dengannya adalah sejumlah anggota kabinet sendiri dan media-media yang anti Uni Eropa.
Adalah hal yang tragis bahwa perdebatan ihwal keangggotaan Inggris di Uni Eropa terjadi di tengah krisis pengungsi. Penduduk Inggris, seperti juga warga Eropa lainnya, bisa melihat betapa UE mati kutu menghadapi situasi tersebut.
Kebanyakan justru menyaksikan bagaimana tindakan masing-masing negara justru lebih banyak menghasilkan perubahan. Terutama penduduk Inggris khawatir terhadap kebijakan pintu terbuka yang dianut Kanselir Merkel. Jika Jerman memberikan kewarganegaraan Uni Eropa kepada jutaan pengungsi, mereka nantinya berhak pindah ke Inggris.
Hal itu, menurut kacamata Inggris, adalah imigrasi tak diundang lewat pintu belakang. Politisi-politisi Inggris berulangkali menekankan, keunggulan kelompok anti Uni Eropa dalam jajak pendapat bersumber pada kekhawatiran tersebut.
Baru-baru ini Walikota London yang sangat populer, Boris Johnson, juga mengambil sikap anti Uni Eropa. Maka referendum pada 23 Juni mendatang yang digelar dengan dilatari masuknya ribuan pengungsi ke Uni Eropa setiap hari, tidak akan membuahkan hal yang positif.